Oleh:
Sindhunata
Selama ini para petani, paling tidak di Jawa, mempunyai
pelbagai cara dan sistem untuk akrab dengan iklim. Cara dan sistem itu sudah
demikian lama berlaku, dan mendarahdaging dalam kehidupan petani Jawa. Bisa
dikatakan, cara dan sistem mengakrabi dan menanggulangi kekuatan alam itu sudah
menjadi semacam budaya. Salah satu cara dan sistem yang telah menjadi budaya
tersebut adalah pranatamangsa.
Petani Jawa adalah bagian dari bangsa agraris di Indonesia,
yang telah hidup dengan tradisi pertanian padi basah kurang lebih 2000 tahun
lamanya. Para petani itu, terutama yang
mendiami daerah-daerah bekas kerajaan-kerajaan Jawa, mengikuti suatu sistem
penanggalan pertanian, yang disebut pranatamangsa.
Penanggalan tersebut mendasarkan diri pada tahun surya yang
panjangnya 365 hari. Penanggalan yang telah diwarisi turun temurun ini konon
dibakukan oleh Sri Susuhunan Paku Buawana VII di Surakarta, pada tanggal 22
Juni 1855 . Seperti ditulis oleh N. Daldjoeni, pembakuan tersebut dimaksudkan
untuk sekadar menguatkan sistem penanggalan yang mengatur tata kerja kaum tani
dalam mengikuti peredaran musim dari tahun ke tahun (Uraian berikut ini
seluruhnya didasarkan pada tulisan Drs. N. Daldjoeni: Penanggalan Pertanian
Jawa Pranatamangsa, terbitan Proyek Javanologi, Yogyakarta,
tanpa tahun).
Dalam pembakuan tersebut, ahli perbintangan kraton memang
cukup berjasa. Kendati demikian itu tidak berarti bahwa mereka telah
menciptakan sesuatu yang baru. Sebab sesungguhnya, penanggalan itu sudah ada
dalam hidup petani Jawa turun temurun. Bahkan sebelum kedatangan orang-orang
Hindu, nenek moyang kita sudah akrab dengan peredaran bintang-bintang di langit
yang mendasari pengetahuan tentang perulangan musim.
Pranatamangsa, arti harafiahnya adalah pengaturan musim.
Agaknya, pemanfaatan pranatamangsa ini ikut menyumbang pada keberhasilan dan
keagungan kerajaan-kerajaan Mataram Lama, Pajang dan Mataram Islam. Dengan
pranatamangsa tersebut, orang pada zaman itu mempunyai pedoman yang jelas untuk
bertani, berdagang, menjalankan pemerintahan dan keserdaduan.
Pranatamangsa ini mempunyai seluk beluk yang tak kalah
rumitnya dengan penanggalan Mesir kuno, Cina, Maya dan Burma. Kata Daljoeni: “Di dalam
pranatamangsa terdapat pertalian yang mengagumkan antara aspek-aspeknya yang
bersifat kosmografis, bioklimatogis yang mendasari kehidupan sosial-ekonomi dan
sosial-budaya masyarakat bertani di pedesaan. Sebagai keseluruhan pranatamangsa
mencerminkan ontologi menurut konsepsi Jawa serta akhetip alam pikiran petani
Jawa yang dilukiskan dengan berbagai lambang yang berupa watak-watak mangsa
dalam peristilahan kosmologis yang mencerminkan harmoni antara manusia, kosmos
dan realitas” (Ibid., hlm. 5-6).
Pembagian musim
Pranatamangsa ini membagi setahun dalam 12 mangsa: mangsa
kasa (I), karo (II), katelu (III), kapat IV), kalima (V), kanem (VI), kapitu
(VII), kawolu (VIII), ksangsa (IX), kasapuluh (X), desta (XI), saddha (XII).
Masing-masing mangsa mempunyai bintang sendiri-sendiri. Bintang tersebut
berlaku sebagai pedoman bagi awal dan akhirnya suatu mangsa.
Maka mangsa kasa, bintangnya Sapigumarang, mangsa karo,
bintangnya Tagih, mangsa katelu, Lumbung, mangsa kapat, Jarandawuk, mangsa
kalimat, Banyakangkrem, mangsa kanem, Gotongmayit, mangsa kapitu, Bimasekti,
mangsa kawolu, Wulanjarangirim, mangsa kasanga, Wuluh, mangsa kasapuluh,
Waluku. Dua mangsa terakhir, desta dan saddha tak mempunyai bintang yang
khusus. Bintang kedua mangsa tersebut sama dengan bintang pada mangsa karo dan
katelu, yakni lumbung dan tagih.
Untuk mengetahui letak masing-masing mangsa, perlu diketahui
terlebih dahulu bahwa petani juga membagi setahun dalam empat mangsa utama,
yakni mangsa terang (82 hari), semplah (99 hari), udan (86 hari), pengarep-arep
(98 hari). Simetris dengan pembagian tersebut, juga ada pembagian mangsa utama
seperti berikut ini: mangsa katiga (88 hari), labuh (95 hari), rendheng (94
hari), mareng (88 hari).
Lalu dengan peletakan yang demikian simetris, demikianlah
tempat dua belas mangsa ditaruh dalam siklus tahunan yang selalu berulang (N.
Daldjoeni: Ibid, hlm. 7-8):
a. Satu
tahun yang panjangnya 365 hari dibagi menjadi 2 tengah tahunan. Masing-masing
tengah tahunan dipecah lagi atas 6 mangsa, yang panjang harinya berturut-turut
adalah: 41-23-24-25-27-43.
b. Dalam
pada itu, mangsa ke-I (kasa) dimulai pada saat matahari ada di zenith untuk
garis balik Utara Bumi (tropic of Cancer),
yakni tanggal 22 Juni. Mangsa ke VII (kapitu) dimulai pada tanggal 22 Desember
ketika matahari ada di zenith garis balik Selantan Bumi (tropic of Capricorn).
c. Kedua
periode tengah tahunan itu saling bergandengan pada mangsa yang paling panjang,
yakni mangsa terang (mangsa sadha dan kasa) yang lamanya 82 hari dan mangsa
udan (mangsa kanem dan mangsa kapitu) yang lamanya 86 hari.
d. Mangsa
terang diapit oleh dua mangsa yang kontras, yakni mangsa panen (mangsa dhestha)
dan mangsa paceklik (mangsa karo). Mangsa udan diapit oleh dua mangsa dengan
letak matahari di zenith untuk pulau Jawa, yakni mangsa kalima dan mangsa
kawolu.
e. Mangsa
pangarep-arep (harapan) yang mengandung musim berbiak bagi berbagai hewan serta
tanaman makanan pokok, berhadapan dengan mangsa semplah (putus asa) yang
masing-masing meliputi 3 mangsa, yakni kawolu, kasanga, kasapuluh berhadapan
dengan mangsa katelu, kapapat dan kalima.
