Kompas, Kamis
28 Februari 2013
Sosok
Saripuddin
Gerakan
Pertanian Organik dari Tarakan
Melakoni
pekerjaan sebagai petani barangkali tidak menarik jika kondisi tanahnya kurang
cocok, seperti di Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Namun, bagi Saripuddin (35),
bekerja keras untuk mencari solusi dari keterbatasan tersebut justru menjadi
tantangan tersendiri. Hasilnya, sekarang dia menjadi petani organik dan bangga
dengan pekerjaannya.
“Memang,
jika dirasa-rasa, awalnya pekerjaan ini, ya, berat. Namun, ketika kita ada
keinginan untuk maju, entah bagaimana, kesempatan itu selalu terbuka dan
tinggal bagaimana menjalaninya. Hal yang penting, jangan sampai kita patah
semangat,” ujar Saripuddin.
Tidak
berbeda dengan petani-petani lain, Saripuddin, warga RT 007 Kelurahan Mamburungan,
Tarakan Timur, Kota Tarakan, Kalimantan Timur, itu dulu juga petani konvensional.
Dia mengikuti jejak orangtuanya yang juga bermata pencarian sebagai petani
konvensional.
Bertahun-tahun
mereka bergantung pada pupuk kimia buatan pabrik. Mereka pun selalu
menghadapi kondisi tanah yang kesuburannya terus menurun tanpa tahu apa sebabnya.
Saripuddin
dan teman-teman sesama petani pun hanya bisa saling berkeluh kesah tentang
nasib mereka yang tak kunjung membaik. Tanah garapan mereka semakin bantat,
hasil panenan pun terus menurun.
Di sisi lain,
harga pupuk semakin mahal dan semakin banyak pula jumlah pupuk yang harus
mereka beli. Cacing di dalam tanah sebagai penanda kesuburan juga semakin
menghilang dari tanah garapan mereka.
“Sekitar 50
karung urea sudah cukup untuk sekali tanam. Namun, untuk masa tanam
berikutnya, jumlah pupuk itu sudah tidak cukup lagi. Cacing di tanah kami
menghilang, sementara hama
justru bertambah banyak. Tanah kami sedang sekarat. Kami berpikir, ada apa dengan
tanah kami? Padahal, setiap musim tanam, kami harus mengeluarkan biaya banyak.
Uang diperlukan untuk membeli pupuk sampai obat tanaman,” cerita Saripuddin.
Tanah di
Kelurahan Mamburungan, seperti umumnya tanah di Tarakan, juga berupa lempung
berpasir. Menurut Saripuddin, kondisi tanah itu sebenarnya kurang bagus untuk
padi. Tingkat pH-nya pun 4,1.
“Di (Pulau)
Jawa, tanah yang dipakai untuk pertanian juga berupa lempung, tetapi pH-nya
ideal, yakni 6-7. Jadi, tanah, itu cocok untuk bertanam padi dan sayur-mayur.
Saya lalu berpikir, tanah di sini (Tarakan) semestinya juga bisa dibuat agar
cocok untuk bertanam (padi dan sayur), tentunya dengan perlakuan yang berbeda
(dengan tanah di Pulau Jawa),” katanya.
Mencari
tahu
Pengetahuan
itu membuat Saripuddin mengetahui ada yang salah dari cara bertani mereka
selama ini. Dia kemudian mulai berusaha mencari tahu tentang bagaimana memperlakukan
tanah lempung berpasir agar bisa mereka gunakan untuk pertanian.
Setelah
mencari informasi ke berbagai pihak, sampailah Saripuddin pada kesimpulan
bahwa penggunaan pupuk kimia harus dihentikan. Namun, tak semua temannya
sesama , petani sekaligus anggota Kelompok Tani Mapan Sejahtera sepakat dengan
kesimpulannya itu. Dia lalu memilih melakukan sendiri.
“Saya
bertanya kepada aparat pemerintah daerah dan disarankan untuk meminta bantuan
kepada perusahaan migas (minyak dan gas) yang ada di Tarakan,” katanya.
Saripuddin
kemudian mendatangi salah satu perusahaan migas itu dan dia diterima dengan
baik. Dari perusahaan migas tersebut, dia malah diberi bantuan bibit dan pupuk
kandang.
