Tuesday, April 15, 2014

Gerakan Ibu-ibu Petani Membebaskan Pangan dari Kimia



Kompas, 14 April 2014
Gerakan Ibu Petani Membebaskan Pangan dari Kimia

=====
Waktu menunjukkan pukul 09.00, tetapi sinar mentari sudah menyengat. Di ujung Dusun Sumbersarim, Desa Sendangmulyo, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah, enam ibu petani sibuk mencabut rumput di antara batang padi berusia 25 hari.
=====

Kaum ibu itu, minggu lalu, sedang mencabuti rumput (matun) di sawah. Peluh membasahi sebagian wajah ibu-ibu yang kepalanya bertutup caping. Tangan mereka cekatan mencabuti rumput. Selain wajah, warna kulit bagian kaki, betis, lengan, dan telapak tangan mereka juga legam terbakar sinar matahari. Namun, kegembiraan tetap terpancar di wajah mereka.

Mereka, yaitu Surati (50), Majinah (41), Tri Wahyuni (33), Turniyem (53), Patuni (31), dan Tinem (61), ramai-ramai menyiangi gulma di sawah milik Tinem. Mereka adalah anggota Kelompok Tani Lestari Alam Desa Sendangmulyo yang berjumlah 37 orang. Semua anggota kelompok ini adalah ibu rumah tangga yang setiap hari turun ke sawah menjadi petani. Bertahun-tahun mereka bertanggung jawab penuh atas tanaman padi di tegalan dan sawah.

Suami mereka kebanyakan merantau ke luar kota setelah padi ditanam. Kaum lelaki itu baru pulang menjelang masa panen padi. Walaupun menjadi tumpuan utama keluarga dalam bertani, mereka tak mengeluh. Turun ke sawah saat suami merantau merupakan pilihan yang mereka ambil demi menopang perekonomian keluarga. “Jika tidak kerja sama bapak dan ibu, ekonomi keluarga oleng,” ujar Majinah Ketua Kelompok Tani Lestari Alam.

Hari itu, sebelum mentari terbit, Majinah sudah turun ke sawah. Sebelum ditemui di sawah milik Tinem, ia sudah turun di tiga sawah lain. Sawah miliknya ada di dua tempat dan di tempat lain ia sebagai buruh penggarap.

Semua mereka terima dengan lapang dada sehingga mereka pun rela dari pagi hingga menjelang senja turun ke sawah. Bagi ibu yang memiliki anak usia sekolah, mereka baru ke sawah setelah anaknya berangkat sekolah. Selama padi ditanam hingga panen, rata-rata mereka berangkat pukul 07.00 hingga pukul 11.30, istirahat, lalu kembali lagi ke sawah hingga pukul 17.00.

Di Tirtomoyo, padi hanya bisa ditanam rnaksimal dua kali. Wonogiri terkenal sebagai daerah kering sehingga lahan pertanian umumnya tadah hujan. Musim tanam ketiga biasanya diisi dengan tanaman palawija.

Menjadi pengendali pertanian, itulah peran yang dilakoni kaum ibu di Sumbersari sejak dahulu. Belakangan, perempuan perkasa itu tidak hanya berpikir menopang ekonomi keluarga, tetapi juga membebaskan keluarga dari produk pangan yang menggunakan bahan kimia. Mereka bergerak ke depan, menghasilkan pangan yang sehat.

Sejak setahun lalu, ibu petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Lestari Alam memutuskan mengurangi penggunaan bahan kimia pada pertanian padi, palawija, dan sayuran. Perlahan mereka meninggalkan pupuk, pestisida, dan perangsang buah dari bahan kimia.

Sejak musim tanam lalu, se cara bertahap mereka menggunakan pupuk organik. Jika sebelumnya semua pupuk dari bahan kimia, kini hanya tinggal campuran urea yang masih ikut dalam pemupukan. Selebihnya menggunakan pupuk dari kotoran sapi dan kambing yang diolah sendiri oleh ibu-ibu.

