Wednesday, July 31, 2013

Wisnu Hermawan: Langkah Kecil Menjadi Petani Berdaulat






Kompas, Jumat, 26 Juli 2013


Kampung Lio, Desa Sirnajaya, Kecamatan Warungkiara, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, bisa dibilang sebagai desa yang mencoba beralih. Sebagian warganya, terutama yang
berusia muda, bekerja sebagai penyedla jasa wlsata arung jeram. Namun, Wisnu Hermawan (31) dan sekelompok kecil warga tetap memilih jalan hidup sebagai petani.


Pada suatu siang, Wisnu sedang berkumpul bersama tiga petani di sebuah gubuk terbuka yang sebagian berdinding kayu. Mereka meminum teh dari cangkir bambu dan mengudap buah pepaya, getuk, serta penganan ringan lainnya.

Di sekeliling gubuk itu tertanam kangkung dan sawi. Tidak jauh dari petak-petak sayuran itu, terdapat seonggok kompos dari kotoran hewan dan jerami yang terbungkus plastik. Tumpukan pupuk alami setinggi hampir 1 meter itu adalah bakal pupuk sebagai nutrisi tanaman mereka.

Wisnu dan kawan-kawan biasa berbincang soal pertanian dan tentu saja hal remeh-temeh lainnya di gubuk yang teduh itu. Di dindingnya terpasang papan tulis yang menunjukkan
perkembangan tanaman, seperti usia tanam bayam dan padi. Ada pula tata cara pertanian alarni
dalam bahasa Inggris. Di salah satu sudut gubuk tersebut tampak pula poster yang menyerukan pemberdayaan perempuan petani.

Lahan yang mereka tempati itu sebelumnya adalah milik Perhutani yang digunakan oleh perkebunan karet PT Sugih Mukti Perkebunan Halimun. Namun, sejak 1998. hak guna usaha (HGU) lahan seluas lebih kurang 731 hektar itu telah usai.

Warga sekitar lalu memanfaatkan 380 hektar lahan tersebut, di antaranya untuk bertani dan bercocok tanam berbagai jenis tanaman. Sisa lahan dipakai pemerintah untuk membangun bebetapa fasilitas, seperti penjara, sekolah, dan pasar.

“Pola pertaniannya masih menggunakan penyubur kimiawi. Sepanjang tahun, tanah ini ditanami
terus-menerus tanpa ada masa rehat,” kata Wisnu.

Akibat pola pertanian seperti itu selama 10 tahun, tanah di kawasan tersebut seolah kelelahan. Kesuburannya berkurang sehingga hasil panen tidak maksimal. Pada 2008, Serikat Petani Indonesia (SPI) mendampingi petani Kampung Lio untuk menjaga kelestarian tanah dan menjadi
petani yang berdaulat. Wisnu adalah salah seorang petani muda yang bergabung di serikat itu.

Saat itu, Wisnu baru coba-coba menjadi petani. “Sebelumnya, ya, cuma nongkrong sana-sini. Akhirnya saya mencoba bertani,” kata Wisnu yang tidak menamatkan pendidikan di STM Teknika Cisaat. Sukabumi. Sebelum mencoba menjadi petani, ia pernah bekerja dengan membengkel, tetapi merasa tidak cocok dengan pekerjaan itu. “Bengkel bukan bidang saya,” katanya berdalih.

Pertukaran petani

Bergabung bersama serikat petani, Wisnu dapat kesempatan ikut pelatihan pertanian di sejumlah kota. Namun, pelatihan yang paling membanggakannya adalah ikut pertukaran
petani ke Kamataka Bangalore, India, akhir tahun 2011. “Wisnu cepat memahami materi yang ia dapat di India karena sehari-harinya memang bertani,” kata Rahmat Hidayat, anggota staf Departemen Penguatan Oganisasi DPP SPI, yang mendampingi Wisnu ke India.

Dua pekan mengikuti program pertukaran petani itu membuat Wisnu semakin fasih dengan pola pertanian alami. Ia makin memahami praktik pertanian alami minim biaya (zero budgeting agriculture). Model bertani tersebut mengandalkan bahan-bahan alami yang umum ditemui
di sekitar ladang, misalnya kotoran sapi dan kambing, untuk pupuk.

“Kalau kehabii bahan baku kompos, kami berkeliling mendatangi pemilik ternak sampai ke kampung tetangga, untuk meminta kotoran ternak. Setelah terkumpul, baru diproses menjadi kompos di sini.” Katanya.

Bahan itu dicampur dengan jerami dan dedaunan kering, ditumpuk selama dua bulan, dan diaduk setiap dua minggu sekali.

Untuk menyuburkan padi, para petani mencampur pepaya atau pisang dengan air cucian beras, lalu disemprotkan ke bulir padi. Selain itu, juga menanam pohon ki hujan (Samanea saman) di tepi Kali Ciandak yang bersebelahan dengan sawah sebagai tanaman pagar. Pohon itu menghasilkan nitrogen untuk menyuburkan tanah.

Pemakaian bahan alami itu membuat petani tak perlu begantung pada mekanisme harga pupuk produksi pabrik. Itu adalah salah satu bentuk kedaulatan mereka. Wujud lain, petani menanam sayur-mayur dan buah-buraan di sekitar rumah dan sawah mereka.

Masa tanam hingga panen dengan pola pertanian alami itu sedikit lebih lama dibandingkan dengan cara bertani yang mengandalkan pupuk kimiawi. Padi, misalnya, baru bisa dipanen
setelah berusia 40 hari atau 10 hari lebih lama daripada biasanya. Tanaman palawija juga baru bisa dipanen lima hingga sepuluh hari lebih lama.

Pola pertanian yang ia ajarkan memicu kontroversi juga. Banyak petani yang seolah sudah “dimanjakan” produk pabrik. Mereka seperti enggan kembali ke cara bertani kuno.

Dari 731 hektar sisa HGU, petani berusaha mengambil klaim 380 hektar untuk ditanami. Ada sekitar 1.040 keluarga yang menyandarkan hidup mereka pada pertanian di lahan itu. Seluas 80 hektar di antaranya ditanami padi, 200 hektar untuk tanaman singkong, serta sisanya berupa tanaman palawija dan kacang-kacangan.

Dari 380 hektar yang ditanami itu, memang baru sekitar 1,8 hektar yang menerapkan pola pertanian alami. Namun, selalu ada langkah kecil sebelum berlari. Langkah itu sudah
dimulai oleh Wisnu dan kawan-kawan di Kampung Lio. Pertengahan Mei lalu, organisasi petani internasional La Via Campesina menghargai langkah itu dengan membawa seratusan petani dari seluruh dunia ke Kampung Lio, Sukabumi.

(HERLAMBANG JALUARDI)

=====
WlSNU HERMAWAN

Lahir: Sukabumi, Jawa Barat, 27 Oktober 1981
Pendidikan:
- SMP Negeri Warungkiara, Sukabumi
- STM Teknika Cisaat Sukabumi (sampai kelas II)
Pengalaman:
Mengikuti program pertukaran petani ke Karnataka, Bangalore, India, Desember 2011

Sunday, July 21, 2013

Raudha Thaib: Memuliakan "Bundo Kanduang"



Kompas, Minggu 21 Juli 2013

“Bundo kanduang” disebut sebagai penerus keturunan, pewaris harta pusaka, penjaga kesejahteraan dalam masyarakat, dan pemegang kedaulatan utama. Raudha Thaib berusaha menghidupi pepatah itu sekaligus merawat budaya Minang.

”Bundo kanduang limpapeh rumah nan gadang, sumarak dalam nagari, hiasan dalam kampuang, umbun puro pegangan kunci.”

Kompas berjumpa dengan Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung atau Raudha, di rumah milik kaumnya di Tanah Datar, Sumatera Barat. Tepat di “halaman” rumah itu berdiri simbol Kerajaan Pagaruyung, lstana Si Lindung Bulan dengan gonjong menusuk langit.  Sekalipun pembangunan kembali istana yang terbakar tiga tahun lalu itu belum tuntas, tetap terasa kebesarannya.

Kerajaan Pagaruyung berdiri pada abad ke-14 meliputi wilayah Provinsi Sumatera Barat dan sekitarnya. Terdapat pula 75 wilayah kerajaan yang mengakui kedaulatan Pagaruyung, baik di Nusantara maupun luar negeri, seperti Malaysia, Filipina, Brunei, dan Thailand. Raudha adalah ahli waris kerajaan la keturunan ke-33.

Raudha yang lahir sebagai perempuan semakin istimewa. Dalam sistem kekerabatan matrilineal masyarakat Minangkabau, garis keturunan dan pewarisan rumah pusaka serta tanah kaum jatuh kepada perempuan. Dalam sistem itulah melekat peran perempuan sebagai bundo kanduang. Sosok bundo kanduang melambangkan kepemimpinan oleh ibu yang penuh wibawa, arif bijaksana, dan suri teladan.