Periode-periode musim yang ditandai dengan nama-nama mangsa
itu berulang secara teratur dalam setiap tahun. Petani dapat membuktikan
pengulangan musim yang teratur itu dengan mengamati rasi bintang yang muncul
secara teratur dan periodik pula. Misalnya, rasi bintang Lumbung (Crux) pada
mangsa katelu, Banyakangkrem (scorpio) pada mangsa kalima, Waluku (Orion) pada
mangsa kasapuluh, wuluh (pleyades) pada mangsa kasambilan, wulanjarngirim
(Centauri) pada mangsa kawolu, bimasakti (Milkmay)) pada mangsa kapitu, dan
sebagainya.
Munculnya rasi bintang tertentu, disusul oleh munculnya rasi
bintang tertentu lainnya adalah patokan untuk menentukan saat mulai serta saat
berakhirnya masing-masing mangsa. Berbarengan dengan itu, panjang bayangan
manusia pada tengah hari juga dipakai untuk menentukan panjang pendeknya suatu
mangsa tertentu. Di samping itu, dalam pembagian mangsa-mangsa, petani juga
memperhatikan asal-usul angin serta gerakan-gerakan angin. Sesungguhnya
semuanya itu tidaklah lain daripada penyesuaian udara pada pergeseran
perjalanan matahari di sepanjang tahun.
Watak-watak mangsa
Atas dasar semuanya itu ditentukanlah watak setiap mangsa,
dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia dalam mengolah tanaman dan
pertaniannya. Jadi penentuan watak mangsa yang mungkin berkesan mistis itu
sesungguhnya mempunyai pijakan yang berdasarkan pengalaman nyata dan pengamatan
yang sangat rasional. Dengan kata lain, di balik suatu penentuan watak mangsa
selalu ada pengalaman nyata dan dasar rasionalnya. Demikianlah misalnya urutan
watak-watak mangsa itu.
Sotya murca ing embanan (ratna jatuh dari tatahan). Itulah
watak dari mangsa kasa (I), yang jatuh pada mangsa ketiga, masa terang yang
biasanya kering. Mangsa ini ditandai dengan gejala alam, daun-daun yang
berguguran, dan bintang beralih. Dihitung dengan penanggalan umum, mangsa ini
berawal pada 22 Juni dan berakhir pada 1 Agustus. Menurut Daldjonei, kondisi
meteorologisnya: sinar matahari 76%, lengas udara 60,1%, curah hujan 67,2 mm,
suhu udara 27,4 derajat Celcius (Lih. ibid. hlm. 12). Pada masa ini manusia merasa
ada sesuatu yang hilang dalam alam, walau cuacanya sedang terang.
Lalu masuklah manusia ke dalam mangsa karo, yang wataknya
adalah bantala rengka (tanah retak). Mangsa ini berlangsung 1 Agustus sampai 24
Agustus. Pada masa yang juga jatuh pada satuan mangsa ketiga ini, hawa menjadi
panas. Kondisi meteorologis kurang lebih sama dengan mangsa kasa (I), kecuali
curah hujan turun menjadi 32,2 mm. Pada masa ini manusia mulai merasa resah,
karena suasana kering dan panas, rasanya bumi seperti merekah. Memang mangsa
sedang memasuki alam paceklik.
Alam paceklik itu makin menajam, ketika manusia memasuki
mangsa katelu, yang wataknya adalah suta
manut ing bapa (anak menuruti ayah). Mangsa ini berlangsung dari 25 Agustus
sampai 17 September. Kondisi meteorologis sama dengan mangsa sebelumnya, hanya
curah hujan naik lagi menjadi 42,2 mm. Mangsa yang juga bagian dari mangsa
ketiga ini ditanda dengan sumur-sumur yang mengering dan angin yang berdebu.
Tak ada yang dapat dibuat manusia, kecuali pasrah sambil berharap semoga masa
ini segera berakhir.
Harapan itu mulai cerah, ketika alam memasuki mangsa kapat,
yang wataknya adalah waspa kumembeng jroning kalbu (airmata tersimpan dalam
hati). Masa yang berlangsung dari 18 September sampai 12 Oktober ini jatuh pada
musim labuh, di mana kemarau mulai berakhir. Sinar matahari 72%, lengas udara
75,5%, sedang curah hujan 83,3mm, dan suhu udara 26,7 derajat Celcius. Di sini
manusia masih harus menunda kegembiraannya, ia masih harus menunggu sampai
semua kesedihan dan kekeringan sungguh berlalu.
Maka datanglah mangsa katelu, yang juga jatuh pada musim
labuh. Mangsa ini berlangsung dari 13 Oktober sampai 8 November. Kondisi
meteorologi sama dengan mangsa karo, hanya curah hujan naik menjadi 151,1%.
Watak dari mangsa ini adalah pancuran mas sumawur ing jagad (pancuran masa
berhamburan di bumi). Mangsa ini ditandai dengan turunnya hujan yang pertama.
Manusia pun mulai diliputi sukacita atas kesegaran air hujan yang turun dari
langit seperti pancuran masa.
Lalu tibalah mangsa kanem, juga masih di musim labuh. Mangsa
ini berlangsung dari 9 November sampai dengan 21 Desember. Kondisi metereologis
sama dengan mangsa sebelumnya, hanya curah hujan meninggi, jadi 402,2 mm. Alam
menghijau, dan hati merasa tentram. Memang mangsa ini amat indah, sesuai dengan
watak dan candranya: rasa mulya kasucen, rasa mulia yang berasal dari kesucian.