Urine sapi dan kambing yang berlimpah juga diolah menjadi pestisida organik untuk menggantikan pestisida kimia. Perangsang buah juga diolah sendiri oleh ibu petani. Kaum pria tak kuat dengan bau pesingnya. Biasanya mereka membantu mencarikan bahan untuk campuran pupuk dan pestisida organik.

Kesadaran kaum ibu untuk menghasilkan produk pangan yang sehat, terbebas dari bahan kimia, mulai bangkit sejak mendapati pendampingan dari Surati yang juga perempuan petani di dusun itu. Sejak 1998, Surati, yang aktif di lembaga swadaya masyarakat Gita Pertiwi Solo, menjadi petani konsultan bagi kelompok tani perempuan itu. LSM yang bergerak daldm pelestarian lingkungan dan pengembangan masyarakat merekrut Surati sebagai tenaga lapangan dan petani konsultan.

Bekal pengetahuan mengenai pertanian yang diperoleh Surati selama ini ditularkan kepada perempuan petani lain. Kaum ibu belajar membuat pupuk dan pestisida dari kotoran padat dan cair dari ternak sapi dan kambing mereka.

Kotoran sapi yang padat di angkat dari kandang, lalu dicampur dengan arang sekam, moretan (mikroba rekan petani), dan abu dapur. Agar suhu dalam campuran pupuk organik itu merata, harus sering diaduk hingga akhirnya siap digunakan untuk tanaman. Menjelang penyemprotan anti hama, ibu-ibu mempersiapkan urine sapi dan kambing yang diolah menjadi pestisida organik.

Gerakan mengembalikan pertanian dengan penggunaan pupuk dan pestisida dimulai. “Untuk pupuk, tinggal urea yang masih dicampur. Namun, pestisida 100 persen bebas kimia,” papar Surati.

Benih Sendiri

Surati juga mengajari kaum ibu tani membuat benih padi sendiri sehingga tak perlu membeli. Ke depan, ia juga siap menerapkan metode pemurnian benih. Dengan demikian, pada saatnya kaum perempuan petani di daerahnya benar-benar mandiri dan mampu melakukan pemurnian benih padi. “Kalau kita praktik sendiri membuat benih, jauh lebih murah dan hasilnya luar biasa,” kata Surati.

Saat memutuskan mengurangi pupuk kimia dan berhenti memakai pestisida kimia, kaum ibu diberi pengertian oleh Surati bahwa hasil panennya tak sebanyak sebelumnya. “Memang berkurang hasilnya. Kalau dulu dari lahan seluas 3.000 meter didapat 50 zak, kini cuma dapat 35 zak,” kata Majinah.

Walau hasil panen berkurang olah tidak ada penyesalan dari wajah ibu-ibu petani itu. Pengalaman bertani Surati, yang disaksikan langsung oleh warga sekitar, membuat petani yakin setelah melewati beberapa panen nanti lahan padi yang memakai pupuk dan pestisida organik bakal kembali subur. Lagi pula setelah panen pertama masa tanam lalu, kualitas beras yang dihasilkan lebih bagus.

=====
Foto:
Ibu-ibu rumah tangga di Dusun Sumbersari, Desa Sendangmulyo, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, hingga kini berperan sebagai petani. Mereka bahkan berani mengambil risiko dengan mulai beralih ke pertanian organik demi menghasilkan pangan yang sehat untuk keluarga. Mereka membuat sendiri pupuk dan pestisida dari kotoran ternak sapi. Tampak enam ibu yang berada di tengah sawah, akhir Maret 2014.
=====

(Oleh Sonya Hellen S.)

Sunday, April 13, 2014

Memerangi Kemiskinan di Perbatasan











Kompas, Kamis, 10 April 2014
Eusebio Hornai Rebelo
Memerangi Kemiskinan di Perbatasan

Eusebio Hornai Rebelo, pria yang berpangkat letnan kolonel dan menjabat Komandan Kodim 1618/Kabupaten Timor Tengah Utara di Kefamenanu, Pulau Timor, bagian Nusa Tenggara Timur, ini lebih dikenal sebagai komandan yang bersama jajarannya gencar memerangi keterisolasian dan kemiskinan di wilayah Timor Tengah Utara, kawasan di perbatasan negara.

