Kompas,
Sabtu 23 Maret 2013
HAK ANAK
Anak Juga Punya Hak
Didengar
“Setiap
anak memiliki hak menjalani masa kecil yang aman dan menyenangkan. Maka,
penting bagi masyarakat, terutama keluarga, untuk memastikan setiap anak
mendapatkan kesempatan itu.”
Pernyataan
itu beberapa kali diulang Ratu Swedia Silvia saat berbincang selama 45 menit
dengan kami (tujuh wartawan dari Indonesia,
Mesir, Turki, Nigeria,
Jerman, Latvia,
dan Ukraina), awal Maret ini, di Istana Kerajaan Stockholm, Swedia “Saya kira itu menjadi
tugas kita semua dan tentu kita harus saling bantu,” ujarnya.
Anak akan
memperoleh masa kecil yang aman dan menyenangkan hanya jika orang dewasa
dapat menciptakan lingkungan sekitar anak sesuai kebutuhan dan keinginan anak.
“Untuk
mengetahui kebutuhan dan keinginan anak itu, mau tidak mau ‘suara’ anak harus
kita dengar. Seperti halnya orang dewasa, anak pun mempunyai hak bersuara,”
kata Ratu.
Di Swedia,
dari 9,5 juta jiwa penduduk terdapat 2 juta jiwa penduduk di bawah usia 18 tahun
yang harus didengarkan suaranya karena mereka belum memiliki hak pilih.
Artinya, mereka belum bisa secara formal menyampaikan ide atau usulan pada
proses pembangunan. Maka dari itu, wajib bagi pemerintah dan masyarakat
Swedia untuk mendengarkan pendapat dan cara pandang anak
Hak anak
itu merupakan salah satu prinsip dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak
(Convention on the Rights of the Child/CRC) yang telah diratifikasi Swedia
tahun 1989.
Untuk
menjaga dan memastikan anak terpenuhi hak-haknya, Swedia memiliki banyak
lembaga atau organisasi anak, seperti Children's Rights in Society (BRIS),
Friends, Save the Children Swedia, dan Ombudsman Anak.
BRIS
merupakan lembaga yang membuka layanan konsultasi bagi anak melalui telepon, chatting, dan e-mail. Pada 2010, BRIS telah berkomunikasi dengan 115.335 anak
dan remaja yang membutuhkan bantuan dan solusi masalah yang dihadapi di
keluarga, sekolah, atau lingkungan sekitar. Adapun Friends sejak 1997 sudah
fokus bekerja sama dengan 1.500 sekolah untuk menangani isu bullying di sekolah dan lingkungan
sekitar anak.
Sejak 1979
pun, Swedia sudah menjadi negara pertama di dunia yang menyatakan memukul dan
menampar anak termasuk salah satu bentuk tindakan kriminal yang melanggar
hukum.
Partisipasi
Meski sudah
ada beragam lembaga dan payung hukum yang dibuat, penegakan hak anak di Swedia
juga belum optimal. Bahkan, masih banyak orang yang tidak paham dengan konvensi
hak anak. Menurut Ratu Silvia, setiap satu dari lima anak setidaknya pernah mendengar
tentang itu. Begitu pula dengan guru, orangtua, dan masyarakat.
“Namun,
mereka belum tahu bagaimana praktiknya. Karena itu, konvensi hak anak jangan
hanya sebatas wacana, tetapi juga harus betul-betul dihayati dan dilaksanakan,”
kata Ratu Silvia yang mendirikan World Childhood Foundation pada 1999.
Hasil
survei Save the Children Swedia tahun 2011 terhadap 24.544 anak di Swedia
juga menunjukkan, 62 persen anak belum pernah mendengar tentang konvensi hak
anak. Untuk menyosialisasikan konvensi itu dan mendengarkan opini anak dan
remaja, Domestic Programme, Programme Officer Children's Rights in the
Society Save the Children Sweden, Karin Fagerholm mengatakan, pihaknya
membentuk kelompok diskusi “Ellen” (untuk perempuan) dan “Allan” (untuk
laki-laki).
Dari
diskusi-diskusi terfokus itu, bermunculan masalah yang dianggap penting oleh
anak, seperti keamanan di angkutan umum, bullying,
dan kekerasan rumah tangga. Masalah-masalah seperti ini yang kemudian dirangkum
menjadi proposal kebijakan dari perspektif anak yang diajukan ke pemerintah.
Kasus Indonesia
Untuk
Indonesia yang telah meratifikasi konvensi pada 1990, menurut Ketua Presidium
Nasional Organisasi Non-pemerintah Pemantau Hak Anak dan Wakil Ketua Komisi
ASEAN untuk Pemajuan dan Peilindungan Hak Perempuan dan Anak (ACWC) Ahmad
Taufan Damanik, Indonesia terlambat menyampaikan laporan pertama (Initial
Report) karena seharusnya sudah ada laporan dua tahun. Laporan lima tahunan baru
disampaikan pada 2004. "Selain laporannya belum cukup komprehensif, juga
terlambat," ujarnya.
Namun,
Taufan mengapresiasi perkembangan implementasi yang positif. Seperti UU Perlindungan
Anak Nomor 23 Tahun 2002. Dilihat dari isinya, cukup banyak pasal yang
mencerminkan konvensi hak anak Meski demikian, masih banyak kekerasan terjadi
di sekolah, rumah, tempat umum, tempat bekerja, dan dalam proses hukum pidana
anak.
Direktur
Studi Departemen Anak dan Remaja di Stockholm University Ingrid Engdahl
membenarkan minimnya pengetahuan anak tentang konvensi hak anak Pasalnya,
sosialisasi dan informasi tentang hal itu di sekolah sering kali berakhir di
guru. Jika pun sampai pada anak informasinya tidak utuh. Pada tataran implementasinya
pun tak bebas dari pro dan kontra. Sebagian masyarakat menilai konvensi itu
memberikan anak terlalu banyak kebebasan untuk memilih dan mengesampingkan
orangtua.
Meski
perkembangan penegakan hak anak di Swedia tidak secepat harapan, Ratu Silvia
berpesan jangan pernah lelah untuk berbicara dan berdiskusi dengan masyarakat,
terutama para pembuat kebijakan, tentang kondisi dan masalah anak serta
pentingnya perlindungan hak-hak anak. “Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan
melindungi anak-anak,” ujarnya.
(Luki
Aulia)