Alam memberi rasa persahabatan yang luar biasa. Seakan semuanya muncul dari
kesuciannya. Dan manusia pun diundang untuk ikut merasakan kesucian itu. Ia
tidak menjadi serakah, justru hatinya menjadi penuh rasa syukur, karena pada
saat inilah ia menerima dari alam berkah yang amat berlimpah-limpah.
Sawah-sawah mereka menghijau, air mengalir jernih, memberi rasa hati yang aman
tentram.
Kemudian musim masuk ke dalam satuan besar mangsa rendheng,
yang terdiri dari mangsa kapitu, kawolu dan kasanga. Di mangsa kapitu 22
Desember sampai dengan 2 Februari, ketentraman manusia sejenak terganggu.
Kondisi meterologis mangsa ini adalah sinara matahari 67%, lengas udara 80, curah
hujan 501,4, dan suhu udara 26,2 derajat Celcius. Watak dari mangsa ini adalah
wisa kentar ing maruta, bisa terbang tertiup angin. Inilah musim datangnya
penyakit, dan alam ditandai dengan banjir. Petani tetap menerima masa ini
dengan penuh syukur. Sebab dalam masa ini, alam yang kelihatannya kurang
bersahabat sesungguhnya sedang menyimpan berkah panen yang demikian kaya. Di
samping itu, tanaman memang sedang membutuhkan siraman air sebanyak-banyaknya.
Tanda-tanda kegembiraan dan berkah kemudian mulai terlihat,
ketika kucing-kucing mulai kawin. Kendati alam dipenuhi dengan sambaran kilat,
birahi kucing-kucing itu adalah pratanda, bahwa hal yang gembira sedang berada
di ambang mata. Memang inilah tanda ketika mangsa kapitu beranjak ke mangsa
kawolu (3 Februari sampai 28 Februari), yang wataknya adalah anjrah jroning
kayun, sesuatu sedang merebak di dalam kehendak. Kondisi metereologis sama
dengan mangsa sebelumnya, kecuali curah hujan turun menjadi 371,8 mm. Dalam
mangsa ini, kendati mendung dan kilat, manusia tidak diliputi rasa takut,
karena kehendaknya menyegar bersama turunnya hujan yang dahsyat. Hujan yang
menyapu segala kekeringan. Hujan yang menabungkan air bila kelak bumi dilanda
kekeringan.
Lalu garengpung mulai berbunyi di mana-mana. Suara mereka
keras, seakan menyanyikan apa yang hendak dikatakan oleh alam. Memang pada saat
ini, kulit manusia menjadi peka terhadap penyakit. Tapi kekhawatiran itu tak
terbandingkan dengan gairah yang ada di ujung musim penghujan. Begitulah
keadaan mangsa kasanga (1 Maret sampai 25 Maret), yang wataknya adalah wedare
wacana mulya, keluarnya sabda mulya. Kondisi meteorologis sama dengan mangsa
sebelummya, hanya curah hujan menurun lagi jadi 252,5 mm.
Dengan habisnya mangsa kasanga, berakhir sudah satuan mangsa
rendheng. Alam pun memasuki satuan mangsa terakhir dalam setahun, yaitu mangsa
mareng, yang dibagi dalam mangsa kasapuluh, destha dan sada. Mangsa kasapuluh
(26 Maret sampai 18 April) ini ditandai dengan awal perkembangbiakan.
Burung-burung mulai bertelur. Kendati demikian, mangsa ini serasa menyimpan
antisipasi yang sedikit muram, mungkin karena tak lama kemudian akan datang
musim kemarau yang penuh dengan kekeringan. Karena itu di mangsa ini, orang
merasa gampang lesu dan pusing-pusing. Itulah mangsa kasapuluh, yang wataknya
adalah gedong minep jroning kalbu, gedung tertutup dalam hati. Kondisi
meterologis mangsa ini adalah sinara matahari 60%, lengas udara 74%, curah
hujan 181,6 mm, dan shu udara 27,8 derajat Celcius.
Akhirnya burung-burung pun mulai menetas. Alam menunjukkan
daya ciptanya lagi. Kesuburan seakan diasah kembali, kendati kemarau sudah di
ambang mata. Itulah saat ketika alam sedang masuk ke dalam mangsa destha (19
April sampai dengan 11 Mei), yang wataknya adalah sotya sinarawedi, intan yang
diasah. Kondisi meterologis sama dengan di atas, kecuali curah hujan menurun
jadi 129,1 mm.
Hujan pun mulai sungguh habis. Maka masuklah alam ke dalam
mangsa sada (12 Mei sampai dengan 21 Juni), yang wataknya adalah tirta sah
saking sasana, air lenyap dari tempatnya. Kondisi meteorologis masih sama
dengan sebelumnya, hanya curah hujan naik lagi menjadi 149,2 mm. Inilah saat,
di mana kemarau mulai tiba. Dan manusia pun bersiap untuk memasuki satuan
mangsa katiga, mangsa yang mengawali peredaran siklus dalam setiap tahunnya.
Begitulah kurang lebih sketsa watak-watak mangsa. Penyertaan
kondisi metereologis yang dicantumkan oleh Daldjoeni kiranya memberi kita
pengetahuan, bahwa watak-watak mangsa itu berkaitan dengan kondisi
empiris-metereologis yang nyata.
Pengetahuan dan kebijaksanaan alam
Dari paparan di atas tampak, bahwa pranatamangsa menyimpan
pengalaman manusia dalam bergaul dengan tantangan dan berkah alam.
Pranatamangsa juga merupakan abstraksi dan refleksi manusia tentang pengalaman
hidupnya dengan alam. Dengan refleksinya itu, manusia belajar bagaimana
selanjutnya menyiasati sikap dan tindakannya terhadap alam.
Dalam pranatamangsa juga amat tampak, betapa petani Jawa
sangat akrab dengan alam. Bagi petani Jawa, alam bukanlah lawan yang harus
ditaklukkan, melainkan teman yang dicintai. Karena keakrabannya itu, petani
Jawa mengenal segala watak dan perilaku alam. Watak dan perilaku tersebut
diterima dan dirumuskan dengan bahasa yang demikian manusiawi.
Dari bahasa tersebut alam terbaca sebagai kehidupan yang tak
ubahnya seperti kehidupan manusia sendiri. Dari pranatamangsa juga terbaca,
bagaimana alam menjadi teman di mana manusia menumpahkan harapannya, tapi juga
mengungkapkan keputusasaannya. Apa yang menjadi kegembiraan manusia, juga
menjadi kegembiraan alam. Dan apa yang menjadi kesedihannya, juga menjadi
kesedihan alam. Atau sebaliknya: Jika alam bergembira, manusia pun bergembira.