=====

Timor Tengah Utara adalah salah satu dari empat kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang wilayah daratannya berbatasan dengan Timor Leste. Bersama Kabupaten Kupang, tetangga sebelah baratnya, tepi utara Timor Tengah Utara berbatasan dengan Oekusi, daerah enklave Timor Leste. Dua daerah lain adalah Kabupaten Belu dan Malaka, berbatasan dengan ujung barat wilayah negara baru ini.

Timor Leste yang dulu disebut Timor Timur lepas dari NKRI 15 tahun lalu lewat penentuan pendapat atau referendum. Pemisahan itu meninggalkan tapal batas darat sepanjang 280 kilometer. Perbatasan itu adalah Belu-Malaka (149,9 kilometer), Timor Tengah Utara (114,9 kilometer), dan Kupang (15,2 kilometer).

Kondisi daerah perbatasan tersebut amat tertinggal. Infrastruktur jalan umum berupa jalan tanah dan pengerasan. Bahkan, banyak sungai belum dilengkapi jembatan Selain itu, belum semua warga bisa menikrnati aliran listrik dan air bersih. Inilah gambaran kondisi kawasan perbatasan, teras depan NKRI, yang terabaikan.

Dari sisi rniliter, situasi perbatasan Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste relatif kondusif dan damai.Kondisi itu menjadi alasan kuat bagi Eusebio (44) guna memberdayakan potensi dan energi yang dimiliki untuk kesejahteraan masyarakat.

Sejak menjadi Komandan Kodim 1618/Timor Tengah Utara di Kefamenanu, tiga tahun lalu, Eusebio memberi perhatian khusus pada upaya ke tahanan pangan dan berusaha mengatasi keterisolasian masyarakat setempat. Sulung dari tiga bersaudara anak pasangan Patricio Rebelo dan Blandina Hornai ini adalah putra daerah setempat.

Didukung pemerintah dan masyarakat setempat, Eusebio bersama jajarannya mengubah lahan tidur sekaligus memaksimalkan pengolahan sekitar 900 hektar sawah petani di tapal batas. Area itu terdapat di kawasan Ponu, Kecamatan Biboki Anleu (sekitar 300 hektar), dan kawasan Seko, Desa Tasinifu, Kecamatan Mutis (sekitar 600 hektar).

Hamparan sawah di Ponu sebenarnya sudah didukung irigasi permanen sejak tahun 1979. Namun, pengolahan lahan yang selama ini dilakukanpara petani relatif tidak maksimal karena suplai air tidak cukup untuk menggenangi seluruh area.

Kondisi tersebut bertambah parah setelah bangunan di sekitar mulut bendungan mengalami kerusakan. Gerusan banjir mengubah mulut bendungan pada posisi lebih tinggi dari aIur sungai sehingga air tak lagi bisa mengalir ke sawah melalui jaringan irigasi.

Akibatnya, hamparan sawah menjadi lahan tidur. Jika ada sejumlah petani yang berupaya mengolah pun, jumlahnya sangat terbatas. Pengolahan lahan tersebut juga hanya untuk menanam sekali setahun karena mereka cuma mengandalkan air hujan.

Kerusakan mulut irigasi Bendungan Ponu lalu diperbaiki lewat program Bhakti TNI Kodim Timor Tengah Utara bersama pemerintah dan masyarakat setempat, awal tahun 2012. Mereka berusaha memulihkan alur sungai di sekitar mulut Bendungan Ponu agar air bisa mengalir melalui jaringan irigasi dan menggenangi seluruh area persawahan.

Setelah jaringan irigasi kembali normal, pengolahan lahan sawah pun bisa dilakukan warga karena ketersediaan airnya cukup. Dengan memanfaatkan benih padi jenis Membrarno, hamparan sawah di sekitar Bendungan Ponu kemudian bisa menghasilkan panen raya pada Juni 2012. Hasilnya sekitar 5,5 ton gabah per hektar dan sejak waktu itu area persawahan di Ponu pun bisa diolah petani dua kali dalarn setahun.

