Tuesday, March 26, 2013

Anak Juga Punya Hak Didengar




Kompas, Sabtu 23 Maret 2013
HAK ANAK
Anak Juga Punya Hak Didengar

“Setiap anak memiliki hak menjalani masa kecil yang aman dan menyenangkan. Maka, penting bagi masyarakat, terutama keluarga, untuk memastikan setiap anak mendapatkan kesempatan itu.”

Pernyataan itu beberapa kali diulang Ratu Swedia Silvia saat berbincang se­lama 45 menit dengan kami (tu­juh wartawan dari Indonesia, Mesir, Turki, Nigeria, Jerman, Latvia, dan Ukraina), awal Ma­ret ini, di Istana Kerajaan Sto­ckholm, Swedia “Saya kira itu menjadi tugas kita semua dan tentu kita harus saling bantu,” ujarnya.

Anak akan memperoleh masa kecil yang aman dan menye­nangkan hanya jika orang dewa­sa dapat menciptakan lingkung­an sekitar anak sesuai kebutuh­an dan keinginan anak.

“Untuk mengetahui kebutuh­an dan keinginan anak itu, mau tidak mau ‘suara’ anak harus ki­ta dengar. Seperti halnya orang dewasa, anak pun mempunyai hak bersuara,” kata Ratu.

Di Swedia, dari 9,5 juta jiwa penduduk terdapat 2 juta jiwa penduduk di bawah usia 18 ta­hun yang harus didengarkan suaranya karena mereka belum memiliki hak pilih. Artinya, me­reka belum bisa secara formal menyampaikan ide atau usulan pada proses pembangunan. Ma­ka dari itu, wajib bagi pemerin­tah dan masyarakat Swedia un­tuk mendengarkan pendapat dan cara pandang anak

Hak anak itu merupakan sa­lah satu prinsip dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC) yang telah di­ratifikasi Swedia tahun 1989.

Untuk menjaga dan memas­tikan anak terpenuhi hak-hak­nya, Swedia memiliki banyak lembaga atau organisasi anak, seperti Children's Rights in So­ciety (BRIS), Friends, Save the Children Swedia, dan Ombuds­man Anak.

BRIS merupakan lembaga yang membuka layanan konsul­tasi bagi anak melalui telepon, chatting, dan e-mail. Pada 2010, BRIS telah berkomunikasi de­ngan 115.335 anak dan remaja yang membutuhkan bantuan dan solusi masalah yang diha­dapi di keluarga, sekolah, atau lingkungan sekitar. Adapun Friends sejak 1997 sudah fokus bekerja sama dengan 1.500 se­kolah untuk menangani isu bullying di sekolah dan ling­kungan sekitar anak.

Sejak 1979 pun, Swedia sudah menjadi negara pertama di du­nia yang menyatakan memukul dan menampar anak termasuk salah satu bentuk tindakan kri­minal yang melanggar hukum.

Partisipasi

Meski sudah ada beragam lembaga dan payung hukum yang dibuat, penegakan hak anak di Swedia juga belum optimal. Bahkan, masih banyak orang yang tidak paham dengan konvensi hak anak. Menurut Ratu Silvia, setiap satu dari lima anak setidaknya pernah mende­ngar tentang itu. Begitu pula de­ngan guru, orangtua, dan masyarakat.

“Namun, mereka belum tahu bagaimana praktiknya. Karena itu, konvensi hak anak jangan hanya sebatas wacana, tetapi ju­ga harus betul-betul dihayati dan dilaksanakan,” kata Ratu Silvia yang mendirikan World Childhood Foundation pada 1999.

Hasil survei Save the Chil­dren Swedia tahun 2011 terha­dap 24.544 anak di Swedia juga menunjukkan, 62 persen anak belum pernah mendengar ten­tang konvensi hak anak. Untuk menyosialisasikan konvensi itu dan mendengarkan opini anak dan remaja, Domestic Program­me, Programme Officer Chil­dren's Rights in the Society Save the Children Sweden, Karin Fagerholm mengatakan, pihak­nya membentuk kelompok dis­kusi “Ellen” (untuk perempuan) dan “Allan” (untuk laki-laki).

Dari diskusi-diskusi terfokus itu, bermunculan masalah yang dianggap penting oleh anak, seperti keamanan di angkutan umum, bullying, dan kekerasan rumah tangga. Masalah-masalah seperti ini yang kemudian dirangkum menjadi proposal ke­bijakan dari perspektif anak yang diajukan ke pemerintah.