Sebaliknya, jika alam berada dalam kesedihan dan kekeringannya, manusia pun
ikut dalam kesedihan dan kekeringannya.
Tak ada yang permanen dalam alam. Alam selalu bergerak dalam
siklusnya. Dan manusia dengan rela begerak dalam siklus itu, jatuh dan bangun
dalam kegembiraan dan kesedihan alam, berputusasa dan berharapan dalam
kekeringan dan kelimpahan alam. Misalnya, pada mangsa kawolu, yang dimulai
sekitar awal Februari sampai awal Maret. Saat ini ditandai dengan guntur yang
bersahut-sahutan. Suasana terasa sedih, walau alam sedang diguyur kesegaran
hujan.
Karena itu mangsa ini juga disebut mangsa paceklik
rendhengan. Wataknya “anjrah jroning kayun” juga disebut pula cantika, yang
artinya terhenti segala pikiran, perasaan dan kehendak. Dalam suasana yang
pasif-pasrah ini, bila malam tiba, muncullah di langit bintang wulanjar ngirim,
yang mengisyaratkan arti tentang janda muda yang belum beranak sedang mengantar
kiriman makanan ke sawah. Suasana alam dengan segala metaforanya yang di satu
pihak sedih tapi di lain pihak gembira ini membuat petani terangsang untuk
bangkit dari kelesuannya dan menggali kembali harapannya (Lih. Daldjoeni: Ibid.
hlm. 25).
Mangsa kawolu, berserta mangsa kasanga dan kasapuluh itu,
panjangnya kurang lebih 75 hari, mulai 3 Februari sampai 19 April. Mangsa ini
juga disebut mangsa pangarep-arep, mangsa harapan. Dengan istilah ini hendak
diisyaratkan, kendati dirundung sedih karena mangsa paceklik rendhengan yang
memang kelabu dan lesu, petani juga mempunyai harapan bahwa mereka akan segera
bangkit dari kesedihannya bersama alam. Dan harapan itu bukan khayalan, karena
pada waktu itu terlihat padi-padi telah menguning.
Toh ketika harapan ini benar-benar menjadi kenyataan, mereka
tetap diingatkan untuk waspada dan berjaga-jaga sampai berakhirnya mangsa
kasapuluh. Sikap waspada dan berjaga-jaga itu perlu, agar nanti panenan mereka
berhasil. Kewaspadaan itu adalah tuntutan dari kesabaran, yang harus mereka
tanggung ketika mereka sedang menunggu datangnya mangsa dhesta, mangsa panen.
Mereka disabarkan oleh alam, karena sebentar lagi alam akan memasuki mangsa
dhesta, mangsa panen, yang terjadi pada awal April.
Terlihat juga dengan pranatamangsa ini, manusia dibantu
untuk ikut prihatin dan berharap bersama siklus alam, yang memang secara
teratur berjalan dalam kekurangan dan kelimpahannya, kering dan segarnya,
kemarau dan hujannya. Ini tentu membantu petani untuk merancang kehidupan
ekonominya. Dengan patokan pranatamangsa itu, mereka akan dibantu bagaimana
berhemat dan berprihatin ketika alam berada dalam kekurangannya, dan bagaimana
mereka boleh bergembira dan berpesta ketika alam mengantar mereka masuk dalam
kelimpahannya.
Pranatamangsa memberi petani pegangan, bagaimana mereka
mengatur ekonominya dengan menjalin keputusasaan dan harapan, yang tak dapat
dipisahkan dari situasi alam, yang memang harus berjalan dari kekurangan menuju
kelimpahan, dari kekeringan menuju kesuburan, dari paceklik menuju panenan.
Penyesuaian diri dengan alam dengan demikian membuat manusia pandai mengolah
kekurangannya, dan kuat dalam menanggung harapannya, karena mereka selalu
menyimpan harapan yang tak lain adalah berkah kelimpahan alam sendiri.
Pedoman untuk mengolah tanaman
Sementara pranatamangsa juga bisa berfungsi sebagai pedoman
bagi petani untuk mengolah tanamannya. Pada mangsa kasa (I), ketika daun-daun
kelihatan berguguran, dan belalang mulai bertelur, petani mulai menanam palawija.
Pada mangsa karo, ketika tanah-tanah merekah, dan pohon-pohon mangga serta
kapuk mulai berbuah, petani mulai mengairi sawah dan tanaman palawijanya. Pada
mangsa katiga, pohon-pohon bambu, gadung, temu dan kunyit subur bertumbuh. Pada
saat inilah orang mulai memetik tanaman palawijanya.
Pada mangsa kapat, pohon-pohon kapuk sedang berlimpah dengan
buahnya. Burung pipit dan burung manyar membuat sarangnya. Inilah masa petani
mulai bersiap-siap untuk mengolah sawahnya. Dan dengan datangnya mangsa kalima,
mereka pun giat membajak dan mencangkuli sawahnya. Berbarengan dengan itu,
pohon-pohon asam sedang rimbun dengan daun mudanya. Kunyit dan gadung pun mulai
berdaun. Hujan mulai deras, dan ulat-ulat keluar.
Pada mangsa kanem, ketika pohon-pohon mangga dan rambutan
sedang masak berbuat, dan di parit-parit banyak terlihat binatang lipasan, para
petani merawat dan membersihkan sawahnya. Dan pada mangsa kapitu, bersama-sama
dengan derasnya air karena hujan yang turun menderas, petani mulai menanam padi
di sawah-sawah mereka.
Pada mangsa kawolu, tanaman padi kelihatan tumbuh meninggi,
dan di sana
sini kelihatan pula buliur-bulirnya. Petani segera bersiap untuk menyianginya.
Dan datanglah mangsa kasanga. Inilah saatnya bulir-bulir padi menjadi masak,
bersama merdunya suara cenkerik dan cenggaret. Padi-padi benar-benar menjadi
tua, dengan datangnya mangsa kasapuluh, yang ditandai dengan kegiatan
burung-burung yang terbang ke sana
kemari untuk membuat sarangnya. Dan ketika burung-burung sedang mengerami
telurnya, petani memanen padi di sawah-sawah.
