Kompas, Minggu 21 Juli 2013
“Bundo kanduang”
disebut sebagai penerus keturunan, pewaris harta pusaka, penjaga kesejahteraan
dalam masyarakat, dan pemegang kedaulatan utama. Raudha Thaib berusaha
menghidupi pepatah itu sekaligus merawat budaya Minang.
”Bundo
kanduang limpapeh rumah nan gadang, sumarak dalam nagari, hiasan dalam
kampuang, umbun puro pegangan kunci.”
Kompas
berjumpa dengan Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Yang Dipertuan Gadih
Pagaruyung atau Raudha, di rumah milik kaumnya di Tanah Datar, Sumatera Barat.
Tepat di “halaman” rumah itu berdiri simbol Kerajaan Pagaruyung, lstana Si
Lindung Bulan dengan gonjong menusuk langit. Sekalipun pembangunan kembali istana yang
terbakar tiga tahun lalu itu belum tuntas, tetap terasa kebesarannya.
Kerajaan
Pagaruyung berdiri pada abad ke-14 meliputi wilayah Provinsi Sumatera Barat dan
sekitarnya. Terdapat pula 75 wilayah kerajaan yang mengakui kedaulatan
Pagaruyung, baik di Nusantara maupun luar negeri, seperti Malaysia, Filipina,
Brunei, dan Thailand. Raudha adalah ahli waris kerajaan la keturunan ke-33.
Raudha yang
lahir sebagai perempuan semakin istimewa. Dalam sistem kekerabatan matrilineal
masyarakat Minangkabau, garis keturunan dan pewarisan rumah pusaka serta tanah
kaum jatuh kepada perempuan. Dalam sistem itulah melekat peran perempuan
sebagai bundo kanduang. Sosok bundo kanduang melambangkan
kepemimpinan oleh ibu yang penuh wibawa, arif bijaksana, dan suri teladan.
Ketika
ibundanya meninggal tahun 2007, peran bundo kanduang jatuh kepada Raudha.
Seluruh perkara adat dan kaum menjadi tanggung jawabnya. Dengan status sebagai
keturunan raja, peran sebagai bundo kanduang bangsawan Pagaruyung pun disandangnya.
Raudha memegang otoritas tertinggi dalam adat, termasuk memiliki hak veto.
Tanpa persetujuan Raudha, kesepakatan tak dapat dijalankan. Raudha juga
didaulat sebagai pemimpin organisasi Bundo Kanduang Sumatera Barat.
Di luar
peran sebagai bundo kanduang, hari-hari Raudha dipadati dengan tugas
sebagai guru besar bidang pertanian di Universitas Andalas dan kegemarannya
menulis puisi atau esai.
ltulah
Raudha Thaib yang multitugas dengan segunung peran di pundaknya. Di tengah
kesibukannya di bulan Ramadhan, Raudha menjawab berbagai pertanyaan tentang
budaya makan di Sumatera Barat. Bahkan, Raudha ber sedia menunjukkan proses
memasak sebuah sajian tradisi Tanah Datar yang tak akan dapat kami temui di rumah-rumah
makan Minang.
Mengayomi,
memotivasi
Raudha yang
sehari-hari tinggal di Kota Padang tak keberatan menempuh perjalanan ke kampung
halamannya di Pagaruyung Tanah Datar, untuk demo memasak itu. Kata Raudha,
sudah biasa bolak-balik Padang-Pagaruyung, bahkan pada tengah malam, untuk
bertemu mulai dari anggota kaum, tokoh nasional, hingga peneliti yang ingin
bertanya seputar adat Minang.
Dan, di
sela menunggu sajian masak di atas tungku, kami berbincang dengannya.
Dalam
masyarakat minang, bundo kanduang memegang peran sentral. Apa saja peran dari
seorang bundo kanduang?
Peran bundo
kanduang itu banyak sekali, mulai dari memotivasi kaum, mengayomi, hingga
mendistribusikan bantuan jika ada keluarga yang tidak mampu. Segala persoalan
kaum dan penyelesaiannya berpulang kepada bundo kanduang. Tanggung jawabnya
berat karena semua berpunca pada perempuan.
Posisi
bundo kanduang dalam kultur Minang?
Dalam
budaya Minang, keputusan tertinggi dipegang perempuan bundo kanduang. lbarat
sebuah perusahaan bisa diandaikan owner-nya perempuan, direkturnya
laki-laki. Kedudukan itu membuat perempuan harus kuat. Di sisi lain, sistem
masyarakat Minang meletakkan posisi perempuan dan laki-laki seimbang, seperti
dua sisi mata uang. Bukan mitra sejajar yang tidak pemah bertemu di ujungnya. Bagi
saya, konsep jender dalam budaya Minang seperti tangan kiri dan kanan. Perempuan
dan laki-laki sama pentingnya, yang membedakan hanya fungsinya.
