Thursday, August 8, 2013

Lebaran di Negeri "Kikir"



Di negeri ini Lebaran telah disandera kuasa kapital. Maka, ritus Lebaran pun harus menyesuaikan atau ditentukan oleh logika kapital. Kaum miskin otomatis tersingkir dan merayakan Lebaran dengan tersaruk-saruk.

Pemandangan yang klasik pun selalu menyergap batin kita. Di sejumlah daerah, orang-orang miskin harus bertanuh nyawa untuk mendapatkan bingkisan bahan kebutuhan pokok atau uang zakat dari para dermawan.

Lihatlah juga iring-iringan rombongan pengemis berderap-derap menyerbu kota demi mengais remah-remah rezeki. Kenyataan memilukan itu hanyalah puncak dari gunung es kemiskinan rakyat. Negara pun selalu menutupinya dengan karpet biru berbordir “angka kemiskinan menurun”.

Di sisi lain, kaum miskin juga dihadang kapitalisme. Dengan konsumtivisme, kuasa kapital telah mendegradasikan Lebaran ke dimensi profan: euforia pasar.

Padahal, sejatinya Lebaran merupakan momentum “keramat” bagi masyarakat plural. Ia menjadi wahana sosial-budaya untuk mengukuhkan nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kolektif.

Penziarahan nilai

Pada momentum itu masyarakat melakukan penziarahan nilai untuk bisa kembali ke dalam jati diri dan basis sosialnya setelah sebelumnya basah kuyup dalam kubangan rutinitas yang mengasingkan kemanusiaannya.

Pulang ke dalam pelukan kehangatan keluarga, handai tolan, dan kerabat pun menjadi kebutuhan asasi setiap manusia. Di situ, setiap individu, yang selama ini terpisah secara geografis karena alasan mencari penghidupan, melakukan pengukuhan nilai-nilai persaudaraan dan memperkuat solidaritas sosial.

Kaum miskin, baik urban dan non-urban, cemas dan gemetar memasuki Lebaran yang sarat dinamika komersial dan mahal. Mereka dipaksa memiliki paspor Lebaran berupa uang dan daya beli tinggi. Paspor itu terasa absurd bagi mereka yang memiliki penghasilan per hari Rp 20.000 atau di bawahnya.

Jumlah mereka cukup besar, bukan hanya sekitar 30 juta orang seperti dikatakan Badan Pusat Statistik, melainkan bisa mencapai 80 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Ini mengambil pernyataan Ahmad Syafii Maarif bahwa baru 20 persen penduduk negri ini yang menikmati kemerdekaan.

Kenyataan di atas tentu menyisakan pertanyaan: ke mana kemakmuran negeri ini? Kekayaan itu raib oleh tiga hal.

Pertama, inkompetensi penyelenggara negara. Akibatnya, seluruh kekayaan alam kita belum mewujud menjadi realitas material yang dinikmati semua warga negara.

Kedua, mentalitas “makelar” yang masih diidap sebagian penyelenggara negara. Mereka menggadaikan kekayaan alam dan aset negara kepada kekuatan modal asing.

Ketiga, korupsi para penyelenggara negara yang berkolaborasi dengan komunitas ekonomi hitam. Akibatnya,distribusi kesejahteraan terhambat dan terbendung untuk sampai ke seluruh rakyat.

Dalam setting kemakmuran itu, kita bisa menilai bahwa negara berwatak “rakus” dan “kikir” terhadap warga negaranya, terutama kaum miskin. Rakus karena melimpahnya aset negara dikuasai kelompok elite dalam sistem kekuasaan berwatak oligarkis dan kartel. Kikir karena para penyelenggara hanya memberi sedikit dari kemelimpahan aset negara kepada rakyat.

Ironi

Rakyat pun disergap ironi getir. Di tengah kemiskinan rakyat, uang negara justru terkuras oleh
korupsi. Untuk memulangkan tersangka korupsi Muhammad Nazaruddin dari Kolombia saja
negara harus rnengeluarkan dana Rp 4 miliar.

Semakin ironis manakala Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap: dugaan korupsi yang dilakukan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu terkait puluhan kasus dan nilainya mencapai lebih dari Rp 6 triliun. Ini baru dari satu tersangka korupsi.

Hitung saja, berapa triliun rupiah uang negara yang raib terkait dengan praktik-praktik penggarongan uang negara yang selama ini terjadi?

Makna kehadiran negara diukur dari kemampuannya melayani rakyat sesuai amanat konstitusi (melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan rakyat). Kualitas pelayanan itu pula yang menjadikan rakyat merasa eksis sebagai warga negara.

Ketika mangkir dari kewajibannya, sesungguhnya negara telah kehilangan legitimasinya di mata rakyat. Di benak rakyat pun muncul ruang tafsir yang tidak sedap: negara absen, negara kikir, negara rakus, negara gagal, negara pasar, negara lenyap, dan seterusnya.

Rakyat ada sebelurn negara ada. Kini, rakyat telah menjelma menjadi kelompok manusia anonim, seperti ketika negara ini belum terbentuk. Rakyat tidak mau gede rasa untuk mengklaim dirinya sebagai “rakyat Indonesia” karena mereka merasa yatim-piatu, tidak diurusi negara.

Rakyat tidak pernah cengeng mengemis kepedulian kepada negara karena mereka sejatinya adalah juragan alias pemilik sah kedaulatan. Negaralah yang semestinya tahu diri di posisinya sebagai pelayan rakyat. Negara mestinya malu manakala sang rnajikan itu kini terpuruk dalam penderitaan.

Namun, rakyat selalu mampu mengatasi problem dengan cara-ya sendiri. Juga, ketika mereka harus merayakan dan menikmati keindahan lebaran meskipun penuh keterbatasan.


Kompas, 27 Agustus 2011
Oleh: Indra Tranggono
Pemerhati Kebudayaan