Itulah yang terjadi sampai datangnya mangsa dhesta dan sada,
masa ke sebelas dan dua belas. Waktu itu padi-padi dipotong, dan petani
menyiapkan diri lagi untuk menghadapi datangnya mangsa katiga, yang kering dan
sulit.
Tampak dari dinamika ini suatu proses, yang titik
berangkatnya adalah masa yang sulit, dan tujuan akhirnya adalah masa yang segar
dan penuh berkah panenan. Jelasnya, petani menandai penanggalan alamnya bukan
dengan dimulainya masa yang subur, tapi dengan masa yang sulit dan kering
(mangsa kasa, karo dan katelu, yang merupakan satuan mangsa katiga). Lalu dari sana mereka beranjar
menyongsong masa yang subur dan bahagia, yakni masa kasapuluh, dhesta dan sada,
yang kaya raya dengan panenan padi.
Dari sana
tampak mentalitas, kejiwaan dan pandangan hidup petani: Mereka seperti alam,
yang pelahan-lahan bekembang, mulai dari tunasnya sampai pada buahnya, mulai
dari kelahirannya sampai kepada kedewasaan dan kematangannya. Dan uniknya, itu
tidak berarti bahwa harapan mereka baru terpenuhi di ujung nanti.
Seperti tampak dalam paparan di atas, harapan itu sudah
terkandung dalam setiap masa. Sebab dalam masa yang paling peceklik pun mereka
tetap mempunyai harapan. Itu karena sekali lagi, mereka mengiramakan diri dalam
siklus alam. Tak mungkin alam hanya berisi kekeringan. Dan situasi yang paling
kering sekali pun, alam sudah menyimpan dalam dirinya kesuburan.
Dinamika alam ini tidak pernah membohongi petani. Suatu saat
nanti, alam pasti akan memberikan berkahnya, setelah semua proses pertumbuhan
dilalui. Ini tentu membuat petani mampu bertahan dalam segala kesulitannya:
Bersama alam, mereka bertahan dalam harapan.
Begitulah, buat petani alam bukanlah sekadar tanah atau
barang mati yang harus diolah. Alam adalah kehidupan, seperti manusia sendiri
juga kehidupan. Dari keyakinan ini, kita bisa mengerti, mengapa pranatamangsa
juga percaya, bahwa setiap mangsa mempunyai dewa dan lambang kehidupannya
sendiri-sendiri.
Maka mangsa kasa mempunyai dewa Wisnu, dan binatangnya adalah
domba. Dewa mangsa karo adalah Dewa Sambu, dengan binatangnya banteng. Mangsa
katelu dilindungi oleh Dewa Rudra dengan lambang kehidupan sebuah tanaman yang
sedang mulai tumbuh dan bertunas. Mangsa kapat berdewa Dewa Yomo dan
binatangnya kepiting. Dewi Metri adalah dewa mangsa kalima, binatangnya singa.
Mangsa kanem berdewa Naya, dan lambang hidupnya adalah seorang perempuan
bernama Roro Kenya.
Mangsa kapitu mempunyai Dewa Sanghyang yang disertai lambang
neraca keseimbangan. Dewa Durma adalah pelindung mangsa kawolu, yang
binatangnya kelabang. Mangsa kasanga dilindungi Dewa Wasana, yang ditemani
burung garuda. Dan Dewa Basuki adalah dewa mangsa kasapuluh, dan binatangnya
adalah kambing. Dewa Prajapati adalah dewa mangsa dhesta, yang disertai lambang
kehidupan air yang tertumpah. Lalu Dewa Gana adalah dewa mangsa sada, yang
binatangnya adalah mina atau atau ikan.
Dewa-dewa ini kiranya berfungsi sebagai penjaga dan
pelindung masing-masing mangsa. Itu menunjukkan, bahwa masing-masing mangsa
mempunyai kekuasaan, wewenang dan kekuatannya sendiri. Dan tentu saja,
dewa-dewa penjaga atau pelindung itu adalah tanda, bahwa setiap mangsa adalah
kehidupan, kekuasaan dan wewenang yang tak dapat begitu saja disingkirkan atau
disepelekan.
Dari paparan di atas, kiranya kita boleh menarik beberapa
kesimpulan ini. Jelas, dalam pranatamangsa tercermin alam pikiran agraris para
petani Jawa. Dengan pranatamangsa, petani mencoba menyesuaikan diri dengan
irama alam yang abadi, sehingga terjadilah kelerasan antara kosmos dan manusia.
Seperti dikatakan oleh Daldjoeni, “Dalam kebijaksanaan kosmologis sebenarnya
terletak rahasia dan kekuatan menderita manusia” (Ibid. hlm. 32).
Memang, dengan menyelaraskan diri pada alam, petani terbukti
telah memungut demikian banyak berkah yang diberikan oleh alam. Jika mereka
harus menderita, mereka tidak menderita sendiri. Alam menemani mereka dalam
penderitaan. Dan jika demikian, dalam penderitaan itu tersimpan janji
perubahan, sebab alam sendiri selalu beranjak menuju perubahan. Tak selamanya orang
berada dalam musim kering, artinya suatu saat orang pasti akan menikmati
kesegaran dan berlimpahnya hujan. Tak selamanya orang menjadi kecil dan kerdil:
Seperti pohon, mereka pun akan tumbuh menjadi besar, jika mangsanya telah tiba.
Spritualitas bumi
Pranatamangsa kiranya memperlihatkan suatu kekayaan, yang
dalam khazanah ekologi disebut sebagai the spirituality of the earth,
spiritualitas bumi. Spriritualitas bumi adalah spritualitas yang arahnya adalah
penghomatan dan apresiasi pada bumi dan alam tempat manusia hidup dan berada
(Bdk. Thomas Berry: The Sprituality of the Earth, dlm.: Charles Birch/William
Eakin/Jay B. McDaniel (eds.): Liberating Life, Contemporary Approaches To
Ecological Theology, Maryknoll, 1990, hlm. 151-158).