Berburu
celeng, atlet renang
Sebagai
perempuan, pengalaman hidup Raudha tidak dibatasi. Ikut berburu hama celeng di hutan pun
Raudha mendapat izin keluarganya. Raudha menjadi serba bisa. Saat kelas dua
SMP, Raudha tercatat sebagai atlet cabang renang dan atletik (lompat jauh,
lompat tinggi, dan estafet) PON V di Bandung tahun 1961.
Pekerjaan
seperti menjahit bertani, bemain teater, menulis puisi, dan meukis piawai pula
dilakoninya. Ada
satu aktivitas yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh Raudha, menyetir
kendaraan. Sebelum suaminya, Wisran Hadi, berpulang tahun 2011, dia memilih
menyerahkan “tugas” menyetir kepada suaminya. Bukan tak sanggup belajar.
Mengendarai traktor pun Raudha pandai karena kuliah di jurusan pertanian.
Berat
sekali peran bundo kanduang. Apakah sejak kecil telah dipersiapkan?
Pendidikan
terhadap anak perempuan lebih keras sebab dia akan meniadi bundo kanduang
setidaknya di level rumah tangga. Anak perempuan tidak boleh cengeng. Akibat
pendidikan seperti itu, mereka mandiri. Sejak kecil saya juga dididik dengan
keras. Nenek saya selalu bilang, orang senang itu gampang, tetapi menjadi orang
susah itu yang sulit. Ada
istilah bancah-darek. Kita diajarkan bertahan dalam segala keadaan, baik
di tanah basah maupun di darat.
Sekalipun
keturunan raja, Raudha selalu dibawa turun ke sawah sewaktu libur sekolah. Saat
kelas empat SD, Raudha merninta sepetak sawah kecil di dekat rumah kepada
neneknya. Semua pekerjaan, mulai dari menggemburkan tanah, menyebar benih, dan
menanam, dikerjakan Raudha. Rasa ingin tahunya terhadap sulitnya kehidupan
suatu kali membawa Raudha bermain peran sebagai pengemis di pasar.
Kabarnya
sering ke nagari-nagari memberikan ceramah adat dan budaya Minangkabau. Bagaimana
perhatian generasi muda terhadap nilai-nilai budaya Minang?
Sudah
meniadi rahasia umum, banyak anak muda Minang lupa atau tidak mau tahu dengan
adat. Boleh saja menolak nilai yang kita miliki, tetapi setelah dipelajari
dalam-dalam dan dipahami. Kepada perempuan Minang saya sering katakan, bukalah peti
bunian (kotak harta) lalu lihat satu per satu isinya. Jika ada baju yang robek
jahitlah, yang putus benangnya sulamlah. Setelah itu, baru diketahui apakah
milik kita itu bisa dipakai lagi atau tidak. Kita harus kritis, ambil yang
baiknya.
Adakah
kekhawatiran jika merapat ke adat malah menciptakan primordialisme di tengah
keragaman masyarakat?
Kalau
keberagaman budaya diakui, dipahami, dan dimengerti primordialisme serta konflik
tidak akan terjadi. Keneragaman budaya justru memperkuat persatuan karena
budaya itu hakikatnya silaturahim. Namun ketika melihat perbedaan itu hanya dari
kacamata politik yang ujung-ujungnya kekuasaan konflik dan primordialisme
terjadi.
Salah satu
peran besar yang ditekuni Raudha sejak kuliah ialah menjadi penyair.
Puisi-puisinya bertebaran di majalah sastra, media cetak, dan dibukukan tahun
1980-an dan 1990-an. Ketika berkarya, Raudha menggunakan nama pena Upita
Agustina. Belakangan Raudha banyak menulis esai tentang perempuan Minang, Di
belantara sastra Nusantara, namanya bersanding dengan almarhum suaminya, Wisran
Hadi, yang produktif menulis naskah.
Dari sekian banyak peran, apa yang dianggap
sebagai pencapaian tertinggi?
Sebagai
penyair. Saya total sebagai penyair karena menekuninya sejak kecil.
Saat
menjadi penyair, kita melihat dengan kacamata hati selalu mempertanyakan siapa
diri kita dan sampai di mana. Menjadi penyair merupakan pencapaian. Berbeda
dengan peran bundo kanduang yang merupakan tugas adat, tanggung jawab, dan
utang yang harus dibayar.
Sejauh mana latar Minang berkontribusi
dalam karya?
Masa kecil
saya dihabiskan sebagian besar di kampung, di Bumi Minang dan dekat dengan alam.
Pengalaman masa kecil saya sudah puitis. Setiap bulan purnama kami pulang ke
kampung. Di halaman, dikembangkan tikar dan Ayah bercerita tentang bintang-bintang.
