Di negeri ini Lebaran telah disandera kuasa kapital. Maka, ritus Lebaran pun harus menyesuaikan atau ditentukan oleh logika kapital. Kaum miskin otomatis tersingkir dan merayakan Lebaran dengan tersaruk-saruk.
Pemandangan
yang klasik pun selalu menyergap batin kita. Di sejumlah daerah, orang-orang
miskin harus bertanuh nyawa untuk mendapatkan bingkisan bahan kebutuhan pokok
atau uang zakat dari para dermawan.
Lihatlah
juga iring-iringan rombongan pengemis berderap-derap menyerbu kota demi mengais remah-remah rezeki. Kenyataan
memilukan itu hanyalah puncak dari gunung es kemiskinan rakyat. Negara pun selalu
menutupinya dengan karpet biru berbordir “angka kemiskinan menurun”.
Di sisi
lain, kaum miskin juga dihadang kapitalisme. Dengan konsumtivisme, kuasa
kapital telah mendegradasikan Lebaran ke dimensi profan: euforia pasar.
Padahal,
sejatinya Lebaran merupakan momentum “keramat” bagi masyarakat plural. Ia menjadi
wahana sosial-budaya untuk mengukuhkan nilai kemanusiaan dan nilai-nilai
kolektif.
Penziarahan nilai
Pada
momentum itu masyarakat melakukan penziarahan nilai untuk bisa kembali ke dalam
jati diri dan basis sosialnya setelah sebelumnya basah kuyup dalam kubangan
rutinitas yang mengasingkan kemanusiaannya.
Pulang ke
dalam pelukan kehangatan keluarga, handai tolan, dan kerabat pun menjadi
kebutuhan asasi setiap manusia. Di situ, setiap individu, yang selama ini
terpisah secara geografis karena alasan mencari penghidupan, melakukan
pengukuhan nilai-nilai persaudaraan dan memperkuat solidaritas sosial.
Kaum
miskin, baik urban dan non-urban, cemas dan gemetar memasuki Lebaran yang sarat
dinamika komersial dan mahal. Mereka dipaksa memiliki paspor Lebaran berupa
uang dan daya beli tinggi. Paspor itu terasa absurd bagi mereka yang memiliki
penghasilan per hari Rp 20.000 atau di bawahnya.
Jumlah
mereka cukup besar, bukan hanya sekitar 30 juta orang seperti dikatakan Badan
Pusat Statistik, melainkan bisa mencapai 80 persen dari jumlah penduduk
Indonesia. Ini mengambil pernyataan Ahmad Syafii Maarif bahwa baru 20 persen
penduduk negri ini yang menikmati kemerdekaan.
Kenyataan
di atas tentu menyisakan pertanyaan: ke mana kemakmuran negeri ini? Kekayaan
itu raib oleh tiga hal.
Pertama,
inkompetensi penyelenggara negara. Akibatnya, seluruh kekayaan alam kita belum
mewujud menjadi realitas material yang dinikmati semua warga negara.
Kedua,
mentalitas “makelar” yang masih diidap sebagian penyelenggara negara. Mereka
menggadaikan kekayaan alam dan aset negara kepada kekuatan modal asing.
Ketiga,
korupsi para penyelenggara negara yang berkolaborasi dengan komunitas ekonomi
hitam. Akibatnya,distribusi kesejahteraan terhambat dan terbendung untuk sampai
ke seluruh rakyat.
Dalam setting
kemakmuran itu, kita bisa menilai bahwa negara berwatak “rakus” dan “kikir” terhadap
warga negaranya, terutama kaum miskin. Rakus karena melimpahnya aset negara
dikuasai kelompok elite dalam sistem kekuasaan berwatak oligarkis dan kartel.
Kikir karena para penyelenggara hanya memberi sedikit dari kemelimpahan aset
negara kepada rakyat.
Ironi
Rakyat pun
disergap ironi getir. Di tengah kemiskinan rakyat, uang negara justru terkuras
oleh
korupsi.
Untuk memulangkan tersangka korupsi Muhammad Nazaruddin dari Kolombia saja
negara
harus rnengeluarkan dana Rp 4 miliar.
Semakin
ironis manakala Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap: dugaan korupsi yang
dilakukan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu terkait puluhan kasus dan nilainya
mencapai lebih dari Rp 6 triliun. Ini baru dari satu tersangka korupsi.
Hitung
saja, berapa triliun rupiah uang negara yang raib terkait dengan
praktik-praktik penggarongan uang negara yang selama ini terjadi?
Makna
kehadiran negara diukur dari kemampuannya melayani rakyat sesuai amanat
konstitusi (melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan rakyat). Kualitas
pelayanan itu pula yang menjadikan rakyat merasa eksis sebagai warga negara.
Ketika mangkir
dari kewajibannya, sesungguhnya negara telah kehilangan legitimasinya di mata
rakyat. Di benak rakyat pun muncul ruang tafsir yang tidak sedap: negara absen,
negara kikir, negara rakus, negara gagal, negara pasar, negara lenyap, dan seterusnya.
Rakyat ada sebelurn
negara ada. Kini, rakyat telah menjelma menjadi kelompok manusia anonim,
seperti ketika negara ini belum terbentuk. Rakyat tidak mau gede rasa untuk
mengklaim dirinya sebagai “rakyat Indonesia” karena mereka merasa
yatim-piatu, tidak diurusi negara.
Rakyat
tidak pernah cengeng mengemis kepedulian kepada negara karena mereka sejatinya
adalah juragan alias pemilik sah kedaulatan. Negaralah yang semestinya tahu
diri di posisinya sebagai pelayan rakyat. Negara mestinya malu manakala sang
rnajikan itu kini terpuruk dalam penderitaan.
Namun,
rakyat selalu mampu mengatasi problem dengan cara-ya sendiri. Juga, ketika
mereka harus merayakan dan menikmati keindahan lebaran meskipun penuh
keterbatasan.
Kompas, 27
Agustus 2011
Oleh: Indra
Tranggono
Pemerhati Kebudayaan