Kasus Indonesia

Untuk Indonesia yang telah meratifikasi konvensi pada 1990, menurut Ketua Presidium Na­sional Organisasi Non-pemerin­tah Pemantau Hak Anak dan Wakil Ketua Komisi ASEAN un­tuk Pemajuan dan Peilindungan Hak Perempuan dan Anak (ACWC) Ahmad Taufan Dama­nik, Indonesia terlambat me­nyampaikan laporan pertama (Initial Report) karena seharus­nya sudah ada laporan dua ta­hun. Laporan lima tahunan baru disampaikan pada 2004. "Selain laporannya belum cukup kom­prehensif, juga terlambat," ujar­nya.

Namun, Taufan mengapresi­asi perkembangan implementasi yang positif. Seperti UU Perlin­dungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Dilihat dari isinya, cukup banyak pasal yang mencermin­kan konvensi hak anak Meski demikian, masih banyak kekerasan terjadi di sekolah, rumah, tempat umum, tempat bekerja, dan dalam proses hu­kum pidana anak.

Direktur Studi Departemen Anak dan Remaja di Stockholm University Ingrid Engdahl membenarkan minimnya pe­ngetahuan anak tentang kon­vensi hak anak Pasalnya, sosi­alisasi dan informasi tentang hal itu di sekolah sering kali ber­akhir di guru. Jika pun sampai pada anak informasinya tidak utuh. Pada tataran implemen­tasinya pun tak bebas dari pro dan kontra. Sebagian masyara­kat menilai konvensi itu mem­berikan anak terlalu banyak ke­bebasan untuk memilih dan mengesampingkan orangtua.

Meski perkembangan pene­gakan hak anak di Swedia tidak secepat harapan, Ratu Silvia berpesan jangan pernah lelah untuk berbicara dan berdiskusi dengan masyarakat, terutama para pembuat kebijakan, ten­tang kondisi dan masalah anak serta pentingnya perlindungan hak-hak anak. “Kalau bukan ki­ta, siapa lagi yang akan melin­dungi anak-anak,” ujarnya.

(Luki Aulia)

Wednesday, March 13, 2013

Kustiyah Gandu: “Pengacara” Kaum Perempuan

Kompas, Senin, 11 Maret 2013
Sosok
Kustiyah Gandu
“Pengacara” Kaum Perempuan

Oleh: Khaerul Anwar



Semula Kustiyah Gandu (44) berjualan nasi. Namun, realitas sosial kalangan perempuan yang umumnya keluarga miskin dan terbelakang dari segala aspek mendorongnya “pensiun” berjualan. la kemudian memilih jadi pembela kaum perempuan di desanya. Karena kiprahnya itu, ia dijuluki “pengacara” para ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

“Sekarang ini kami, para lelaki, tidak berkutik lagi karena ada pembela para istri kami,” ujar warga Dusun Kekeri Timur, Desa Kekeri Timur, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, mengutip komentar warga di desa itu.

Julukan “pengacara” tersebut melekat setelah perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, itu membawa perkara seorang ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dari suaminya. Selama enam bulan menikah, ibu itu dipukuli suaminya sekali dalam sebulan. Suatu hari, seusai dipukul sang suami, perempuan itu bersikeras bercerai. Dia mengadukan perilaku suaminya tersebut ke Kepolisian Sektor Gunungsari, yang langsung menjebloskan si suami ke sel selama beberapa jam.

Setelah itu, keduanya disidang, didamaikan. Di depan petugas polsek, si suami yang digambarkan pemabuk membuat perjanjian tertulis: jika memukuli istrinya lagi, sanksinya adalah cerai talak tiga. Belakangan, si suami mengulangi perbuatannya sehingga suami-istri itu pun berpisah.

Kasus tersebut menjadi pembelajaran bagi suami, main kasar terhadap istri dan anak ada konsekuensi hukumnya. Penyebab persoalan adalah realitas kehidupan warga: terbatasnya sumber penghasilan dan rendahnya pendidikan suami-istri yang umumnya buta huruf dan tidak pernah sekolah.

Para istri umumnya mengharapkan hidup dari penghasilan suaminya selaku buruh kasar, buruh tani, dan buruh pemecah batu untuk dijadikan kerikil. Saat terjadi persoalan internal keluarga, suami sering main pukul. Pertengkaran mulut di antara ibu rumah tangga pun sering bermula dari keadaan riil tersebut.

Realitas itu diamati dan direkam Kustiyah lewat pergunjingan para istri yang curhat saat berbelanja di warungnya. Tidak jarang Kustiyah jadi “juru damai” dan menawarkan solusi, seperti mencarikan pinjaman modal usaha berbunga rendah ke kecamatan atau koperasi. Dengan pinjaman itu, para ibu rumah tangga tersebut bisa berdagang sayur-mayur, bakso, atau barang lain. Dengan cara tersebut, para istri bisa menopang penghasilan keluarga, juga punya posisi tawar di hadapan suaminya.

