Kompas,
Selasa, 17 Desember 2013
Sosok
Pitoyo
Ngatimin
Mengobarkan
Semangat Kembali ke Alam
Perjalanan hidup
saat memutuskan untuk lepas dari bahan kimia pada 1998 disyukuri Pitoyo Ngatimin
(46), petani sayur organik dari lereng Gunung Merbabu. Setelah 15 tahun
berlalu, tujuan utamanya tak lagi memulihkan lahan yang rusak, melestarikan
alam dan memenuhi kebutuhan pasar. Lebih dari itu, ia ingln membebaskan generasi
penerus dari racun bahan kimia yang seharl-hari masuk ke tubuh orang lewat
sayuran.
==========
“Saya
meyakinkan teman-teman petani, dengan menjalani pertanian organik kita ikut menyelamatkan
sesama. Penyadaran itu harus dibangun meski efeknya perlahan dan membutuhkan
waktu lama,” kata Pitoyo, warga Dusun Selo Ngisor, Desa Batur, Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Pesan utama
yang ingin dia sampaikan lewat pertanian organik adalah membebaskan manusia
dari racun yang mengendap dalam sayuran dan dikonsumsi umumnya masyarakat setiap
hari. Racun yang terus-menerus dipaparkan lewat pupuk kimia dan pestisida berbahaya.
Tak mudah meyakinkan
masyarakat untuk mengonsumsi sayuran organik. Selain penampilannya tak
semenarik sayuran yang diproduksi menggunakan bahan kimia, harga jualnya pun
lebih mahal. “Tetapi, sayuran organik memiliki rasa yang lebih enak dan lebih tahan
lama ketimbang sayuran yang terpapar bahan kimia,” ujarnya.
Di sisi lain,
pasar semakin merespons kehadiran produk organik. Maka berapa pun produksinya,
sayuran organik relatif habis terserap pasar.
Kesetiaannya
selama bertahun-tahun menekuni pertanian sayur organik mulai dia petik. Gerakan
pertanian organik yang dia rintis tak hanya berhasil meyakinkan kelompok tani
di dusunnya, tetapi juga berkembang kepada kelompok tani lain di Kabupaten Semarang.
Bahkan, gaung pertanian sayur organik dari dusun yang jaraknya sekitar 10
kilometer dari Kota Salatiga ini memancar hingga ke luar Pulau Jawa.
Hal lain
yang membuat Pitoyo senang, produk sayur organik dari Dusun Selo Ngisor selain diterima
di pasar modern juga menembus pasar ekspor. Selma
empat tahun terakhir, produk buncis organik ini diekspor ke Singapura dan Malaysia.
Untuk
memenuhi permintaan asing, selain menjaga kontinuitas pengiriman sayur organik,
ia juga terus berupaya memperluas jaringan petani yang memproduksi sayuran
organik agar memenuhi syarat ekspor.
Sering
Pitoyo bersama petani di dusunnya mengemas sendiri sayuran organik demi mengejar
pengiriman untuk ekspor. Ini dilakukannya meski pada pagi hingga siang hari ia harus
mengajar di Sekolah Pertanian Pembangunan Dharma Lestari di Kota Salatiga. Begitulah
aktivitas sehari-hari pendiri Kelompok Tani Tranggulasi pada 2004 itu.
Pitoyo
menambahkan, permintaan ekspor sayuran organik terus bertambah. Kini volume pengiriman sayuran
mencapai 1 ton setiap minggu. Jika dulu sayur yang diekspor hanya buncis
perancis, kini bertambah menjadi 14 jenis sayuran lain, seperti brokoli,
wortel, timun jepang, terung, bayam, labu siam, kol putih, dan kol merah.
Menginspirasi
Sebanyak 32
petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Tranggulasi tetap setia, berkomitmen
memenuhi permintaan pasar atas sayur organik. Setiap bulan ada kunjungan petani
dari sejumlah daerah yang ingin belajar dari kelompok tani yang dia pimpin.
Pitoyo juga
terbuka dengan mahasiswa yang menjalani praktik kerja lapangan atau magang. Berbagai
penghargaan sudah dia dan kelompok taninya terima. “Saya dua kali bersalaman dengan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” ujarnya, menunjukkan foto saat menerima penghargaan
ketahanan pangan Adikarya Pangan Nusantara Tahun 2011 di Istana Negara.
