Kompas, 18
Mei 2014
Fasisme
Oleh BRE REDANA
Oleh BRE REDANA
Sejak lama
sebenarnya saya menyimpan pertanyaan, kenapa bangsa ini sepertinya tidak
menganggap fasisme sebagai ancaman. Sebagai wacana pun tidak pernah muncul, berbeda
misalnya dibandingkan dengan komunisme yang dianggap sebagai ancaman utama
bangsa ini, yang diwacanakan dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman, kemungkinan
sampai kiamat nanti.
Oleh
karenanya, saya merasa aneh ketika ada seorang ternan tiba-tiba mengajukan
pertanyaan, persis sama pertanyaan yang lama tersimpan dalam hati saya. Tambah
aneh lagi, karena yang mengajukan pertanyaan dia, seorang petinggi perhotelan, cewek,
modis, cantik.
Sebagaimana
umumnya hotelier yang kalau bicara didasarkan pengalaman praktis, dia
terheran-heran ada orang yang memberi excuse
terhadap pihak yang ditengarai menjadi pelaku tragedi Mei 1998.
Apa di era
morat-marit ini masyarakat menginginkan ketegasan, ia bertanya. Ketegasan dan
militerisme itu berbeda, ia jawab sendiri pertanyaannya sembari menikmati mi
ayam langganannya, yang tengah dia pamerkan enaknya. Di Eropa, begitu dia
berkata, kalau orang ditanya apa ancaman utama, pasti pertama-tama yang dia sebut
adalah fascism. Yang kedua baru
komunisme, lalu terorisme, atau entah apa, urutannya mungkin berubah karena
perubahan dunia. Namun fascism pasti
masuk daftar, dia terus melanjutkan kata-katanya.
Jadi ingat
Umberto Eco. Menentukan apa itu ancaman, yang berarti memilih siapa itu musuh -
istilah Eco inventing the enemy - sejatinya berguna untuk mendefinisikan
jati diri kita. Juga untuk mencari tolok ukur bagi hambatan sekaligus mengupayakan
jalan keluar bagi sistem nilai yang tengah kita bangun, yang perlu bagi
pembentukan harga diri dan kemuliaan kita.
Dengan
menganggap fasisme sebagai musuh misalnya, orang akan menunjukkan dignity dengan sikap sebaliknya:
menjunjung supremasi sipil, egaliter, kurang hierarkis, tidak suka seragam, dan
lain-lain. Itu semua kebalikan dari tanda-tanda fasisme, berupa semangat militeristik
dengan segala manifestasinya: penegakan disiplin dengan kekerasan, garis batas
senior-yunior, tidak mentolerir perbedaan, serba protokoler, gemar pakaian
seragam (begitu mengenakan seragam kontan merasa paling berkuasa sedunia), dan
seterusnya.
Karena
semangat seperti inilah barangkali terus saja terjadi penganiayaan serta pembunuhan
terhadap yunior di berbagai lembaga pendidikan, yang belakangan merambah ke
semua tingkatan sampai ke tingkat anak-anak ingusan. Istilahnya penegakan
disiplin oleh senior.
Bagaimana
pemecahannya?
Kembali lagi,
sesuai pembentukan nilai-nilai di mana dasarnya adalah anti ideologi yang dianggap
tidak mengenal Tuhan, maka pemecahannya pun berdasar pemikiran, bahwa dosis
agamalah yang harus ditingkatkan. Bahkan ketika anak-anak menjadi korban
pencabulan di sekolah, muncul pernyataan dari pejabat pendidikan, tentang
perlunya pendidikan agama tadi bagi anak-anak. Pernyataan yang benar-benar
membuat saya geram.
Kita semua
tahu, itu juga berlaku kalau perempuan menjadi korban peIecehan seksual. Yang
ditelisik pertama kali adalah perilaku korban, bagaimana pakaiannya, cukup
mengundang atau tidak. Pada kasus lebih luas, kalau ada penggerebekan diskusi, yang
bakal jadi tersangka adalah korban penggerebekan, bukan penggerebeknya. Apalagi
kalau yang didiskusikan Marxisme, atau liberalisme. Keduanya merupakan musuh
fasisme.
Entah
barangkali karena bangsa ini begitu cinta damai, sehingga merasa tidak perlu
mendefinisikan apa itu yang disebut sebagai ancaman dan musuh secara sungguh-sungguh.
Lihatlah, korupsi pun tampak bukan dianggap sebagai ancaman serius. Tak ada
koruptor yang mendapat sanksi sosial. Pokoknya kaya, banyak duit, orang akan menjadi
tokoh terhormat di lingkungannya.
Oh ya, teman
hotelier itu paginya mengirim pesan pendek, menanyakan yang lupa ia tanyakan:
apakah saya suka mi ayam yang dia kenalkan. Saya jawab suka, apalagi ditambah
fasisme. Saya bilang, tolong peringatkan bahaya fasisme tersebut kepada semua
orang.
No comments:
Post a Comment