Ketika ibundanya meninggal tahun 2007, peran bundo kanduang jatuh kepada Raudha. Seluruh perkara adat dan kaum menjadi tanggung jawabnya. Dengan status sebagai keturunan raja, peran sebagai bundo kanduang bangsawan Pagaruyung pun disandangnya. Raudha memegang otoritas tertinggi dalam adat, termasuk memiliki hak veto. Tanpa persetujuan Raudha, kesepakatan tak dapat dijalankan. Raudha juga didaulat sebagai pemimpin organisasi Bundo Kanduang Sumatera Barat.

Di luar peran sebagai bundo kanduang, hari-hari Raudha dipadati dengan tugas sebagai guru besar bidang pertanian di Universitas Andalas dan kegemarannya menulis puisi atau esai.

ltulah Raudha Thaib yang multitugas dengan segunung peran di pundaknya. Di tengah kesibukannya di bulan Ramadhan, Raudha menjawab berbagai pertanyaan tentang budaya makan di Sumatera Barat. Bahkan, Raudha ber sedia menunjukkan proses memasak sebuah sajian tradisi Tanah Datar yang tak akan dapat kami temui di rumah-rumah makan Minang.


Mengayomi, memotivasi

Raudha yang sehari-hari tinggal di Kota Padang tak keberatan menempuh perjalanan ke kampung halamannya di Pagaruyung Tanah Datar, untuk demo memasak itu. Kata Raudha, sudah biasa bolak-balik Padang-Pagaruyung, bahkan pada tengah malam, untuk bertemu mulai dari anggota kaum, tokoh nasional, hingga peneliti yang ingin bertanya seputar adat Minang.


Dan, di sela menunggu sajian masak di atas tungku, kami berbincang dengannya.

Dalam masyarakat minang, bundo kanduang memegang peran sentral. Apa saja peran dari seorang bundo kanduang?

Peran bundo kanduang itu banyak sekali, mulai dari memotivasi kaum, mengayomi, hingga mendistribusikan bantuan jika ada keluarga yang tidak mampu. Segala persoalan kaum dan penyelesaiannya berpulang kepada bundo kanduang. Tanggung jawabnya berat karena semua berpunca pada perempuan.


Posisi bundo kanduang dalam kultur Minang?


Dalam budaya Minang, keputusan tertinggi dipegang perempuan bundo kanduang. lbarat sebuah perusahaan bisa diandaikan owner-nya perempuan, direkturnya laki-laki. Kedudukan itu membuat perempuan harus kuat. Di sisi lain, sistem masyarakat Minang meletakkan posisi perempuan dan laki-laki seimbang, seperti dua sisi mata uang. Bukan mitra sejajar yang tidak pemah bertemu di ujungnya. Bagi saya, konsep jender dalam budaya Minang seperti tangan kiri dan kanan. Perempuan dan laki-laki sama pentingnya, yang membedakan hanya fungsinya.

Berburu celeng, atlet renang

Sebagai perempuan, pengalaman hidup Raudha tidak dibatasi. Ikut berburu hama celeng di hutan pun Raudha mendapat izin keluarganya. Raudha menjadi serba bisa. Saat kelas dua SMP, Raudha tercatat sebagai atlet cabang renang dan atletik (lompat jauh, lompat tinggi, dan estafet) PON V di Bandung tahun 1961.


Pekerjaan seperti menjahit bertani, bemain teater, menulis puisi, dan meukis piawai pula dilakoninya. Ada satu aktivitas yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh Raudha, menyetir kendaraan. Sebelum suaminya, Wisran Hadi, berpulang tahun 2011, dia memilih menyerahkan “tugas” menyetir kepada suaminya. Bukan tak sanggup belajar. Mengendarai traktor pun Raudha pandai karena kuliah di jurusan pertanian.

Berat sekali peran bundo kanduang. Apakah sejak kecil telah dipersiapkan?

Pendidikan terhadap anak perempuan lebih keras sebab dia akan meniadi bundo kanduang setidaknya di level rumah tangga. Anak perempuan tidak boleh cengeng. Akibat pendidikan seperti itu, mereka mandiri. Sejak kecil saya juga dididik dengan keras. Nenek saya selalu bilang, orang senang itu gampang, tetapi menjadi orang susah itu yang sulit. Ada istilah bancah-darek. Kita diajarkan bertahan dalam segala keadaan, baik di tanah basah maupun di darat.

Sekalipun keturunan raja, Raudha selalu dibawa turun ke sawah sewaktu libur sekolah. Saat kelas empat SD, Raudha merninta sepetak sawah kecil di dekat rumah kepada neneknya. Semua pekerjaan, mulai dari menggemburkan tanah, menyebar benih, dan menanam, dikerjakan Raudha. Rasa ingin tahunya terhadap sulitnya kehidupan suatu kali membawa Raudha bermain peran sebagai pengemis di pasar.

Kabarnya sering ke nagari-nagari memberikan ceramah adat dan budaya Minangkabau. Bagaimana perhatian generasi muda terhadap nilai-nilai budaya Minang?


Sudah meniadi rahasia umum, banyak anak muda Minang lupa atau tidak mau tahu dengan adat. Boleh saja menolak nilai yang kita miliki, tetapi setelah dipelajari dalam-dalam dan dipahami. Kepada perempuan Minang saya sering katakan, bukalah peti bunian (kotak harta) lalu lihat satu per satu isinya. Jika ada baju yang robek jahitlah, yang putus benangnya sulamlah. Setelah itu, baru diketahui apakah milik kita itu bisa dipakai lagi atau tidak. Kita harus kritis, ambil yang baiknya.

Adakah kekhawatiran jika merapat ke adat malah menciptakan primordialisme di tengah keragaman masyarakat?

Kalau keberagaman budaya diakui, dipahami, dan dimengerti primordialisme serta konflik tidak akan terjadi. Keneragaman budaya justru memperkuat persatuan karena budaya itu hakikatnya silaturahim. Namun ketika melihat perbedaan itu hanya dari kacamata politik yang ujung-ujungnya kekuasaan konflik dan primordialisme terjadi.

Salah satu peran besar yang ditekuni Raudha sejak kuliah ialah menjadi penyair. Puisi-puisinya bertebaran di majalah sastra, media cetak, dan dibukukan tahun 1980-an dan 1990-an. Ketika berkarya, Raudha menggunakan nama pena Upita Agustina. Belakangan Raudha banyak menulis esai tentang perempuan Minang, Di belantara sastra Nusantara, namanya bersanding dengan almarhum suaminya, Wisran Hadi, yang produktif menulis naskah.

Dari sekian banyak peran, apa yang dianggap sebagai pencapaian tertinggi?

Sebagai penyair. Saya total sebagai penyair karena menekuninya sejak kecil.
Saat menjadi penyair, kita melihat dengan kacamata hati selalu mempertanyakan siapa diri kita dan sampai di mana. Menjadi penyair merupakan pencapaian. Berbeda dengan peran bundo kanduang yang merupakan tugas adat, tanggung jawab, dan utang yang harus dibayar.

Sejauh mana latar Minang berkontribusi dalam karya?

Masa kecil saya dihabiskan sebagian besar di kampung, di Bumi Minang dan dekat dengan alam. Pengalaman masa kecil saya sudah puitis. Setiap bulan purnama kami pulang ke kampung. Di halaman, dikembangkan tikar dan Ayah bercerita tentang bintang-bintang. Betapa saya menikmati musin panen, bermain lempar-lemparan jerami bau lumpur, dan harum padi. Itu yang saya tulis tentang Minangkabau, rumah gadang, sungai yang mengalir, dan perempuan yang perkasa. Saya cenderung berangkat dari masa lalu. Namun, isinya dikontekskan dengan keadaan hari ini. Saya selalu mempertanyakan budaya, adat dan sejarah. Itulah yang menggoda saya untuk menulis.

Semua kegiatan, mulai dari menjadi bundo kanduang, menulis, mendalami ilmu benih, adakah yang menyatukan itu semua?

Akar saya sebagai perempuan Minang.

Sekian lama berbincang, asisten Raudha masuk ruangan memberi kabar bahwa santapan sudah masak. Percakapan kami dengan Raudha pun ditutup dengan harum makanan mengambang di udara walaupun belum bisa disantap karena waktu berbuka puasa masih sesaat lagi.


Oleh: Indira Permanasari dan Budi Suwarna



Sang Profesor Benih

Adakah hubungan peran bundo kanduang dengan gelar profesor benih dalam diri Raudha Thaib? Keduanya dihubungkan Raudha lewat butiran padi.