Seperti terlihat dalam pranatamangsa, di sini bumi tidak
diperlakukan sebagai obyek, tapi sebagai subyek. Bumi bahkan dianggap sebagai
pertiwi atau ibu, yang melahirkan manusia dan memberikan apa yang kita butuhkan
sehingga kita dapat berada seperti sekarang dan mempunyai apa yang kita miliki
sekarang. Pranatamangsa juga menunjukkan, bahwa dalam totalitasnya, manusia tak
bisa dilepaskan dari bumi. Menjadi manusia adalah membumi, meng-alam. Karena
itu manusia harus mengenal segala daya dan kekuatan alam, termasuk peredarannya
yang berjalan dari musim ke musim.
Pranatamangsa jelas menunjukkan, bahwa bumi atau alam adalah
tempat manusia berasal. Lalu alam juga ibu yang memberi makan, mendukung,
menuntun dan menunjukkan jalan pada manusia. Dengan amat tajam, pranatamangsa
menunjukkan radikalitas dari spiritualitas bumi, yakni jika memang manusia tak
mempunyai spiritualitas bumi, maka ia tidak mempunyai spritualitas seluruhnya.
Dengan kata lain, kaitannya dengan bumilah yang membuat ia menjadi manusia yang
mempunyai spirutalitas. Ini adalah suatu pengakuan pula, bahwa bukannya bumi
yang tidak mempunyai spiritualitas, melainkan manusialah yang tidak memahami
spiritualitas bumi, sampai ia kemudian berpendapat bahwa bumi memang tidak
mempunyai spiritualitas.
Pranatamangsa memperlihatkan, betapa petani Jawa diperkaya
dalam hidupnya, karena mereka mau dan berani hidup dari spiritualitas bumi.
Mereka menangkap segala pratanda yang diberikan oleh bumi dan alam. Mereka juga
masuk ke dalam bumi dalam kesedihan dan kegembiraannya, kekurangan dan
kelimpahannya, kekeringan dan kesegarannya. Mereka bersukacita bersama bumi,
tapi juga menangis bersama bumi. Karena itu, pranatamangsa juga membahasakan
segala perilaku bumi dan alam dalam bahasa manusia.
Ini tentu makin mempererat hubungan antara manusia dan bumi:
manusia dan bumi tak saling mengasingkan, tapi saling memberi. Dalam
spirtualitas inilah terletak rahasia mengapa petani Jawa dapat terus
mempertahankan hidupnya, kendati segala kesulitan yang mereka derita. Bumi
telah menjadi bagian dari kerohanian mereka, sehingga bumi menopang hidup
mereka yang lahiriah pula. Kerohanian bumilah kekuatan tersembunyi yang berada
di dalam lubuk terdalam hati petani Jawa.
Sayang spirittualitas macam ini tak mempunyai masa depan.
Malahan dengan kemajuan teknologi pertanian, spritualitas itu digilas
pelan-pelan. Memang pranatamangsa hampir tak meninggalkan bekasnya dalam diri
petani Jawa dalam menjalankan pertaniannya dewasa ini. Mereka tak paham lagi
tentang peredaran dan perjalanan musim berserta watak-wataknya. Mereka tak
mengenal lagi bahasa-bahasa pranatamangsa.
Ini tentu bukan salah mereka. Soalnya adalah pranatamangsa
sendiri diam-diam telah menghilang, ketika zaman digerakkan oleh kemajuan dan
kemodernan. Lebih celaka lagi, pranatamangsa itu hanya akan tinggal sebagai
fosil, jika kita menyimakkan dari kacamata perubahan iklim seperti yang akan
kita lihat di bawah ini.
Ancaman terhadap umat manusia
Sudah menjadi wacana umum, bahwa perubahan iklim adalah
tanda bahaya yang mengancam manusia di abad global ini. Sejak Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) mengeluarkan publikasinya yang ke empat di tahun
2007, tak diperdebatkan lagi bahwa perubahan iklim yang terkait dengan ulah
manusia itu sungguh terjadi dan menjadi ancaman serius bagi umat manusia. Yang
masih diperdebatkan adalah cara-cara bagaimana menanggulangi bahaya itu (Uraian
ini diambil dari Johannes Muller SJ: Klimawandel als ethische Herausforderung,
Perspektiven einer gerechten und nachhaltigen Globalisierung, dlm.: Stimmen der
Zeit 6 (2008), hlm. 391-405).
Masalah penanggulangan bahaya akibat perubahan iklim
tersebut selalu menjadi tema pokok dalam konperensi politik dunia, mulai dari
sidang OECD di Heiligendam, disusul oleh pertemuan puncak tentang masalah iklim
yang diselenggarakan PBB di New York, sampai konferensi antar negara yang
membicarakan soal iklim Desember tahun 2007 lalu di Bali.
Berdasar laporan IPCC, dalam seratus tahun terakhir ini
panas iklim global meningkat 0,74 derajat Celcius. Diakui, manusia dengan ulah
dan aktivitasnya adalah faktor yang paling bertanggungjawab atas makin
memanasnya iklim tersebut. Iklim memanas karena emisi yang diakibatkan efek
gas-gas rumah kaca, terutama CO2. Sekitar 60% peningkatan CO2 adalah efek dari
penggunaan bahan-bahan bakar fosil, batu bara, minyak bumi, dan gas bumi. Lalu
berikutnya 20% peningkatan CO2 itu disebabkan karena pemanfaatan lahan yang
membabibita, lebih-lebih dengan penebangan pohon-pohon yang selama ini menjadi
kekayaan rimba raya.
Jadi peningkatan itu adalah akibat dari penggunaan enersi.
Dilihat secara historis, negara-negara industri bertanggungjawab atas hampir
80% dari peningkatan CO2 tersebut. Sementara negara yang sedang berkembang
pesat, terutama Cina, juga ikut bertanggungjawab atas masalah tersebut.
Diperkirakan suhu rata-rata bumi di abad ke 21 akan naik
sekitar 1,1 sampai 6,4 derajat Celcius. Skenario penelitian iklim yang lebih
moderat memperkirakan kenaikan itu sekitar 1,4 sampai 4,4 derajat Celcius.
Bahkan seandainya semua emisi CO2 dapat segera dihentikan, suhu udara tetap
naik sekitar 1 derajat Celcius, karena sistim iklim bereaksi hanya dengan
sangat lambat, juga terhadap upaya penurunan apa pun.
