Monday, December 30, 2013

Pitoyo Ngatimin: Mengobarkan Semangat Kembali ke Alam




Kompas, Selasa, 17 Desember 2013

Sosok
Pitoyo Ngatimin
Mengobarkan Semangat Kembali ke Alam

Perjalanan hidup saat memutuskan untuk lepas dari bahan kimia pada 1998 disyukuri Pitoyo Ngatimin (46), petani sayur organik dari lereng Gunung Merbabu. Setelah 15 tahun berlalu, tujuan utamanya tak lagi memulihkan lahan yang rusak, melestarikan alam dan memenuhi kebutuhan pasar. Lebih dari itu, ia ingln membebaskan generasi penerus dari racun bahan kimia yang seharl-hari masuk ke tubuh orang lewat sayuran.

==========

“Saya meyakinkan teman-teman petani, dengan menjalani pertanian organik kita ikut menyelamatkan sesama. Penyadaran itu harus dibangun meski efeknya perlahan dan membutuhkan waktu lama,” kata Pitoyo, warga Dusun Selo Ngisor, Desa Batur, Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Pesan utama yang ingin dia sampaikan lewat pertanian organik adalah membebaskan manusia dari racun yang mengendap dalam sayuran dan dikonsumsi umumnya masyarakat setiap hari. Racun yang terus-menerus dipaparkan lewat pupuk kimia dan pestisida berbahaya.

Tak mudah meyakinkan masyarakat untuk mengonsumsi sayuran organik. Selain penampilannya tak semenarik sayuran yang diproduksi menggunakan bahan kimia, harga jualnya pun lebih mahal. “Tetapi, sayuran organik memiliki rasa yang lebih enak dan lebih tahan lama ketimbang sayuran yang terpapar bahan kimia,” ujarnya.

Di sisi lain, pasar semakin merespons kehadiran produk organik. Maka berapa pun produksinya, sayuran organik relatif habis terserap pasar.

Kesetiaannya selama bertahun-tahun menekuni pertanian sayur organik mulai dia petik. Gerakan pertanian organik yang dia rintis tak hanya berhasil meyakinkan kelompok tani di dusunnya, tetapi juga berkembang kepada kelompok tani lain di Kabupaten Semarang. Bahkan, gaung pertanian sayur organik dari dusun yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari Kota Salatiga ini memancar hingga ke luar Pulau Jawa.

Hal lain yang membuat Pitoyo senang, produk sayur organik dari Dusun Selo Ngisor selain diterima di pasar modern juga menembus pasar ekspor. Selma empat tahun terakhir, produk buncis organik ini diekspor ke Singapura dan Malaysia.

Untuk memenuhi permintaan asing, selain menjaga kontinuitas pengiriman sayur organik, ia juga terus berupaya memperluas jaringan petani yang memproduksi sayuran organik agar memenuhi syarat ekspor.

Sering Pitoyo bersama petani di dusunnya mengemas sendiri sayuran organik demi mengejar pengiriman untuk ekspor. Ini dilakukannya meski pada pagi hingga siang hari ia harus mengajar di Sekolah Pertanian Pembangunan Dharma Lestari di Kota Salatiga. Begitulah aktivitas sehari-hari pendiri Kelompok Tani Tranggulasi pada 2004 itu.

Pitoyo menambahkan, permintaan ekspor sayuran organik terus  bertambah. Kini volume pengiriman sayuran mencapai 1 ton setiap minggu. Jika dulu sayur yang diekspor hanya buncis perancis, kini bertambah menjadi 14 jenis sayuran lain, seperti brokoli, wortel, timun jepang, terung, bayam, labu siam, kol putih, dan kol merah.

Menginspirasi

Sebanyak 32 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Tranggulasi tetap setia, berkomitmen memenuhi permintaan pasar atas sayur organik. Setiap bulan ada kunjungan petani dari sejumlah daerah yang ingin belajar dari kelompok tani yang dia pimpin.

Pitoyo juga terbuka dengan mahasiswa yang menjalani praktik kerja lapangan atau magang. Berbagai penghargaan sudah dia dan kelompok taninya terima. “Saya dua kali bersalaman dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” ujarnya, menunjukkan foto saat menerima penghargaan ketahanan pangan Adikarya Pangan Nusantara Tahun 2011 di Istana Negara.