“Padi itu benih dan dengan padi apa pun bisa menjadi,” ujar Raudha. Untuk memuliakan, orang Minang menjuluki istri dengan sebutan induk bareh (induk beras). Sebaliknya, dulu dalam ritual tani, orang Minang menyebut padi, mande sayang (ibu sayang). Ada yang tidak suka sebutan itu karena mengintepretasikannya sebagai istri subordinat suami.

“Padahal, yang dimaksud induk bareh itu adalah induk kehidupan. Bareh itu sumber energi untuk hidup. Di Minang, perempuan jadi induk kehidupan dan itu tecermin dalam peran bundo kanduang,” paparnya.

Sebelum berkuliah bidang pertanian, awalnya Raudha telah diterima di jurusan kimia. Namun, seorang paman menyarankan Raudha masuk jurusan pertanian karena banyak masyarakat yang bertani. Dia memilih jurusan teknologi pangan. Seiring waktu Raudha menemukan keasyikan dalam teknologi benih. Kata Raudha, benih terkait kehidupan.

“Di dalam benih ada kehidupan yang kita tidak bisa ciptakan. Melihat benih seperti memandang kebesaran dan keajaiban Tuhan,” katanya.

Lewat benih pula, Raudha memahami manusia menjadi khalifah di bumi dengan tugas menyempumakan dan merawat ciptaan Tuhan. Kata Raudha, kalau benih tidak dipelihara, dia tidak akan berlanjut. Jika manusia merampas semua untuk kebutuhannya, tanpa tanggungjawab untuk melestarikan, kelak habislah manusia (INE/BSW)



Bundo Kanduang

Nama Gelar: Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung
Nama pena: Upita Agustine
Lahir: Pagaruyung, Sumatera Barat, 31 Agustus 1947

Suami: H Wisran Hadi

Anak:
-    Sutan Ahmad Riyadh
-    Sutan Muhammad Ridha (almarhum)
-    Sutan Muhammad Thoriq

Pendidikan:
-    Sarjana Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang, 1975
-    S-2 Agronomi pada Pascasarjana Universitas Andalas Padang, 1997
-    S-3 Agronomi pada Pascasarjana Universitas Andalas Padang, 2007

Pekerjaan:
-    Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang pada tahun 2009
-    Penyair dan penulis

Karya:
-    Buku Kumpulan Puisi: Bianglala (1975), Terlupa dari mimpi (1986), Latar (1999), Nyanyian
     Anak Cucu (2000)
-    Buku Lain:
-    Butir-butir Implementasi Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah
-    Carito Niniek Reno.
-    Membuat Denah Pola Pekarangan Rumah Gadang.
-    Palaminan Mlnangkabau.
-    Baju Kurung Basiba

Organisasi:
-    Salah satu pendiri dan pengasuh Bumi Teater Padang.
-    Ketua Umum Bundo Kanduang Sumbar.
-    Pendiri dan Ketua Silek Tuo dan Randai Cindue Mato Istano Si Linduang Bulan.
-    Anggota Dewan Riset Daerah Sumatera Barat
-    Anggota Dewan Pendidikan Daerah Sumatera Barat

Penghargaan:
-    Dikaruniai Darjah Kebesaran Ahli Setia Negeri Sembilan oleh DYMM Tuanku Yang Dipertuan
     Besar Negeri Sembilan Darul Khusus (2008).
-    Bintang Emas sebagai penggiat kebudayaan dari Waiikota Padang (2009)


Saturday, July 20, 2013

Pranatamangsa: Sebuah Budaya yang Terancam Musnah

















Oleh: Sindhunata

Selama ini para petani, paling tidak di Jawa, mempunyai pelbagai cara dan sistem untuk akrab dengan iklim. Cara dan sistem itu sudah demikian lama berlaku, dan mendarahdaging dalam kehidupan petani Jawa. Bisa dikatakan, cara dan sistem mengakrabi dan menanggulangi kekuatan alam itu sudah menjadi semacam budaya. Salah satu cara dan sistem yang telah menjadi budaya tersebut adalah pranatamangsa.

Petani Jawa adalah bagian dari bangsa agraris di Indonesia, yang telah hidup dengan tradisi pertanian padi basah kurang lebih 2000 tahun lamanya. Para petani itu, terutama yang mendiami daerah-daerah bekas kerajaan-kerajaan Jawa, mengikuti suatu sistem penanggalan pertanian, yang disebut pranatamangsa.

Penanggalan tersebut mendasarkan diri pada tahun surya yang panjangnya 365 hari. Penanggalan yang telah diwarisi turun temurun ini konon dibakukan oleh Sri Susuhunan Paku Buawana VII di Surakarta, pada tanggal 22 Juni 1855 . Seperti ditulis oleh N. Daldjoeni, pembakuan tersebut dimaksudkan untuk sekadar menguatkan sistem penanggalan yang mengatur tata kerja kaum tani dalam mengikuti peredaran musim dari tahun ke tahun (Uraian berikut ini seluruhnya didasarkan pada tulisan Drs. N. Daldjoeni: Penanggalan Pertanian Jawa Pranatamangsa, terbitan Proyek Javanologi, Yogyakarta, tanpa tahun).

Dalam pembakuan tersebut, ahli perbintangan kraton memang cukup berjasa. Kendati demikian itu tidak berarti bahwa mereka telah menciptakan sesuatu yang baru. Sebab sesungguhnya, penanggalan itu sudah ada dalam hidup petani Jawa turun temurun. Bahkan sebelum kedatangan orang-orang Hindu, nenek moyang kita sudah akrab dengan peredaran bintang-bintang di langit yang mendasari pengetahuan tentang perulangan musim.

Pranatamangsa, arti harafiahnya adalah pengaturan musim. Agaknya, pemanfaatan pranatamangsa ini ikut menyumbang pada keberhasilan dan keagungan kerajaan-kerajaan Mataram Lama, Pajang dan Mataram Islam. Dengan pranatamangsa tersebut, orang pada zaman itu mempunyai pedoman yang jelas untuk bertani, berdagang, menjalankan pemerintahan dan keserdaduan.

Pranatamangsa ini mempunyai seluk beluk yang tak kalah rumitnya dengan penanggalan Mesir kuno, Cina, Maya dan Burma. Kata Daljoeni: “Di dalam pranatamangsa terdapat pertalian yang mengagumkan antara aspek-aspeknya yang bersifat kosmografis, bioklimatogis yang mendasari kehidupan sosial-ekonomi dan sosial-budaya masyarakat bertani di pedesaan. Sebagai keseluruhan pranatamangsa mencerminkan ontologi menurut konsepsi Jawa serta akhetip alam pikiran petani Jawa yang dilukiskan dengan berbagai lambang yang berupa watak-watak mangsa dalam peristilahan kosmologis yang mencerminkan harmoni antara manusia, kosmos dan realitas” (Ibid., hlm. 5-6).

Pembagian musim

Pranatamangsa ini membagi setahun dalam 12 mangsa: mangsa kasa (I), karo (II), katelu (III), kapat IV), kalima (V), kanem (VI), kapitu (VII), kawolu (VIII), ksangsa (IX), kasapuluh (X), desta (XI), saddha (XII). Masing-masing mangsa mempunyai bintang sendiri-sendiri. Bintang tersebut berlaku sebagai pedoman bagi awal dan akhirnya suatu mangsa.

Maka mangsa kasa, bintangnya Sapigumarang, mangsa karo, bintangnya Tagih, mangsa katelu, Lumbung, mangsa kapat, Jarandawuk, mangsa kalimat, Banyakangkrem, mangsa kanem, Gotongmayit, mangsa kapitu, Bimasekti, mangsa kawolu, Wulanjarangirim, mangsa kasanga, Wuluh, mangsa kasapuluh, Waluku. Dua mangsa terakhir, desta dan saddha tak mempunyai bintang yang khusus. Bintang kedua mangsa tersebut sama dengan bintang pada mangsa karo dan katelu, yakni lumbung dan tagih.

Untuk mengetahui letak masing-masing mangsa, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa petani juga membagi setahun dalam empat mangsa utama, yakni mangsa terang (82 hari), semplah (99 hari), udan (86 hari), pengarep-arep (98 hari). Simetris dengan pembagian tersebut, juga ada pembagian mangsa utama seperti berikut ini: mangsa katiga (88 hari), labuh (95 hari), rendheng (94 hari), mareng (88 hari).