Betapa saya menikmati musin panen, bermain lempar-lemparan jerami bau lumpur,
dan harum padi. Itu yang saya tulis tentang Minangkabau, rumah gadang, sungai
yang mengalir, dan perempuan yang perkasa. Saya cenderung berangkat dari masa
lalu. Namun, isinya dikontekskan dengan keadaan hari ini. Saya selalu mempertanyakan
budaya, adat dan sejarah. Itulah yang menggoda saya untuk menulis.
Semua
kegiatan, mulai dari menjadi bundo kanduang, menulis, mendalami ilmu benih,
adakah yang menyatukan itu semua?
Akar saya
sebagai perempuan Minang.
Sekian lama
berbincang, asisten Raudha masuk ruangan memberi kabar bahwa santapan sudah masak.
Percakapan kami dengan Raudha pun ditutup dengan harum makanan mengambang di
udara walaupun belum bisa disantap karena waktu berbuka puasa masih sesaat
lagi.
Oleh:
Indira Permanasari dan Budi Suwarna
Sang
Profesor Benih
Adakah
hubungan peran bundo kanduang dengan gelar profesor benih dalam diri
Raudha Thaib? Keduanya dihubungkan Raudha lewat butiran padi.
“Padi itu
benih dan dengan padi apa pun bisa menjadi,” ujar Raudha. Untuk memuliakan,
orang Minang menjuluki istri dengan sebutan induk bareh (induk beras).
Sebaliknya, dulu dalam ritual tani, orang Minang menyebut padi, mande sayang
(ibu sayang). Ada
yang tidak suka sebutan itu karena mengintepretasikannya sebagai istri subordinat
suami.
“Padahal,
yang dimaksud induk bareh itu adalah induk kehidupan. Bareh itu sumber energi
untuk hidup. Di Minang, perempuan jadi induk kehidupan dan itu tecermin dalam
peran bundo kanduang,” paparnya.
Sebelum
berkuliah bidang pertanian, awalnya Raudha telah diterima di jurusan kimia. Namun,
seorang paman menyarankan Raudha masuk jurusan pertanian karena banyak
masyarakat yang bertani. Dia memilih jurusan teknologi pangan. Seiring waktu
Raudha menemukan keasyikan dalam teknologi benih. Kata Raudha, benih terkait
kehidupan.
“Di dalam benih
ada kehidupan yang kita tidak bisa ciptakan. Melihat benih seperti memandang
kebesaran dan keajaiban Tuhan,” katanya.
Lewat benih
pula, Raudha memahami manusia menjadi khalifah di bumi dengan tugas menyempumakan
dan merawat ciptaan Tuhan. Kata Raudha, kalau benih tidak dipelihara, dia tidak
akan berlanjut. Jika manusia merampas semua untuk kebutuhannya, tanpa
tanggungjawab untuk melestarikan, kelak habislah manusia (INE/BSW)
Bundo
Kanduang
Nama Gelar: Puti Reno
Raudhatuljannah Thaib, Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung
Nama pena: Upita Agustine
Lahir: Pagaruyung, Sumatera Barat, 31 Agustus 1947
Suami: H Wisran Hadi
Anak:
- Sutan Ahmad Riyadh
- Sutan Muhammad
Ridha (almarhum)
- Sutan Muhammad
Thoriq
Pendidikan:
- Sarjana Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang,
1975
- S-2 Agronomi pada
Pascasarjana Universitas Andalas Padang, 1997
- S-3 Agronomi pada
Pascasarjana Universitas Andalas Padang, 2007
Pekerjaan:
- Guru Besar
Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang
pada tahun 2009
- Penyair dan
penulis
Karya:
- Buku Kumpulan
Puisi: Bianglala (1975), Terlupa dari mimpi (1986), Latar (1999), Nyanyian
Anak Cucu (2000)
- Buku Lain:
- Butir-butir
Implementasi Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah
- Carito Niniek
Reno.
- Membuat Denah Pola
Pekarangan Rumah Gadang.
- Palaminan
Mlnangkabau.
- Baju Kurung Basiba
Organisasi:
- Salah satu pendiri
dan pengasuh Bumi Teater Padang.
- Ketua Umum Bundo
Kanduang Sumbar.
- Pendiri dan Ketua
Silek Tuo dan Randai Cindue Mato Istano Si Linduang Bulan.
- Anggota Dewan Riset
Daerah Sumatera Barat
- Anggota Dewan
Pendidikan Daerah Sumatera Barat
Penghargaan:
- Dikaruniai Darjah
Kebesaran Ahli Setia Negeri Sembilan oleh DYMM Tuanku Yang Dipertuan
Besar Negeri Sembilan
Darul Khusus (2008).
- Bintang Emas
sebagai penggiat kebudayaan dari Waiikota Padang (2009)
No comments:
Post a Comment