Kebun contoh


Selain di Ponu, Kodim 1618/Timor Tengah Utara juga mendorong pengolahan area persawahan di Seko, Desa Tasinifu, Kecamatan Mutis. Dorongan tersebut juga diawali dengan perbaikan saluran irigasi.

Setelah air bisa mengalir normal melalui saluran, area sawah seluas lebih dari 300 hektar itu pun dapat diolah masyarakat setempat secara maksirnal.

Pada saat yang sama, Kodim 1618/Timor Tengah Utara melalui program Tentara Manunggal Membangun Desa juga diminta membangun jalan sepanjang 8 kilometer dari Aplal, pusat Desa Tasinifu, hingga area persawahan di Seko. Area persawahan itu nyaris menyentuh tapal batas tepi selatan Oekusi.

Tahun 2013, jajaran di bawah Eusebio kembali membuka kebun contoh pengolahan lahan kering untuk tanaman bawang merah dan jagung sekaligus tanaman kelor sebagai tumpang sari. Kebun seluas lebih kurang 4 hektar itu berlokasi di Desa Bitefa, Kecamatan Bikomi Selatan, 50 kilometer arah utara Kefamenanu.

Untuk menggerakkan warga, Eusebio awalnya melibatkan 20 petani setempat. Mereka bemaung di bawah Kelompok Tani Berani Hidup Bitefa. Bersama aparat Kodim,mereka menanami lahan dengan bibit bawang merah.

“Ketika paneh, hasilnya langsung dijual untuk para petani, Sedikitnya setiap petani bisa mendapat Rp 750.000,” kata sekretaris kelompok tani terkait, Antonius Teklasi.

Hingga pekan ketiga Maret lalu, area kebun dengan tanaman jagung menjelang panen. “Selain jagung, warga juga bisa menanam kelor sebagai tumpang sari,” ujar Komandan Koramil Kota Kefamenanu Kapten Hendry Dunant tentang tanaman kelor (Moringa oleifera) yang di kalangan warga Nusa Tenggara Timur disebut merungge.

Manfaat ganda

Eusebio menambahkan, kegiatan mengembangkan tanaman kelor semakin meluas seiring dengan dukungan Komandan Korem Nusa Tenggara Timur Brigadir Jenderal Achmad Yuliarto. Area tanam bertambah menjadi sekitar 125 hektar.

“Usaha ini dilakukan para petani setempat setelah memperoleh benih panduan teknis dari Kodim Timor Tengah Utara,” kata Eusebio di Kefamenanu, akhir Maret lalu.

Kelor adalah jenis tanaman yang bermanfaat ganda. Selain berfungsi untuk penghijauan, kelor juga mengandung nutrisi dan vitamin.

“Kelor memiliki manfaat yang luar biasa. Biji, bunga, dan daun kelor bisa menyembuhkan beberapa penyakit,” ujar Eusebio.

Berkat berbagai terobosan yang dia lakukan, Kodim 1618/Timor Tengah Utara meraih penghargaan sebagai Kodim Pratama Terbaik Tingkat Komando Utama Kewilayahan dari Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Budiman pada 7 November 2013.


=====
Eusebio Hornai Rebelo
Lahir: Oekusi (sekarang wilayah Timor Leste), 7 Februari 1970
Istri: Natalia Ratna Dewanti
Anak: Eugenie Vina Novarina, Christophorus Dwi Putra, Alexandra Dina Junita
Pendidikan: Akademi Militer Magelang (1992)
Karier: Kepala Seksi Intel Korem 173/Papua di Biak; Komandan Detasemen Intelejen Kodam 17/Cenderawasih, Papua; Komandan Kodim 1618/Timor Tengah Utara sejak 8 November 2011
=====

(Oleh Frans Sarong)

Friday, April 11, 2014

Belajar Bijak dari Serangga




Kompas, Jumat 11 April 2014
Sosok
Sujono: Belajar Bijak dari Serangga

Sejak tahun 1990-an, Sujono (43) menjadikan serangga sebagai pusat perhatian, inspirasi utamanya dalam berkesenian. Dengan segala wujud karya yang dihasilkan, dia ingin mengajak semua orang beramai-ramai belajar bijak dari serangga.