Community Center

Fakta-fakta itulah yang mendorong Kustiyah membentuk Community Center tahun 2006, beranggotakan 30 orang yang kebanyakan dari mereka adalah kader pos pelayanan terpadu (posyandu). Aktivitasnya melayani warga desa yang membutuhkan advokasi. Beruntung, suaminya, Gandu Wahyudi (53), beserta anak-anaknya mendukung kegiatannya itu meskipun Kustiyah harus menutup warung nasinya tahun 2010.

Kustiyah memang sibuk dengan kerja sosial. Sebutlah, seorang warga di desanya yang harus menjalani operasi karena ada bisul di bagian ususnya. Kustiyah pun berusaha mendapatkan surat keterangan miskin agar warga ini bisa berobat dengan fasilitas Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). la acap kali bertengkar mulut dengan perawat rumah sakit.

Kali lain, seorang gadis usia 19 tahun menderita sakit jiwa dan selama 9 bulan dipasung oleh keluarganya. Berbekal surat miskin, Kustiyah merujuk gadis itu untuk dirawat jalan di rumah sakit jiwa menggunakan fasilitas Jamkesmas.

Terkadang Kustiyah harus berdebat dengan petugas rumah sakit yang mempersoalkan kurang lengkapnya syarat administrasi, seperti tidak adanya fotokopi kartu tanda penduduk calon pasien. Lewat perdebatan kecil, akhirnya disepakati bahwa kesehatan pasien diprioritaskan, soal syarat yang kurang akan dilengkapi sambil jalan.

Bahkan, untuk mendapatkan syarat administrasi itu, tak jarang Kustiyah perlu merogoh sakunya agar urusan orang yang dibantunya tuntas. Ia maklum kondisi sosial ekonomi warga yang juga miskin akses informasi dan relasi dengan “dunia luar” desanya sehingga mereka bingung jika menghadapi persoalan.

Akta nikah

Pernah pula Kustiyah berkeliling Pulau Lombok, mencari empat gadis asal desa itu yang akan dijadikan korban penyelundupan manusia (trafficking) oleh sebuah perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Selama sepekan memburu alamat perusahaan yang lokasinya berpindah-pindah, tiga gadis itu akhirnya ditemukan di tempat penampungan mereka di Kota Mataram. Seorang lainnya ditemukan di Lombok Timur. Mereka tergiur janji PJTKI yang akan mempekerjakan mereka di restoran dan mal di luar negeri. Kasusnya sempat ditangani polisi meski belakangan keluarga dan para orangtua gadis itu mencabut pengaduan mereka.

Suami-istri bisa mengantongi akta nikah adalah peran lain yang dilakoni Kustiyah. Ini karena warga desa umumnya kurang peduli terhadap akta nikah karena proses pernikahan mereka dianggap selesai jika memenuhi syarat agama. Padahal, akta nikah menjadi penting, selain sebagai syarat pencatatan administrasi kependudukan, juga hak waris bagi anak dan istrinya.

Untuk itu, Kustiyah melobi berbagai instansi supaya warga diberi kemudahan mendapatkan akta nikah. Hasilnya, tahun 2010, ada 38 suami-istri yang mengantongi akta nikah setelah melalui proses persidangan (isbat nikah) di Pengadilan Agama. Tahun 2013, Pemerintah Kabupaten Lombok Barat mengalokasikan Rp 500 juta untuk melakukan isbat nikah bagi 2.040 pasangan suami-istri.

Meski demikian, banyak suami yang dengan berbagai dalih menolak isbat nikah. Karena itu, sebagai kader posyandu, Kustiyah terus melakukan penyuluhan kepada warga akan pentingnya akta nikah, soal hak anak dan perempuan, serta gizi, selain soal kesehatan, seperti kesehatan reproduksi. Sebab, hingga kini masih ada ibu yang enggan memeriksakan kesehatan diri dan anak balitanya ke posyandu, menolak melakukan persalinan di puskesmas, malah tidak mau rumahnya didatangi oleh petugas puskesmas yang akan membantu proses persalinannya.

Semua itu adalah tantangan bagi istri Gandu Wahyudi, seorang montir, ini. Toh Kustiyah punya prinsip, “Saya tidak bisa membantu secara materi, tapi melalui tenaga dan pikiran. Bagi saya, menolong orang lain adalah sebuah keberkahan.”

= = = = = = = = = = =
KUSTIYAH GANDU
Lahir: Malang, Jawa Timur, 15 Maret 1969
Suami: Gandu Wahyudi (53)
Anak: Nita Yudia Wardani, Fepti Diasantani, Ira Oktavigara, Mega Maulida
Jabatan: Ketua Community Center Dusun Kekeri Timur, Desa Kekeri Timur, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat; Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa Kekeri Timur; Kader Posyandu Desa Kekeri Timur