Seiring dengan keberhasilan Pitoyo dan Kelompok Tani Tranggulasi, semakin banyak kelompok tani organik bermunculan. Selain bisa memenuhi permintaan pasar, mereka juga mendapat bantuan pemerintah dalam program Go Organic.

Meski demikian, untuk mengelola kelompok tani diakui Pitoyo tak mudah. Di sini diperlukan sistem manajemen yang dapat diterima anggota. Di Kelompok Tani Tranggulasi, ada pengaturan siapa yang menanam sayur apa sehingga stok sayur selalu tersedia. Untuk menjaga kontinuitas seperti ini, sulit dilakukan. “Diperlukan komitmen semua anggota,” tegasnya.

Ini termasuk saat permintaan buncis perancis menurun dan pembeli meminta jenis sayuran lain. Mereka menyanggupinya. “Kami harus bisa terus berinovasi, menyediakan berbagai produk meskipun ini berat,” ungkapnya.

Untuk menyediakan wortel berukuran mini, misalnya, meski secara waktu lebih singkat karena dipanen di awal, secara volume sulit karena jumlahnya lebih banyak. Padahal luas lahan mereka tetap, 16,5 hektar.

Manajemen keuangan juga diatur. Dari harga jual sayur ekspor Rp 8.000 per kilogram, misalnya, harga di tingkat petani Rp 6.000. Sisanya, Rp 100 untuk kas kelompok, Rp 500 untuk sortasi, dan Rp 1.400 untuk operasional pengelola. Pengalaman kelompok tani ini juga dituangkan dalam prosedur operasional standar budi daya sayuran orgariik di dataran tinggi yang diterbitkan Kementerian Pertanian tahun 2008.

Dari kegagalan

Titik balik Pitoyo bermula tahun 1998 saat hasil panen kubis di lahan seluas 4.000 meter persegi miliknya hanya dihargai Rp 60.000. Harga kubis saat itu jatuh, Rp 60 per kilogram. Kesal hati, ia lalu menggunakan pupuk kandang untuk tanaman. Berkali-kali panennya gagal karena tanah sudah terbiasa dengan bahan kimia.

Namun, usahanya tak sia-sia meski dia membutuhkan waMu enam tahun untuk meyakinkan petani lain agar mengikuti jejaknya. “Petani itu tak perlu diajak. Mereka akan mengikuti apa yang dilakukan temannya yang berhasil. Mereka melihat bukti..Ketika apa yang saya lakukan berhasil, mereka mengikuti,” ujar ayah dua anak yang juga menemukan formulasi pupuk dan pestisida alami ini.

Berawal dari memenuhi permintaan pasar pada tingkat lokal, Kelompok Tani Tranggulasi kemudian mengekspor buncis perancis pada 7 Desember 2009 ke Singapura dengan volume pengiriman pertama 26 kilogram. Setelah itu, pengiriman rutin dilakukan setiap Minggu, Selasa, dan Kamis dengan volume semakin besar.

Untuk memenuhi pennintaan, mereka menggandeng petani lain. Volume pengiriman itu pun meningkat hingga 1 ton sekali kirim setiap pekan. Buah kerja keras itu telah dipetik Pitoyo dan petani di dusunnya. Namun, kampanye pertanian organik belum berhenti.

(Amanda Putri/Sonya Helen Sinombor)

==========

PITOYO NGATlMlN

Lahir: 
Kabupaten Semarang, 10 Oktober 1967
Istri: 
Siti lmronah (41)
Anak:
1. Eko Binti Lestari (21)
2. Lintang Dwi Nandani (10)
Pendidikan:
- Sekolah Pertanian Menengah Atas Joko Tingkir, Salatiga, 1987
- Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Teknologi Pembangunan Surakarta, 2010
Penghargaan:
- Anugerah Ketahanan Pangan Nasional, 2006
- Budidaya Sayuran Organik Tingkat Nasional, 2006
- Kalpataru, Perintis Lingkungan tingkat Kabupaten Semarang, 2007
- Adikarya Pangan Nusantara, 2011
Aktivitas:
- Ketua Kelompok Tani Tranggulasi, 2005-kini
- Pengajar SMP dan SMK/Sekolah Pertanian Pembangunan Dharma Lestari, Salatiga