=====

“Kita sebenarnya bisa belajar banyak hal dari serangga,” ujar Sujono, seniman yang tinggal di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di antara lereng Gunung Merapi-Gunung Merbabu.

Terlahir dari keluarga petani, dekat dengan alam dan berbagai makhluk hidup, dia menolak anggapan orang bahwa serangga adalah hama yang pantas dipandang sebelah mata. Dia justru merasa ada keunikan, sesuatu yang menarik pada perilaku, pola kehidupan, dan bentuk fisik serangga. Semua hal yang ditangkapnya itulah yang ingin dia bagi lewat beragam bentuk kesenian.

Keindahan mendetail dari bentuk fisik serangga dituangkamya dalam topeng-topeng serangga. Mengapresiasinya lebih mendalam, Sujono pun merancang tarian “Topeng Saujana”.

Ingin membagi makna filosofi serangga, dia menuangkan cerita tentang kehidupan serangga dalam bentuk lukisan. Dia juga membuat wayang serangga dengan bahan fiber dan kulit sapi.

Dia ciptakan antara lain wayang gangsir, wayang orong-orong dan wayang belalang. Saat memainkan, sang dalang harus benar-benar menggerakkan wayang sesuai gaya dan perilaku “sosok” setiap serangga.

Pertanian organik

Melalui berbagai bentuk ragam karya seni itu, Sujono ingin mendekatkan kembali makna kehadiran serangga dalam kehidupan manusia, terutama petani.

Dalam aktivitas bertani, serangga kerap dianggap musuh. Demi menggenjot hasil pertanian, berbagai hama yang mengganggu atau merusak tanaman dimusnahkan sesegera mungkin dengan obat-obatan kimia.

“Padahal, setiap hama sebenarnya cukup diusir, dihalau dengan bahan-bahan yang ada di alam. Sebagai sesama makhluk hidup, serangga semestinya tak sembarangan disakiti, apalagi dibunuh,” ujarnya.


Sujono mencontohkan, beragam hama seperti wereng cukup diusir dengan meletakkan daun suren atau daun tembakau di areal pertanian. Untuk tanaman sayuran, daun suren atau tembakau bisa ditempatkan di tanah sebelum ditutup plastik mulsa.

Penggunaan bahan kimia semestinya tidak lagi diteruskan karena berdampak negatif. Selain merusak tanah, dalam jangka panjang, bahan kimia yang terpapar pada tanaman berdampak buruk bagi kesehatan mereka yang mengonsumsi hasil panennya.

Sujono mengatakan, warga desa yang hidup di lingkungan lebih sehat karena minim polusi justru tak terlihat lebih sehat daripada masyarakat kota. “Banyak warga usia 50-60 tahun di Dusun Keron mengalami stroke. Mereka tak mampu berjalan atau beraktivitas.”

Pemakaian obat-obatan kimia juga membuat orang makin melupakan sistem pertanian organik yang sarat nilai pembelajaran tentang kehidupan.

Pertanian organik memang tak serta-merta memberikan hasil melimpah. Petani memerlukan waktu cukup lama hingga tanaman bisa memproduksi hasil panen secara optimal. Pertanian organik juga lebih merepotkan karena petani harus belajar membuat pupuk organik dan mengendalikan hama secara alami. Namun, dari proses itulah manusia bisa belajar.

“Lewat pertanian organik orang belajar sabar. Belajar memahami segala sesuatu perlu waktu dan proses. Sebaliknya, dengan pertanian non-organik, orang hanya termotivasi melakukan sesuatu secara instan, berupaya yang paling mudah dan cepat demi hasil panen dan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Menyindir kondisi kini, di mana perilaku dan pola pikir instan yang melekat pada banyak orang. Contohnya pada sebagian calon anggota legislatif (caleg). Dorongan kuat memenangi pemilu membuat banyak caleg mendadak berperilaku baik. Secara mendadak pula mereka menempuh “jaIan pintas” yang efektif demi meraup dukungan seperti politik uang.