“Namun,
bukan bantuan seperti itu yang kami inginkan. Petani menginginkan ada
pelatihan dan pendampingan agar kami mampu mandiri dengan menerapkan pertanian
organik," ujar Saripuddin.
Keinginannya
itu kemudian terwujud. Pada 2008, petani setempat mendapatkan pelatihan cara
bercocok tanam secara, organik. Meski begitu, seusai pelatihan, masih banyak
petani yang merasa ragu menerapkan pertanian organik.
Sementara
itu, Saripuddin langsung menerapkan apa yang diperolehnya selama pelatihan.
Pupuk dari pabrik berangsur-angsur dihilangkan. Dia merasa mantap menanam padi
dan sayuran secara organik.
“Sekarang
padi dan sayuran saya sudah bebas dari pupuk kimia,” katanya meyakinkan.
Ragu-ragu
Di satu
sisi, Saripuddin bisa memahami jika sebagian petani rekannya tidak yakin
dengan cara bertanam organik. Sebab, pada awal menerapkan pertanian organik,
umumnya terjadi penurunan hasil panen.
“Hal itulah
yang membuat banyak petani di sini (Tarakan) ragu-ragu menerapkan pertanian
organik. Saya coba meyakinkan mereka, kondisi itu hanya terjadi pada awal kita
memulai (pertanian organik). Namun, setelah itu, hasil panen kita akan lebih
baik. Istilahnya, kita rugi dulu, untungnya nanti,” kata lelaki yang merantau
ke Tarakan selepas tamat dari madrasah tsanawiyah di Sulawesi Selatan ini.
Kini,
Saripuddin bisa panen padi tiga kali setahun, padahal sebelumnya hanya satu
hingga dua kali. Awalnya, per hektar tanah hanya menghasilkan 2 ton padi sekali
panen, tetapi lalu meningkat menjadi 4 ton dan kini 8 ton. Tanahnya mulai
kembali gembur, cacing-cacing datang, dan hama
mulai enggan datang.
”Dulu, untuk satu 1 hektar lahan sekali musim tanam, kami
mengeluarkan sampai Rp 7 juta. Sekarang, biaya itu bisa dipangkas lebih dari 40 persen.
Dalam setahun kami panen 2-3 kali, tak lagi hanya sekali. Hasil panen kami meningkat
2-3 kali dari sebelumnya,” tuturnya.
Dulu, ia
membutuhkan modal Rp 5 juta untuk menanam cabai dan membeli pupuk, dengan hasil
panen Rp 12 juta Kini, ia hanya butuh modal Rp 300.000 dan hasil panennya Rp 17
juta.
“Cabai dan
sayuran yang kami tanam juga lebih sehat dan enak rasanya,” kata Saripuddin
sambil menunjukkan hamparan sawahnya.
Apa yang
dicapai Saripuddin itu membuat anggota lain Kelompok Tani Mapan Sejahtera
penasaran. Mereka mulai tertarik, jadilah Saripuddin dan sejumlah teman mendirikan
Pusat Studi Organik Terpadu.
“Awalnya,
kami tak terpikir membuat semacam pusat studi. Namun, ini bisa menjadi tempat
bagi mereka yang ingin mempelajari pertanian organik. Ada lahan milik kelompok di sini, mari kita
sama-sama belajar. Melihat semakin banyak petani yang mau menerapkan pertanian
organik, saya senang,” ujarnya.
Di pusat
studi itu, sejumlah petani, antara lain, mengolah kotoran dan urine sapi serta
kambing dan dedaunan untuk pupuk Mereka juga membuat pupuk cair dan pestisida
cair alami berbahan buah-buahan, dedaunan, dan gula merah.
Saripuddin
mengakui, tak mudah mengajak semua petani mau menerapkan pertanian organik. “Saya
dan teman-teman yang sudah mencoba (pertanian organik) tak bisa memaksakannya.
Namun, saya yakin, gerakan pertanian organik ini akan menyebar. Satu per satu
petani akan beralih pada pertanian organik jika mereka tahu keuntungannya,”
ujarnya.
SARIPUDDIN
Lahir: Sulawesi Selatan, 3 Mei 1977
Istri: Hapita (34)
Anak: Rahmat (7), Ahmad Setiar (4)
Pendidikan:
Madrasah Tsanawiyah Kalimbua, Sulawesi Selatan
Madrasali Aliyah Ak Khairat, Tarakan, Kalimantan Timur