Lalu dengan peletakan yang demikian simetris, demikianlah tempat dua belas mangsa ditaruh dalam siklus tahunan yang selalu berulang (N. Daldjoeni: Ibid, hlm. 7-8):
a. Satu tahun yang panjangnya 365 hari dibagi menjadi 2 tengah tahunan. Masing-masing tengah tahunan dipecah lagi atas 6 mangsa, yang panjang harinya berturut-turut adalah: 41-23-24-25-27-43.
b. Dalam pada itu, mangsa ke-I (kasa) dimulai pada saat matahari ada di zenith untuk garis balik Utara Bumi (tropic of Cancer), yakni tanggal 22 Juni. Mangsa ke VII (kapitu) dimulai pada tanggal 22 Desember ketika matahari ada di zenith garis balik Selantan Bumi (tropic of Capricorn).
c. Kedua periode tengah tahunan itu saling bergandengan pada mangsa yang paling panjang, yakni mangsa terang (mangsa sadha dan kasa) yang lamanya 82 hari dan mangsa udan (mangsa kanem dan mangsa kapitu) yang lamanya 86 hari.
d. Mangsa terang diapit oleh dua mangsa yang kontras, yakni mangsa panen (mangsa dhestha) dan mangsa paceklik (mangsa karo). Mangsa udan diapit oleh dua mangsa dengan letak matahari di zenith untuk pulau Jawa, yakni mangsa kalima dan mangsa kawolu.
e. Mangsa pangarep-arep (harapan) yang mengandung musim berbiak bagi berbagai hewan serta tanaman makanan pokok, berhadapan dengan mangsa semplah (putus asa) yang masing-masing meliputi 3 mangsa, yakni kawolu, kasanga, kasapuluh berhadapan dengan mangsa katelu, kapapat dan kalima.

Periode-periode musim yang ditandai dengan nama-nama mangsa itu berulang secara teratur dalam setiap tahun. Petani dapat membuktikan pengulangan musim yang teratur itu dengan mengamati rasi bintang yang muncul secara teratur dan periodik pula. Misalnya, rasi bintang Lumbung (Crux) pada mangsa katelu, Banyakangkrem (scorpio) pada mangsa kalima, Waluku (Orion) pada mangsa kasapuluh, wuluh (pleyades) pada mangsa kasambilan, wulanjarngirim (Centauri) pada mangsa kawolu, bimasakti (Milkmay)) pada mangsa kapitu, dan sebagainya.

Munculnya rasi bintang tertentu, disusul oleh munculnya rasi bintang tertentu lainnya adalah patokan untuk menentukan saat mulai serta saat berakhirnya masing-masing mangsa. Berbarengan dengan itu, panjang bayangan manusia pada tengah hari juga dipakai untuk menentukan panjang pendeknya suatu mangsa tertentu. Di samping itu, dalam pembagian mangsa-mangsa, petani juga memperhatikan asal-usul angin serta gerakan-gerakan angin. Sesungguhnya semuanya itu tidaklah lain daripada penyesuaian udara pada pergeseran perjalanan matahari di sepanjang tahun.

Watak-watak mangsa

Atas dasar semuanya itu ditentukanlah watak setiap mangsa, dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia dalam mengolah tanaman dan pertaniannya. Jadi penentuan watak mangsa yang mungkin berkesan mistis itu sesungguhnya mempunyai pijakan yang berdasarkan pengalaman nyata dan pengamatan yang sangat rasional. Dengan kata lain, di balik suatu penentuan watak mangsa selalu ada pengalaman nyata dan dasar rasionalnya. Demikianlah misalnya urutan watak-watak mangsa itu.

Sotya murca ing embanan (ratna jatuh dari tatahan). Itulah watak dari mangsa kasa (I), yang jatuh pada mangsa ketiga, masa terang yang biasanya kering. Mangsa ini ditandai dengan gejala alam, daun-daun yang berguguran, dan bintang beralih. Dihitung dengan penanggalan umum, mangsa ini berawal pada 22 Juni dan berakhir pada 1 Agustus. Menurut Daldjonei, kondisi meteorologisnya: sinar matahari 76%, lengas udara 60,1%, curah hujan 67,2 mm, suhu udara 27,4 derajat Celcius (Lih. ibid. hlm. 12). Pada masa ini manusia merasa ada sesuatu yang hilang dalam alam, walau cuacanya sedang terang.

Lalu masuklah manusia ke dalam mangsa karo, yang wataknya adalah bantala rengka (tanah retak). Mangsa ini berlangsung 1 Agustus sampai 24 Agustus. Pada masa yang juga jatuh pada satuan mangsa ketiga ini, hawa menjadi panas. Kondisi meteorologis kurang lebih sama dengan mangsa kasa (I), kecuali curah hujan turun menjadi 32,2 mm. Pada masa ini manusia mulai merasa resah, karena suasana kering dan panas, rasanya bumi seperti merekah. Memang mangsa sedang memasuki alam paceklik.

Alam paceklik itu makin menajam, ketika manusia memasuki mangsa katelu, yang wataknya adalah suta manut ing bapa (anak menuruti ayah). Mangsa ini berlangsung dari 25 Agustus sampai 17 September. Kondisi meteorologis sama dengan mangsa sebelumnya, hanya curah hujan naik lagi menjadi 42,2 mm. Mangsa yang juga bagian dari mangsa ketiga ini ditanda dengan sumur-sumur yang mengering dan angin yang berdebu. Tak ada yang dapat dibuat manusia, kecuali pasrah sambil berharap semoga masa ini segera berakhir.

Harapan itu mulai cerah, ketika alam memasuki mangsa kapat, yang wataknya adalah waspa kumembeng jroning kalbu (airmata tersimpan dalam hati). Masa yang berlangsung dari 18 September sampai 12 Oktober ini jatuh pada musim labuh, di mana kemarau mulai berakhir. Sinar matahari 72%, lengas udara 75,5%, sedang curah hujan 83,3mm, dan suhu udara 26,7 derajat Celcius. Di sini manusia masih harus menunda kegembiraannya, ia masih harus menunggu sampai semua kesedihan dan kekeringan sungguh berlalu.

Maka datanglah mangsa katelu, yang juga jatuh pada musim labuh. Mangsa ini berlangsung dari 13 Oktober sampai 8 November. Kondisi meteorologi sama dengan mangsa karo, hanya curah hujan naik menjadi 151,1%. Watak dari mangsa ini adalah pancuran mas sumawur ing jagad (pancuran masa berhamburan di bumi). Mangsa ini ditandai dengan turunnya hujan yang pertama. Manusia pun mulai diliputi sukacita atas kesegaran air hujan yang turun dari langit seperti pancuran masa.

Lalu tibalah mangsa kanem, juga masih di musim labuh. Mangsa ini berlangsung dari 9 November sampai dengan 21 Desember. Kondisi metereologis sama dengan mangsa sebelumnya, hanya curah hujan meninggi, jadi 402,2 mm. Alam menghijau, dan hati merasa tentram. Memang mangsa ini amat indah, sesuai dengan watak dan candranya: rasa mulya kasucen, rasa mulia yang berasal dari kesucian. Alam memberi rasa persahabatan yang luar biasa. Seakan semuanya muncul dari kesuciannya. Dan manusia pun diundang untuk ikut merasakan kesucian itu. Ia tidak menjadi serakah, justru hatinya menjadi penuh rasa syukur, karena pada saat inilah ia menerima dari alam berkah yang amat berlimpah-limpah. Sawah-sawah mereka menghijau, air mengalir jernih, memberi rasa hati yang aman tentram.

Kemudian musim masuk ke dalam satuan besar mangsa rendheng, yang terdiri dari mangsa kapitu, kawolu dan kasanga. Di mangsa kapitu 22 Desember sampai dengan 2 Februari, ketentraman manusia sejenak terganggu. Kondisi meterologis mangsa ini adalah sinara matahari 67%, lengas udara 80, curah hujan 501,4, dan suhu udara 26,2 derajat Celcius. Watak dari mangsa ini adalah wisa kentar ing maruta, bisa terbang tertiup angin. Inilah musim datangnya penyakit, dan alam ditandai dengan banjir. Petani tetap menerima masa ini dengan penuh syukur. Sebab dalam masa ini, alam yang kelihatannya kurang bersahabat sesungguhnya sedang menyimpan berkah panen yang demikian kaya. Di samping itu, tanaman memang sedang membutuhkan siraman air sebanyak-banyaknya.

Tanda-tanda kegembiraan dan berkah kemudian mulai terlihat, ketika kucing-kucing mulai kawin. Kendati alam dipenuhi dengan sambaran kilat, birahi kucing-kucing itu adalah pratanda, bahwa hal yang gembira sedang berada di ambang mata. Memang inilah tanda ketika mangsa kapitu beranjak ke mangsa kawolu (3 Februari sampai 28 Februari), yang wataknya adalah anjrah jroning kayun, sesuatu sedang merebak di dalam kehendak. Kondisi metereologis sama dengan mangsa sebelumnya, kecuali curah hujan turun menjadi 371,8 mm. Dalam mangsa ini, kendati mendung dan kilat, manusia tidak diliputi rasa takut, karena kehendaknya menyegar bersama turunnya hujan yang dahsyat. Hujan yang menyapu segala kekeringan. Hujan yang menabungkan air bila kelak bumi dilanda kekeringan.