Seiring
dengan keberhasilan Pitoyo dan Kelompok Tani Tranggulasi, semakin banyak kelompok
tani organik bermunculan. Selain bisa memenuhi permintaan pasar, mereka juga mendapat
bantuan pemerintah dalam program Go Organic.
Meski demikian,
untuk mengelola kelompok tani diakui Pitoyo tak mudah. Di sini diperlukan
sistem manajemen yang dapat diterima anggota. Di Kelompok Tani Tranggulasi, ada
pengaturan siapa yang menanam sayur apa sehingga stok sayur selalu tersedia.
Untuk menjaga kontinuitas seperti ini, sulit dilakukan. “Diperlukan komitmen
semua anggota,” tegasnya.
Ini
termasuk saat permintaan buncis perancis menurun dan pembeli meminta jenis
sayuran lain. Mereka menyanggupinya. “Kami harus bisa terus berinovasi,
menyediakan berbagai produk meskipun ini berat,” ungkapnya.
Untuk
menyediakan wortel berukuran mini, misalnya, meski secara waktu lebih singkat
karena dipanen di awal, secara volume sulit karena jumlahnya lebih banyak.
Padahal luas lahan mereka tetap, 16,5 hektar.
Manajemen
keuangan juga diatur. Dari harga jual sayur ekspor Rp 8.000 per kilogram,
misalnya, harga di tingkat petani Rp 6.000. Sisanya, Rp 100 untuk kas kelompok,
Rp 500 untuk sortasi, dan Rp 1.400 untuk operasional pengelola. Pengalaman
kelompok tani ini juga dituangkan dalam prosedur operasional standar budi daya
sayuran orgariik di dataran tinggi yang diterbitkan Kementerian Pertanian tahun
2008.
Dari
kegagalan
Titik balik
Pitoyo bermula tahun 1998 saat hasil panen kubis di lahan seluas 4.000 meter
persegi miliknya hanya dihargai Rp 60.000. Harga kubis saat itu jatuh, Rp 60
per kilogram. Kesal hati, ia lalu menggunakan pupuk kandang untuk tanaman.
Berkali-kali panennya gagal karena tanah sudah terbiasa dengan bahan kimia.
Namun,
usahanya tak sia-sia meski dia membutuhkan waMu enam tahun untuk meyakinkan
petani lain agar mengikuti jejaknya. “Petani itu tak perlu diajak. Mereka akan
mengikuti apa yang dilakukan temannya yang berhasil. Mereka melihat
bukti..Ketika apa yang saya lakukan berhasil, mereka mengikuti,” ujar ayah dua
anak yang juga menemukan formulasi pupuk dan pestisida alami ini.
Berawal
dari memenuhi permintaan pasar pada tingkat lokal, Kelompok Tani Tranggulasi
kemudian mengekspor buncis perancis pada 7 Desember 2009 ke Singapura dengan
volume pengiriman pertama 26 kilogram. Setelah itu, pengiriman rutin dilakukan
setiap Minggu, Selasa, dan Kamis dengan volume semakin besar.
Untuk
memenuhi pennintaan, mereka menggandeng petani lain. Volume pengiriman itu pun
meningkat hingga 1 ton sekali kirim setiap pekan. Buah kerja keras itu telah
dipetik Pitoyo dan petani di dusunnya. Namun, kampanye pertanian organik belum berhenti.
(Amanda Putri/Sonya Helen Sinombor)
==========
PITOYO
NGATlMlN
Lahir:
Kabupaten
Semarang, 10 Oktober 1967
Istri:
Siti
lmronah (41)
Anak:
1. Eko
Binti Lestari (21)
2. Lintang
Dwi Nandani (10)
Pendidikan:
- Sekolah
Pertanian Menengah Atas Joko Tingkir, Salatiga, 1987
- Jurusan
Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Teknologi Pembangunan
Surakarta, 2010
Penghargaan:
- Anugerah
Ketahanan Pangan Nasional, 2006
- Budidaya
Sayuran Organik Tingkat Nasional, 2006
-
Kalpataru, Perintis Lingkungan tingkat Kabupaten Semarang, 2007
- Adikarya
Pangan Nusantara, 2011
Aktivitas:
- Ketua
Kelompok Tani Tranggulasi, 2005-kini
- Pengajar
SMP dan SMK/Sekolah Pertanian Pembangunan Dharma Lestari, Salatiga