Sekadar perbandingan, pernah terjadi pemanasan di sekitar 5
derajat Celcius, yakni di sekitar 15000 tahun sebelum akhir dari zaman es. Tapi
itu terjadi dalam kurun waktu yang sangat panjang, sekitar 5000 tahun. Sekarang
menurut konsensus yang diterima luas, suhu udara jangan sampai naik 2 derajat
Celcius melampaui marka pembatas yang dipatok pada zaman pra industri, jika
memang manusia tidak ingin beresiko dengan pemanasan bumi yang demikian
berbahaya dan nyaris tak dapat ditanggulangi itu. Target ini memang amat
ambisius. Namun kalau manusia mau, target itu bukannya tak dapat dicapai.
Perubahan iklim itu adalah akibat dari model peradaban dan
ekonomi yang diciptakan oleh manusia sendiri. Dan bersamaan dengan itu, juga
karena pola kesejahteraan yang terus bertumbuh. Namun itu semuanya ternyata
hanya berkenaan dengan sebagian kecil manusia, tepatnya manusia dari negara-negara
kaya. Institut penelitian iklim Postdam (PIK) memperjelas hal tersebut dengan
membuat peta yang memaparkan adanya korelasi ini: Makin kaya suatu negara,
makin tinggi emisi CO2-nya.
Jelas, dengan demikian negara-negara kaya adalah kelompok yang
paling bertanggungjawab atas makin membubungnya emisi CO2 yang mengakibatkan
naiknya panas bumi itu. Maka orang berkata: Bahaya pemanasan bumi ini adalah
hutang bahan bakar dari negara-negara kaya.
Memang globalisasi telah mempercepat model peradaban dan
ekonomi yang mengandung bahaya pemanasan bumi itu ke seluruh dunia. Repotnya,
makin banyak negara-negara mengikuti pola tersebut. Akibatnya, tuntutan
terhadap penggunaan enersi makin meninggi, dan dengan itu juga makin tingginya
emsi CO2. Perlombaan ini tentu memakan korban. Dan korbannya terutama adalah
mereka yang paling miskin, yang merupakan 20% dari penduduk dunia. Mereka ini
tersisihkan dari proses kesejahteraan, dan makin lama makin jelek keadaannya.
Akibat dari pemanasan global ini adalah: penyusutan gletser,
pencairan dataran-dataran yang selama ini beku, melelehnya gunung-gunung es,
meningkatnya panas cuaca secara ekstrem, dan naiknya permukaan laut, dan
berkurangnya secara massif bio-diversity.
Pemanasan ini juga mempunyai akibat sosial: kekurangan air,
menyebarnya wabah penyakit, pengungsian dan eksodus besar-besaran karena
perubahan iklim, entah secara temporer entah secara permanen. Secara politis,
perubahan ini juga akan mengakibatkan resiko stabilitas.
Jika korban-korban dipetakan, maka negara miskinlah yang
paling vulnerable terhadap pemanasan global itu. Dan jika orang bicara tentang
vulnerabilitas dalam kaitan dengan perubahan iklim, dua aspek ini harus
diperhatikan.
Pertama, ternyata ada daerah-daerah, yang dalam dirinya
telah membawa kerawanan karena perubahan iklim. Daerah itu umumnya dihuni oleh
kaum miskin. Daerah tersebut biasa menjadi langganan badai dan topan, banjir
dan kekeringan. Meningkatnya temperatur di daerah-daerah yang tinggi kelembaban
udaranya plus segala akibatnya, seperti misalnya naiknya permukaan laut, pasti
menghantam kaum miskin tersebut, misalnya mereka yang menghuni permukiman kumuh
di pantai atau mereka yang hidup di lereng-lereng yang rawan tanah longsor.
Karena pemanasan global itu, orang juga akan makin sulit
untuk mencukupi kebutuhan dasarnya, dan demikian juga akan makin memperbesar
kemiskinan. Secara global diramalkan, sampai tahun 2050 memang persediaan air
minum lumayan meningkat. Namun peningkatan ini hanya berlaku bagi daerah-daerah
yang telah kaya air dan beberapa daerah tropis yang lembab. Namun sebaliknya
akan terus berkurang endapan air bersih di daerah kering, yang sampai sekarang
sudah menderita kekurangan air. Masih lagi daerah-daerah ini akan diancam oleh
kekeringan, banjir dan air bah.
Itu semua akan mengakibatkan kerugian bagi usaha pertanian
mereka dan tentu saja ini juga akan membuat mereka menderita kekurangan pangan.
Ancaman ini lebih-lebih akan mengenai penduduk yang menghuni daerah-daerah
tropis dan sub tropis, yang sekarang pun sudah menjadi langganan bahaya
kelaparan dan kekurangan gizi.
Kedua, vulnerabilitas itu kemudian mengenai aspek sosial.
Jelas, menghadapi perubahan iklim ini, negara-negara kaya dan manusianya akan
jauh lebih siap dan mampu, karena mereka jauh lebih mempunyai kemungkinan dan
kapasitas untuk menghadapinya. Sebaliknya negara-negara miskin dan manusianya
hampir tak mempunyai kemungkinan kapasitas tersebut.
Misalnya, kaum miskin nyaris tidak mempunyai perlindungan
untuk keselamatan diri. Maklum, kemiskinan langsung juga berarti
kertersingkiran sosial. Kaum miskin tak mempunyai akses pada kebutuhan dasar,
seperti kesehatan dan pendidikan. Mereka juga tak mempunyai jalur yang menjamin
mereka untuk menikmati kepastian hukum, hak berpolitik dan kebebasan berbudaya.
Dalam masa krisis, kurangnya pengetahuan, lemahnya potensi
diri dan terlengarnya hak dalam berpolitik, akan membuat mereka tak dapat
memperjuangkan kepentingannya. Mereka tak mempunyai kemungkinan untuk
menyesuaikan diri atau menghadapi kondisi di luar diri mereka yang tiba-tiba
berubah. Ambillah contoh, betapa sekarang saja mereka sama sekali tidak siap
menghadapi naiknya harga-harga, akibat kenaikan harga bahan bakar yang drastis.
Orang-orang miskin itu menjadi makin menderita karena perubahan tersebut.
Bisa dibayangkan, di masa depan, jika krisis iklim terjadi,
dan perubahan-perubahan datang tanpa terkira, kaum miskin ini pasti akan makin
menderita. Dan seperti sudah ditunjukkan, penderitaan mereka akibat perubahan
iklim itu tidak hanya menyangkut aspek eknomi dan material, tapi juga aspek
budaya dan sosial.