Lalu garengpung mulai berbunyi di mana-mana. Suara mereka keras, seakan menyanyikan apa yang hendak dikatakan oleh alam. Memang pada saat ini, kulit manusia menjadi peka terhadap penyakit. Tapi kekhawatiran itu tak terbandingkan dengan gairah yang ada di ujung musim penghujan. Begitulah keadaan mangsa kasanga (1 Maret sampai 25 Maret), yang wataknya adalah wedare wacana mulya, keluarnya sabda mulya. Kondisi meteorologis sama dengan mangsa sebelummya, hanya curah hujan menurun lagi jadi 252,5 mm.

Dengan habisnya mangsa kasanga, berakhir sudah satuan mangsa rendheng. Alam pun memasuki satuan mangsa terakhir dalam setahun, yaitu mangsa mareng, yang dibagi dalam mangsa kasapuluh, destha dan sada. Mangsa kasapuluh (26 Maret sampai 18 April) ini ditandai dengan awal perkembangbiakan. Burung-burung mulai bertelur. Kendati demikian, mangsa ini serasa menyimpan antisipasi yang sedikit muram, mungkin karena tak lama kemudian akan datang musim kemarau yang penuh dengan kekeringan. Karena itu di mangsa ini, orang merasa gampang lesu dan pusing-pusing. Itulah mangsa kasapuluh, yang wataknya adalah gedong minep jroning kalbu, gedung tertutup dalam hati. Kondisi meterologis mangsa ini adalah sinara matahari 60%, lengas udara 74%, curah hujan 181,6 mm, dan shu udara 27,8 derajat Celcius.

Akhirnya burung-burung pun mulai menetas. Alam menunjukkan daya ciptanya lagi. Kesuburan seakan diasah kembali, kendati kemarau sudah di ambang mata. Itulah saat ketika alam sedang masuk ke dalam mangsa destha (19 April sampai dengan 11 Mei), yang wataknya adalah sotya sinarawedi, intan yang diasah. Kondisi meterologis sama dengan di atas, kecuali curah hujan menurun jadi 129,1 mm.

Hujan pun mulai sungguh habis. Maka masuklah alam ke dalam mangsa sada (12 Mei sampai dengan 21 Juni), yang wataknya adalah tirta sah saking sasana, air lenyap dari tempatnya. Kondisi meteorologis masih sama dengan sebelumnya, hanya curah hujan naik lagi menjadi 149,2 mm. Inilah saat, di mana kemarau mulai tiba. Dan manusia pun bersiap untuk memasuki satuan mangsa katiga, mangsa yang mengawali peredaran siklus dalam setiap tahunnya.

Begitulah kurang lebih sketsa watak-watak mangsa. Penyertaan kondisi metereologis yang dicantumkan oleh Daldjoeni kiranya memberi kita pengetahuan, bahwa watak-watak mangsa itu berkaitan dengan kondisi empiris-metereologis yang nyata.

Pengetahuan dan kebijaksanaan alam

Dari paparan di atas tampak, bahwa pranatamangsa menyimpan pengalaman manusia dalam bergaul dengan tantangan dan berkah alam. Pranatamangsa juga merupakan abstraksi dan refleksi manusia tentang pengalaman hidupnya dengan alam. Dengan refleksinya itu, manusia belajar bagaimana selanjutnya menyiasati sikap dan tindakannya terhadap alam.

Dalam pranatamangsa juga amat tampak, betapa petani Jawa sangat akrab dengan alam. Bagi petani Jawa, alam bukanlah lawan yang harus ditaklukkan, melainkan teman yang dicintai. Karena keakrabannya itu, petani Jawa mengenal segala watak dan perilaku alam. Watak dan perilaku tersebut diterima dan dirumuskan dengan bahasa yang demikian manusiawi.

Dari bahasa tersebut alam terbaca sebagai kehidupan yang tak ubahnya seperti kehidupan manusia sendiri. Dari pranatamangsa juga terbaca, bagaimana alam menjadi teman di mana manusia menumpahkan harapannya, tapi juga mengungkapkan keputusasaannya. Apa yang menjadi kegembiraan manusia, juga menjadi kegembiraan alam. Dan apa yang menjadi kesedihannya, juga menjadi kesedihan alam. Atau sebaliknya: Jika alam bergembira, manusia pun bergembira. Sebaliknya, jika alam berada dalam kesedihan dan kekeringannya, manusia pun ikut dalam kesedihan dan kekeringannya.

Tak ada yang permanen dalam alam. Alam selalu bergerak dalam siklusnya. Dan manusia dengan rela begerak dalam siklus itu, jatuh dan bangun dalam kegembiraan dan kesedihan alam, berputusasa dan berharapan dalam kekeringan dan kelimpahan alam. Misalnya, pada mangsa kawolu, yang dimulai sekitar awal Februari sampai awal Maret. Saat ini ditandai dengan guntur yang bersahut-sahutan. Suasana terasa sedih, walau alam sedang diguyur kesegaran hujan.

Karena itu mangsa ini juga disebut mangsa paceklik rendhengan. Wataknya “anjrah jroning kayun” juga disebut pula cantika, yang artinya terhenti segala pikiran, perasaan dan kehendak. Dalam suasana yang pasif-pasrah ini, bila malam tiba, muncullah di langit bintang wulanjar ngirim, yang mengisyaratkan arti tentang janda muda yang belum beranak sedang mengantar kiriman makanan ke sawah. Suasana alam dengan segala metaforanya yang di satu pihak sedih tapi di lain pihak gembira ini membuat petani terangsang untuk bangkit dari kelesuannya dan menggali kembali harapannya (Lih. Daldjoeni: Ibid. hlm. 25).

Mangsa kawolu, berserta mangsa kasanga dan kasapuluh itu, panjangnya kurang lebih 75 hari, mulai 3 Februari sampai 19 April. Mangsa ini juga disebut mangsa pangarep-arep, mangsa harapan. Dengan istilah ini hendak diisyaratkan, kendati dirundung sedih karena mangsa paceklik rendhengan yang memang kelabu dan lesu, petani juga mempunyai harapan bahwa mereka akan segera bangkit dari kesedihannya bersama alam. Dan harapan itu bukan khayalan, karena pada waktu itu terlihat padi-padi telah menguning.

Toh ketika harapan ini benar-benar menjadi kenyataan, mereka tetap diingatkan untuk waspada dan berjaga-jaga sampai berakhirnya mangsa kasapuluh. Sikap waspada dan berjaga-jaga itu perlu, agar nanti panenan mereka berhasil. Kewaspadaan itu adalah tuntutan dari kesabaran, yang harus mereka tanggung ketika mereka sedang menunggu datangnya mangsa dhesta, mangsa panen. Mereka disabarkan oleh alam, karena sebentar lagi alam akan memasuki mangsa dhesta, mangsa panen, yang terjadi pada awal April.

Terlihat juga dengan pranatamangsa ini, manusia dibantu untuk ikut prihatin dan berharap bersama siklus alam, yang memang secara teratur berjalan dalam kekurangan dan kelimpahannya, kering dan segarnya, kemarau dan hujannya. Ini tentu membantu petani untuk merancang kehidupan ekonominya. Dengan patokan pranatamangsa itu, mereka akan dibantu bagaimana berhemat dan berprihatin ketika alam berada dalam kekurangannya, dan bagaimana mereka boleh bergembira dan berpesta ketika alam mengantar mereka masuk dalam kelimpahannya.

Pranatamangsa memberi petani pegangan, bagaimana mereka mengatur ekonominya dengan menjalin keputusasaan dan harapan, yang tak dapat dipisahkan dari situasi alam, yang memang harus berjalan dari kekurangan menuju kelimpahan, dari kekeringan menuju kesuburan, dari paceklik menuju panenan. Penyesuaian diri dengan alam dengan demikian membuat manusia pandai mengolah kekurangannya, dan kuat dalam menanggung harapannya, karena mereka selalu menyimpan harapan yang tak lain adalah berkah kelimpahan alam sendiri.