“Semuanya serba instan, ‘karbitan’, mereka mendadak baik karena ada maunya,” katanya.

Unik dan lucu

Ketertarikan Sujono pada serangga dimulai tahun 1998. Saat itu, pasca ledakan bom Bali, dia menganggur karena kehilangan pelanggan di Bali. Tak ada lagi pesanan tung, ia kembali menggarap sawah. Sembari bertani, dia membawa perlengkapan memahat. Ia membuat patung saat iseng atau bosan bekerja.

Suatu hari dia akan membuat patung, tetapi aktivitasnya terganggu oleh serangga yang mengacak-acak rambutnya. Merasa terganggu, dia mengambil serangga itu. Ia ingin membantingnya di atas batu. Namun, niat itu urung setelah ia melihat serangga di tangan.

“Melihat serangga itu, saya justru terkesima karena bentuknya menarik, gerakannya unik, lucu sekali,” ujarnya. Serangga itu adalah tenggel, sejenis capung.

Dia mulai menuangkan apa yang dilihattnya menjadi patung dan topeng. Menyadari “temuan” menarik ini, hari-hari selanjutnya Sujono ke sawah berbekal stoples.

“Setiap hewan yang menarik saya tangkap, taruh dalarn stoples dan dibawa pulang,” ceritanya. Ia mengamati perilaku dan bentuk fisik serangga dengan cermat, lalu dituangkan dalam berbagai karya seperti patung dan topeng.

Karya unik yang terinspirasi serangga ini mengantarkan Sujono pada Sutanto Mendut, budayawan sekaligus pemilik galeri seni Studio Mendut di Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.

Perkenalannya dengan banyak seniman lain membuat dia bisa mengembangkan kemampuan dengan merancang tarian. Tarian pertama bertema serangga diberinya judul “Topeng Saujana” dan tarian bertema kupu-kupu berjudul “Kukila Gunung”. Perilaku hewan berkaki empat seperti sapi, kerbau, dan babi hutan pun dia tuangkan dalam tarian, dengan judul “Jingkrak Sundang”.

Terus berkesenian

Bakat dan kemampuan berkesenian, menurut Sujono, adalah “berkat dadakan”. Di tengah kebingungan mencari pekerjaan, dia iseng memahat. Tiba-tiba saja dia bisa membuat ukiran kayu sebagai hiasan pintu. Dia pun membuat patung dan topeng, memanfaatkan kayu di sekitarnya seperti kayu pule, jati, mahoni, dan kayu nangka.

Tahun 1991 topeng-topengnya menarik perhatian seorang pedagang benda seni. Dia lalu memproduksi topeng berdasarkan pesanan. Setiap topeng dihargai Rp 5.000. Setelah merasa cukup dikenal, dia mendirikan
usaha sendiri.

Sujono berkomitmen tetap berkesenian dan menjadikan serangga sebagai inspirasinya. Selain memberikan penghasilan, hal itu dilakoni karena dia yakin menebarkan kebaikan.

Dengan rnewujudkan serangga dalam berbagai karya seni, dia ingin mengingatkan orang bahwa setiap serangga memiliki sikap hidup yang patut dicontoh. Semut mengajarkan kita tentang pentingnya gotong royong. Sementara laron mengajarkan tentang sikap pasrah, siap terempas dan mati saat keluar dari sarang.

Dia juga ingin mengulik lebih dalam perilaku hewan lainnya. “Memahami, memperlakukan dengan baik semua mahluk hidup, termasuk hewan, adalah sikap yang harus kita jalani untuk menjaga keseimbangan alarn dan kehidupan,” katanya serius.

=====

Sujono

Lahir: Magelang, Jawa tengah, 11 September 1970
Pendidikan: STM Sanjaya, Muntilan, Jateng
Istri: Tubiyati (35)
Anak: Indra Gading (15), Ade Bondan Pratoto (6)

=====

(Oleh Regina Rukmorini)