Nasib pranatamangsa
Di masa depan, budaya pranatamangsa pasti merupakan salah
satu titik atau lokasi dalam peta bahaya pemanasan global di atas. Jelasnya,
pemanasan global pasti meniadakan budaya pranatamangsa itu. Apalagi, tak usah
kita menunggu datangnya bencana dahsyat itu, sekarang pun budaya pranatamangsa
hampir tak mempunyai jejak dan bekasnya lagi dalam kehidupan petani Jawa.
Memang karena modernitas dengan segala akibatnya, baik yang
positif maupun yang negatif, budaya pranatamangsa ini sedang dalam keadaan
pudar. Apalagi nanti, jika perubahan iklim betul-betul terjadi, bisa jadi
budaya pranatamangsa akan sirna sama sekali. Itu berarti, modernitas yang ikut
menyebabkan terjadinya perubahan iklim, melenyapkan suatu kekayaan budaya yang
telah demikian lama menghidupi dan menuntun petani Jawa dalam mengolah tanah
dan pertaniannya.
Mungkin hal tersebut merupakan konsekuensi yang tak
terhindarkan bagi kita yang mau tak mau harus ikut dalam modernitas, terutama
modernitas ekonomi. Namun betapa pun, hilangnya salah satu kekayaan budaya itu
adalah tragedi bagi suatu kelompok yang telah terbiasa hidup dalam budaya
tersebut.
Janganlah tragedi itu dibayangkan secara abstrak. Dengan
kata lain, bayangkan tragedi itu dengan konkret. Pemanasan global mau tak mau
akan memorakporandakan tatanan dan sistem alam yang sampai sekarang diketahui
dan dihidupi petani Jawa. Akibatnya mereka juga tak dapat lagi berpedoman pada
gejala-gejala alam yang telah demikian lama menjadi tuntunan bagi hidup sosial
dan ekonomi mereka.
Masihkah palawija bida ditanam di mangsa kasa, atau masihkah
pohon kapuk dan mangga mengeluarkan daun-daunnya yang muda di mangsa karo, bila
ancaman perubahan iklim itu benar-benar datang menghampiri kita? Masihkah pohon
gadung, temu dan kunyit ngrembuyung di mangsa katiga yang sudah panas itu, bila
nanti tiba saatnya alam menjadi makin panas karena perubahan iklim itu.
Mungkin, nanti kita tak lagi bisa melihat burung pipit dan
manyar membuat sarangnya, karena burung-burung itu sudah tak tahan lagi didera
kepanasan. Jika demikian, mungkin kita tak punya patokan lagi untuk mengetahui,
bahwa sesungguhnya kita sedang berada di mangsa kapat, masa di mana airmata
tertahan di dalam kalbu, masa yang sedih tapi penuh harapan karena sebentar
lagi kemarau panjang akan berakhir, dan kita menyongsong datangnya mangsa
kapat, di mana hujan akan turun bagaikan pancuran mas sumawur ing jagad.
Pranatamangsa adalah ilmu budaya, yang mengajarkan bahwa
kondisi-kondisi kejiwaan manusia kadang bertalian dengan sangat erat dengan
unsur-unsur iklim di sekitarnya. Orang segera tahu, jika ia lesu, itu karena ia
bersama alam sedang dalam mangsa kasapuluh. Atau jika ia mudah marah, karena ia
sedang dipengaruhi suasana alam yang memang sedang berada di mangsa katelu.
Jika gejala alam-alam mangsa kasapuluh dan katelu itu tak tampak lagi, orang
mungkin tak tahu sama sekali, mengapa ia tiba-tiba berperilaku mudah lesu, atau
mudah marah.
Pranatamangsa juga merupakan semacam ajaran tentang
pengharapan. Di mangsa semplah, manusia memang dilanda putusasa, karena alam
seakan tidak memberi rejeki padanya. Toh di sana manusia bertahan, karena begitu masa
putus asa itu berlalu, datanglah mangsa pangarep-arep, yang akan memberi
padanya kesejahteraan berlimpah-limpah. Pegangan untuk berharap ini mungkin
akan tiada lagi, ketika pemanasan global terjadi dan menghancurkan perjalanan
musim, yang selama ini ditangkap oleh petani sebagai perjalanan harapan
manusia.
Pranatamangsa adalah spiritualitas bumi yang radikal. Karena
mempunyai spiritualitas ini, maka petani Jawa mempunyai kerohanian yang sekuat
dan semurah bumi pula. Dalam spirituliatas inilah tersimpan rahasia, mengapa
mereka yakin akan kepercayaan: Ana dina ana upo, ada hari ada nasi.
Dengan spiritualitasnya itu, mereka yakin, setiap hari
mereka pasti akan memperoleh rejeki, juga jika mereka berada dalam keadaan yang
paling sulit sekalipun. Itu disebabkan karena spritualitas bumi hidup dengan
kuat di dalam mereka, hingga mereka tak pernah ragu, bahwa mereka akan selalu
bisa hidup, bertahan dan kaya rejeki, seperti bumi yang hidup, kuat dan
berkuasa memberi rejeki. Spiritualitas ini mungkin akan hilang, ketika mereka
tak lagi dapat merasakan kecintaan bumi dalam diri mereka, karena di luar bumi
sudah dirusak oleh pemanasan global.
Siapa memeluk spiritualitas bumi, dia akan mempunyai
spiritualitas yang otentik dan kuat. Karena di sanalah manusia mengalami bahwa
bumi menjadi ibu, penopang dan penuntun bagi hidupnya. Ketika pranatamangsa
hilang, karena alam dirusak oleh pemanasan global, spiritualitas itu nanti
mungkin akan sirna sama sekali. Begitulah, ketika pemanasan global nanti
betul-betul terjadi, betapa hidup kita menjadi tragis dan tak berarti lagi:
Sebab kita kehilangan spiritualitas yang selama ini kita pelajari dari budaya
pranatamangsa.
(Tulisan dari buku “Ana Dina
Ana Upa”, Penerbit Bentara Budaya, 2008)
dikutip dari: http://kronik.wordpress.com/2008/09/08/pranatamangsa-sebuah-budaya-yang-terancam-musnah