Pedoman untuk mengolah tanaman

Sementara pranatamangsa juga bisa berfungsi sebagai pedoman bagi petani untuk mengolah tanamannya. Pada mangsa kasa (I), ketika daun-daun kelihatan berguguran, dan belalang mulai bertelur, petani mulai menanam palawija. Pada mangsa karo, ketika tanah-tanah merekah, dan pohon-pohon mangga serta kapuk mulai berbuah, petani mulai mengairi sawah dan tanaman palawijanya. Pada mangsa katiga, pohon-pohon bambu, gadung, temu dan kunyit subur bertumbuh. Pada saat inilah orang mulai memetik tanaman palawijanya.

Pada mangsa kapat, pohon-pohon kapuk sedang berlimpah dengan buahnya. Burung pipit dan burung manyar membuat sarangnya. Inilah masa petani mulai bersiap-siap untuk mengolah sawahnya. Dan dengan datangnya mangsa kalima, mereka pun giat membajak dan mencangkuli sawahnya. Berbarengan dengan itu, pohon-pohon asam sedang rimbun dengan daun mudanya. Kunyit dan gadung pun mulai berdaun. Hujan mulai deras, dan ulat-ulat keluar.

Pada mangsa kanem, ketika pohon-pohon mangga dan rambutan sedang masak berbuat, dan di parit-parit banyak terlihat binatang lipasan, para petani merawat dan membersihkan sawahnya. Dan pada mangsa kapitu, bersama-sama dengan derasnya air karena hujan yang turun menderas, petani mulai menanam padi di sawah-sawah mereka.

Pada mangsa kawolu, tanaman padi kelihatan tumbuh meninggi, dan di sana sini kelihatan pula buliur-bulirnya. Petani segera bersiap untuk menyianginya. Dan datanglah mangsa kasanga. Inilah saatnya bulir-bulir padi menjadi masak, bersama merdunya suara cenkerik dan cenggaret. Padi-padi benar-benar menjadi tua, dengan datangnya mangsa kasapuluh, yang ditandai dengan kegiatan burung-burung yang terbang ke sana kemari untuk membuat sarangnya. Dan ketika burung-burung sedang mengerami telurnya, petani memanen padi di sawah-sawah.

Itulah yang terjadi sampai datangnya mangsa dhesta dan sada, masa ke sebelas dan dua belas. Waktu itu padi-padi dipotong, dan petani menyiapkan diri lagi untuk menghadapi datangnya mangsa katiga, yang kering dan sulit.

Tampak dari dinamika ini suatu proses, yang titik berangkatnya adalah masa yang sulit, dan tujuan akhirnya adalah masa yang segar dan penuh berkah panenan. Jelasnya, petani menandai penanggalan alamnya bukan dengan dimulainya masa yang subur, tapi dengan masa yang sulit dan kering (mangsa kasa, karo dan katelu, yang merupakan satuan mangsa katiga). Lalu dari sana mereka beranjar menyongsong masa yang subur dan bahagia, yakni masa kasapuluh, dhesta dan sada, yang kaya raya dengan panenan padi.

Dari sana tampak mentalitas, kejiwaan dan pandangan hidup petani: Mereka seperti alam, yang pelahan-lahan bekembang, mulai dari tunasnya sampai pada buahnya, mulai dari kelahirannya sampai kepada kedewasaan dan kematangannya. Dan uniknya, itu tidak berarti bahwa harapan mereka baru terpenuhi di ujung nanti.

Seperti tampak dalam paparan di atas, harapan itu sudah terkandung dalam setiap masa. Sebab dalam masa yang paling peceklik pun mereka tetap mempunyai harapan. Itu karena sekali lagi, mereka mengiramakan diri dalam siklus alam. Tak mungkin alam hanya berisi kekeringan. Dan situasi yang paling kering sekali pun, alam sudah menyimpan dalam dirinya kesuburan.

Dinamika alam ini tidak pernah membohongi petani. Suatu saat nanti, alam pasti akan memberikan berkahnya, setelah semua proses pertumbuhan dilalui. Ini tentu membuat petani mampu bertahan dalam segala kesulitannya: Bersama alam, mereka bertahan dalam harapan.

Begitulah, buat petani alam bukanlah sekadar tanah atau barang mati yang harus diolah. Alam adalah kehidupan, seperti manusia sendiri juga kehidupan. Dari keyakinan ini, kita bisa mengerti, mengapa pranatamangsa juga percaya, bahwa setiap mangsa mempunyai dewa dan lambang kehidupannya sendiri-sendiri.

Maka mangsa kasa mempunyai dewa Wisnu, dan binatangnya adalah domba. Dewa mangsa karo adalah Dewa Sambu, dengan binatangnya banteng. Mangsa katelu dilindungi oleh Dewa Rudra dengan lambang kehidupan sebuah tanaman yang sedang mulai tumbuh dan bertunas. Mangsa kapat berdewa Dewa Yomo dan binatangnya kepiting. Dewi Metri adalah dewa mangsa kalima, binatangnya singa. Mangsa kanem berdewa Naya, dan lambang hidupnya adalah seorang perempuan bernama Roro Kenya.

Mangsa kapitu mempunyai Dewa Sanghyang yang disertai lambang neraca keseimbangan. Dewa Durma adalah pelindung mangsa kawolu, yang binatangnya kelabang. Mangsa kasanga dilindungi Dewa Wasana, yang ditemani burung garuda. Dan Dewa Basuki adalah dewa mangsa kasapuluh, dan binatangnya adalah kambing. Dewa Prajapati adalah dewa mangsa dhesta, yang disertai lambang kehidupan air yang tertumpah. Lalu Dewa Gana adalah dewa mangsa sada, yang binatangnya adalah mina atau atau ikan.

Dewa-dewa ini kiranya berfungsi sebagai penjaga dan pelindung masing-masing mangsa. Itu menunjukkan, bahwa masing-masing mangsa mempunyai kekuasaan, wewenang dan kekuatannya sendiri. Dan tentu saja, dewa-dewa penjaga atau pelindung itu adalah tanda, bahwa setiap mangsa adalah kehidupan, kekuasaan dan wewenang yang tak dapat begitu saja disingkirkan atau disepelekan.

Dari paparan di atas, kiranya kita boleh menarik beberapa kesimpulan ini. Jelas, dalam pranatamangsa tercermin alam pikiran agraris para petani Jawa. Dengan pranatamangsa, petani mencoba menyesuaikan diri dengan irama alam yang abadi, sehingga terjadilah kelerasan antara kosmos dan manusia. Seperti dikatakan oleh Daldjoeni, “Dalam kebijaksanaan kosmologis sebenarnya terletak rahasia dan kekuatan menderita manusia” (Ibid. hlm. 32).

Memang, dengan menyelaraskan diri pada alam, petani terbukti telah memungut demikian banyak berkah yang diberikan oleh alam. Jika mereka harus menderita, mereka tidak menderita sendiri. Alam menemani mereka dalam penderitaan. Dan jika demikian, dalam penderitaan itu tersimpan janji perubahan, sebab alam sendiri selalu beranjak menuju perubahan. Tak selamanya orang berada dalam musim kering, artinya suatu saat orang pasti akan menikmati kesegaran dan berlimpahnya hujan. Tak selamanya orang menjadi kecil dan kerdil: Seperti pohon, mereka pun akan tumbuh menjadi besar, jika mangsanya telah tiba.

Spritualitas bumi

Pranatamangsa kiranya memperlihatkan suatu kekayaan, yang dalam khazanah ekologi disebut sebagai the spirituality of the earth, spiritualitas bumi. Spriritualitas bumi adalah spritualitas yang arahnya adalah penghomatan dan apresiasi pada bumi dan alam tempat manusia hidup dan berada (Bdk. Thomas Berry: The Sprituality of the Earth, dlm.: Charles Birch/William Eakin/Jay B. McDaniel (eds.): Liberating Life, Contemporary Approaches To Ecological Theology, Maryknoll, 1990, hlm. 151-158).

Seperti terlihat dalam pranatamangsa, di sini bumi tidak diperlakukan sebagai obyek, tapi sebagai subyek. Bumi bahkan dianggap sebagai pertiwi atau ibu, yang melahirkan manusia dan memberikan apa yang kita butuhkan sehingga kita dapat berada seperti sekarang dan mempunyai apa yang kita miliki sekarang. Pranatamangsa juga menunjukkan, bahwa dalam totalitasnya, manusia tak bisa dilepaskan dari bumi. Menjadi manusia adalah membumi, meng-alam. Karena itu manusia harus mengenal segala daya dan kekuatan alam, termasuk peredarannya yang berjalan dari musim ke musim.

Pranatamangsa jelas menunjukkan, bahwa bumi atau alam adalah tempat manusia berasal. Lalu alam juga ibu yang memberi makan, mendukung, menuntun dan menunjukkan jalan pada manusia. Dengan amat tajam, pranatamangsa menunjukkan radikalitas dari spiritualitas bumi, yakni jika memang manusia tak mempunyai spiritualitas bumi, maka ia tidak mempunyai spritualitas seluruhnya. Dengan kata lain, kaitannya dengan bumilah yang membuat ia menjadi manusia yang mempunyai spirutalitas. Ini adalah suatu pengakuan pula, bahwa bukannya bumi yang tidak mempunyai spiritualitas, melainkan manusialah yang tidak memahami spiritualitas bumi, sampai ia kemudian berpendapat bahwa bumi memang tidak mempunyai spiritualitas.

Pranatamangsa memperlihatkan, betapa petani Jawa diperkaya dalam hidupnya, karena mereka mau dan berani hidup dari spiritualitas bumi. Mereka menangkap segala pratanda yang diberikan oleh bumi dan alam. Mereka juga masuk ke dalam bumi dalam kesedihan dan kegembiraannya, kekurangan dan kelimpahannya, kekeringan dan kesegarannya. Mereka bersukacita bersama bumi, tapi juga menangis bersama bumi. Karena itu, pranatamangsa juga membahasakan segala perilaku bumi dan alam dalam bahasa manusia.

Ini tentu makin mempererat hubungan antara manusia dan bumi: manusia dan bumi tak saling mengasingkan, tapi saling memberi. Dalam spirtualitas inilah terletak rahasia mengapa petani Jawa dapat terus mempertahankan hidupnya, kendati segala kesulitan yang mereka derita. Bumi telah menjadi bagian dari kerohanian mereka, sehingga bumi menopang hidup mereka yang lahiriah pula. Kerohanian bumilah kekuatan tersembunyi yang berada di dalam lubuk terdalam hati petani Jawa.

Sayang spirittualitas macam ini tak mempunyai masa depan. Malahan dengan kemajuan teknologi pertanian, spritualitas itu digilas pelan-pelan. Memang pranatamangsa hampir tak meninggalkan bekasnya dalam diri petani Jawa dalam menjalankan pertaniannya dewasa ini. Mereka tak paham lagi tentang peredaran dan perjalanan musim berserta watak-wataknya. Mereka tak mengenal lagi bahasa-bahasa pranatamangsa.

Ini tentu bukan salah mereka. Soalnya adalah pranatamangsa sendiri diam-diam telah menghilang, ketika zaman digerakkan oleh kemajuan dan kemodernan. Lebih celaka lagi, pranatamangsa itu hanya akan tinggal sebagai fosil, jika kita menyimakkan dari kacamata perubahan iklim seperti yang akan kita lihat di bawah ini.

Ancaman terhadap umat manusia

Sudah menjadi wacana umum, bahwa perubahan iklim adalah tanda bahaya yang mengancam manusia di abad global ini. Sejak Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengeluarkan publikasinya yang ke empat di tahun 2007, tak diperdebatkan lagi bahwa perubahan iklim yang terkait dengan ulah manusia itu sungguh terjadi dan menjadi ancaman serius bagi umat manusia. Yang masih diperdebatkan adalah cara-cara bagaimana menanggulangi bahaya itu (Uraian ini diambil dari Johannes Muller SJ: Klimawandel als ethische Herausforderung, Perspektiven einer gerechten und nachhaltigen Globalisierung, dlm.: Stimmen der Zeit 6 (2008), hlm. 391-405).

Masalah penanggulangan bahaya akibat perubahan iklim tersebut selalu menjadi tema pokok dalam konperensi politik dunia, mulai dari sidang OECD di Heiligendam, disusul oleh pertemuan puncak tentang masalah iklim yang diselenggarakan PBB di New York, sampai konferensi antar negara yang membicarakan soal iklim Desember tahun 2007 lalu di Bali.

Berdasar laporan IPCC, dalam seratus tahun terakhir ini panas iklim global meningkat 0,74 derajat Celcius. Diakui, manusia dengan ulah dan aktivitasnya adalah faktor yang paling bertanggungjawab atas makin memanasnya iklim tersebut. Iklim memanas karena emisi yang diakibatkan efek gas-gas rumah kaca, terutama CO2. Sekitar 60% peningkatan CO2 adalah efek dari penggunaan bahan-bahan bakar fosil, batu bara, minyak bumi, dan gas bumi. Lalu berikutnya 20% peningkatan CO2 itu disebabkan karena pemanfaatan lahan yang membabibita, lebih-lebih dengan penebangan pohon-pohon yang selama ini menjadi kekayaan rimba raya.

Jadi peningkatan itu adalah akibat dari penggunaan enersi. Dilihat secara historis, negara-negara industri bertanggungjawab atas hampir 80% dari peningkatan CO2 tersebut. Sementara negara yang sedang berkembang pesat, terutama Cina, juga ikut bertanggungjawab atas masalah tersebut.

Diperkirakan suhu rata-rata bumi di abad ke 21 akan naik sekitar 1,1 sampai 6,4 derajat Celcius. Skenario penelitian iklim yang lebih moderat memperkirakan kenaikan itu sekitar 1,4 sampai 4,4 derajat Celcius. Bahkan seandainya semua emisi CO2 dapat segera dihentikan, suhu udara tetap naik sekitar 1 derajat Celcius, karena sistim iklim bereaksi hanya dengan sangat lambat, juga terhadap upaya penurunan apa pun.

Sekadar perbandingan, pernah terjadi pemanasan di sekitar 5 derajat Celcius, yakni di sekitar 15000 tahun sebelum akhir dari zaman es. Tapi itu terjadi dalam kurun waktu yang sangat panjang, sekitar 5000 tahun. Sekarang menurut konsensus yang diterima luas, suhu udara jangan sampai naik 2 derajat Celcius melampaui marka pembatas yang dipatok pada zaman pra industri, jika memang manusia tidak ingin beresiko dengan pemanasan bumi yang demikian berbahaya dan nyaris tak dapat ditanggulangi itu. Target ini memang amat ambisius. Namun kalau manusia mau, target itu bukannya tak dapat dicapai.

Perubahan iklim itu adalah akibat dari model peradaban dan ekonomi yang diciptakan oleh manusia sendiri. Dan bersamaan dengan itu, juga karena pola kesejahteraan yang terus bertumbuh. Namun itu semuanya ternyata hanya berkenaan dengan sebagian kecil manusia, tepatnya manusia dari negara-negara kaya. Institut penelitian iklim Postdam (PIK) memperjelas hal tersebut dengan membuat peta yang memaparkan adanya korelasi ini: Makin kaya suatu negara, makin tinggi emisi CO2-nya.

Jelas, dengan demikian negara-negara kaya adalah kelompok yang paling bertanggungjawab atas makin membubungnya emisi CO2 yang mengakibatkan naiknya panas bumi itu. Maka orang berkata: Bahaya pemanasan bumi ini adalah hutang bahan bakar dari negara-negara kaya.

Memang globalisasi telah mempercepat model peradaban dan ekonomi yang mengandung bahaya pemanasan bumi itu ke seluruh dunia. Repotnya, makin banyak negara-negara mengikuti pola tersebut. Akibatnya, tuntutan terhadap penggunaan enersi makin meninggi, dan dengan itu juga makin tingginya emsi CO2. Perlombaan ini tentu memakan korban. Dan korbannya terutama adalah mereka yang paling miskin, yang merupakan 20% dari penduduk dunia. Mereka ini tersisihkan dari proses kesejahteraan, dan makin lama makin jelek keadaannya.

Akibat dari pemanasan global ini adalah: penyusutan gletser, pencairan dataran-dataran yang selama ini beku, melelehnya gunung-gunung es, meningkatnya panas cuaca secara ekstrem, dan naiknya permukaan laut, dan berkurangnya secara massif bio-diversity.

Pemanasan ini juga mempunyai akibat sosial: kekurangan air, menyebarnya wabah penyakit, pengungsian dan eksodus besar-besaran karena perubahan iklim, entah secara temporer entah secara permanen. Secara politis, perubahan ini juga akan mengakibatkan resiko stabilitas.

Jika korban-korban dipetakan, maka negara miskinlah yang paling vulnerable terhadap pemanasan global itu. Dan jika orang bicara tentang vulnerabilitas dalam kaitan dengan perubahan iklim, dua aspek ini harus diperhatikan.

Pertama, ternyata ada daerah-daerah, yang dalam dirinya telah membawa kerawanan karena perubahan iklim. Daerah itu umumnya dihuni oleh kaum miskin. Daerah tersebut biasa menjadi langganan badai dan topan, banjir dan kekeringan. Meningkatnya temperatur di daerah-daerah yang tinggi kelembaban udaranya plus segala akibatnya, seperti misalnya naiknya permukaan laut, pasti menghantam kaum miskin tersebut, misalnya mereka yang menghuni permukiman kumuh di pantai atau mereka yang hidup di lereng-lereng yang rawan tanah longsor.

Karena pemanasan global itu, orang juga akan makin sulit untuk mencukupi kebutuhan dasarnya, dan demikian juga akan makin memperbesar kemiskinan. Secara global diramalkan, sampai tahun 2050 memang persediaan air minum lumayan meningkat. Namun peningkatan ini hanya berlaku bagi daerah-daerah yang telah kaya air dan beberapa daerah tropis yang lembab. Namun sebaliknya akan terus berkurang endapan air bersih di daerah kering, yang sampai sekarang sudah menderita kekurangan air. Masih lagi daerah-daerah ini akan diancam oleh kekeringan, banjir dan air bah.

Itu semua akan mengakibatkan kerugian bagi usaha pertanian mereka dan tentu saja ini juga akan membuat mereka menderita kekurangan pangan. Ancaman ini lebih-lebih akan mengenai penduduk yang menghuni daerah-daerah tropis dan sub tropis, yang sekarang pun sudah menjadi langganan bahaya kelaparan dan kekurangan gizi.

Kedua, vulnerabilitas itu kemudian mengenai aspek sosial. Jelas, menghadapi perubahan iklim ini, negara-negara kaya dan manusianya akan jauh lebih siap dan mampu, karena mereka jauh lebih mempunyai kemungkinan dan kapasitas untuk menghadapinya. Sebaliknya negara-negara miskin dan manusianya hampir tak mempunyai kemungkinan kapasitas tersebut.

Misalnya, kaum miskin nyaris tidak mempunyai perlindungan untuk keselamatan diri. Maklum, kemiskinan langsung juga berarti kertersingkiran sosial. Kaum miskin tak mempunyai akses pada kebutuhan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan. Mereka juga tak mempunyai jalur yang menjamin mereka untuk menikmati kepastian hukum, hak berpolitik dan kebebasan berbudaya.

Dalam masa krisis, kurangnya pengetahuan, lemahnya potensi diri dan terlengarnya hak dalam berpolitik, akan membuat mereka tak dapat memperjuangkan kepentingannya. Mereka tak mempunyai kemungkinan untuk menyesuaikan diri atau menghadapi kondisi di luar diri mereka yang tiba-tiba berubah. Ambillah contoh, betapa sekarang saja mereka sama sekali tidak siap menghadapi naiknya harga-harga, akibat kenaikan harga bahan bakar yang drastis. Orang-orang miskin itu menjadi makin menderita karena perubahan tersebut.

Bisa dibayangkan, di masa depan, jika krisis iklim terjadi, dan perubahan-perubahan datang tanpa terkira, kaum miskin ini pasti akan makin menderita. Dan seperti sudah ditunjukkan, penderitaan mereka akibat perubahan iklim itu tidak hanya menyangkut aspek eknomi dan material, tapi juga aspek budaya dan sosial.

Nasib pranatamangsa

Di masa depan, budaya pranatamangsa pasti merupakan salah satu titik atau lokasi dalam peta bahaya pemanasan global di atas. Jelasnya, pemanasan global pasti meniadakan budaya pranatamangsa itu. Apalagi, tak usah kita menunggu datangnya bencana dahsyat itu, sekarang pun budaya pranatamangsa hampir tak mempunyai jejak dan bekasnya lagi dalam kehidupan petani Jawa.

Memang karena modernitas dengan segala akibatnya, baik yang positif maupun yang negatif, budaya pranatamangsa ini sedang dalam keadaan pudar. Apalagi nanti, jika perubahan iklim betul-betul terjadi, bisa jadi budaya pranatamangsa akan sirna sama sekali. Itu berarti, modernitas yang ikut menyebabkan terjadinya perubahan iklim, melenyapkan suatu kekayaan budaya yang telah demikian lama menghidupi dan menuntun petani Jawa dalam mengolah tanah dan pertaniannya.

Mungkin hal tersebut merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan bagi kita yang mau tak mau harus ikut dalam modernitas, terutama modernitas ekonomi. Namun betapa pun, hilangnya salah satu kekayaan budaya itu adalah tragedi bagi suatu kelompok yang telah terbiasa hidup dalam budaya tersebut.

Janganlah tragedi itu dibayangkan secara abstrak. Dengan kata lain, bayangkan tragedi itu dengan konkret. Pemanasan global mau tak mau akan memorakporandakan tatanan dan sistem alam yang sampai sekarang diketahui dan dihidupi petani Jawa. Akibatnya mereka juga tak dapat lagi berpedoman pada gejala-gejala alam yang telah demikian lama menjadi tuntunan bagi hidup sosial dan ekonomi mereka.

Masihkah palawija bida ditanam di mangsa kasa, atau masihkah pohon kapuk dan mangga mengeluarkan daun-daunnya yang muda di mangsa karo, bila ancaman perubahan iklim itu benar-benar datang menghampiri kita? Masihkah pohon gadung, temu dan kunyit ngrembuyung di mangsa katiga yang sudah panas itu, bila nanti tiba saatnya alam menjadi makin panas karena perubahan iklim itu.

Mungkin, nanti kita tak lagi bisa melihat burung pipit dan manyar membuat sarangnya, karena burung-burung itu sudah tak tahan lagi didera kepanasan. Jika demikian, mungkin kita tak punya patokan lagi untuk mengetahui, bahwa sesungguhnya kita sedang berada di mangsa kapat, masa di mana airmata tertahan di dalam kalbu, masa yang sedih tapi penuh harapan karena sebentar lagi kemarau panjang akan berakhir, dan kita menyongsong datangnya mangsa kapat, di mana hujan akan turun bagaikan pancuran mas sumawur ing jagad.

Pranatamangsa adalah ilmu budaya, yang mengajarkan bahwa kondisi-kondisi kejiwaan manusia kadang bertalian dengan sangat erat dengan unsur-unsur iklim di sekitarnya. Orang segera tahu, jika ia lesu, itu karena ia bersama alam sedang dalam mangsa kasapuluh. Atau jika ia mudah marah, karena ia sedang dipengaruhi suasana alam yang memang sedang berada di mangsa katelu. Jika gejala alam-alam mangsa kasapuluh dan katelu itu tak tampak lagi, orang mungkin tak tahu sama sekali, mengapa ia tiba-tiba berperilaku mudah lesu, atau mudah marah.

Pranatamangsa juga merupakan semacam ajaran tentang pengharapan. Di mangsa semplah, manusia memang dilanda putusasa, karena alam seakan tidak memberi rejeki padanya. Toh di sana manusia bertahan, karena begitu masa putus asa itu berlalu, datanglah mangsa pangarep-arep, yang akan memberi padanya kesejahteraan berlimpah-limpah. Pegangan untuk berharap ini mungkin akan tiada lagi, ketika pemanasan global terjadi dan menghancurkan perjalanan musim, yang selama ini ditangkap oleh petani sebagai perjalanan harapan manusia.

Pranatamangsa adalah spiritualitas bumi yang radikal. Karena mempunyai spiritualitas ini, maka petani Jawa mempunyai kerohanian yang sekuat dan semurah bumi pula. Dalam spirituliatas inilah tersimpan rahasia, mengapa mereka yakin akan kepercayaan: Ana dina ana upo, ada hari ada nasi.

Dengan spiritualitasnya itu, mereka yakin, setiap hari mereka pasti akan memperoleh rejeki, juga jika mereka berada dalam keadaan yang paling sulit sekalipun. Itu disebabkan karena spritualitas bumi hidup dengan kuat di dalam mereka, hingga mereka tak pernah ragu, bahwa mereka akan selalu bisa hidup, bertahan dan kaya rejeki, seperti bumi yang hidup, kuat dan berkuasa memberi rejeki. Spiritualitas ini mungkin akan hilang, ketika mereka tak lagi dapat merasakan kecintaan bumi dalam diri mereka, karena di luar bumi sudah dirusak oleh pemanasan global.

Siapa memeluk spiritualitas bumi, dia akan mempunyai spiritualitas yang otentik dan kuat. Karena di sanalah manusia mengalami bahwa bumi menjadi ibu, penopang dan penuntun bagi hidupnya. Ketika pranatamangsa hilang, karena alam dirusak oleh pemanasan global, spiritualitas itu nanti mungkin akan sirna sama sekali. Begitulah, ketika pemanasan global nanti betul-betul terjadi, betapa hidup kita menjadi tragis dan tak berarti lagi: Sebab kita kehilangan spiritualitas yang selama ini kita pelajari dari budaya pranatamangsa.

(Tulisan dari buku “Ana Dina Ana Upa”, Penerbit Bentara Budaya, 2008)
dikutip dari: http://kronik.wordpress.com/2008/09/08/pranatamangsa-sebuah-budaya-yang-terancam-musnah