Kompas, Jumat,
26 Juli 2013
Kampung Lio,
Desa Sirnajaya, Kecamatan Warungkiara, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, bisa
dibilang sebagai desa yang mencoba beralih. Sebagian warganya, terutama yang
berusia
muda, bekerja sebagai penyedla jasa wlsata arung jeram. Namun, Wisnu Hermawan
(31) dan sekelompok kecil warga tetap memilih jalan hidup sebagai petani.
Pada suatu
siang, Wisnu sedang berkumpul bersama tiga petani di sebuah gubuk terbuka yang
sebagian berdinding kayu. Mereka meminum teh dari cangkir bambu dan mengudap
buah pepaya, getuk, serta penganan ringan lainnya.
Di sekeliling gubuk itu tertanam
kangkung dan sawi. Tidak jauh dari petak-petak sayuran itu, terdapat seonggok kompos
dari kotoran hewan dan jerami yang terbungkus plastik. Tumpukan pupuk alami
setinggi hampir 1 meter itu adalah bakal pupuk sebagai nutrisi tanaman mereka.
Wisnu dan kawan-kawan biasa
berbincang soal pertanian dan tentu saja hal remeh-temeh lainnya di gubuk yang
teduh itu. Di dindingnya terpasang papan tulis yang menunjukkan
perkembangan tanaman, seperti usia
tanam bayam dan padi. Ada pula tata cara pertanian alarni
dalam bahasa Inggris. Di salah satu sudut
gubuk tersebut tampak pula poster yang menyerukan pemberdayaan perempuan
petani.
Lahan yang mereka tempati itu sebelumnya
adalah milik Perhutani yang digunakan oleh perkebunan karet PT Sugih Mukti
Perkebunan Halimun. Namun, sejak 1998. hak guna usaha (HGU) lahan seluas lebih
kurang 731 hektar itu telah usai.
Warga sekitar lalu memanfaatkan 380
hektar lahan tersebut, di antaranya untuk bertani dan bercocok tanam berbagai
jenis tanaman. Sisa lahan dipakai pemerintah untuk membangun bebetapa fasilitas,
seperti penjara, sekolah, dan pasar.
“Pola pertaniannya masih menggunakan
penyubur kimiawi. Sepanjang tahun, tanah ini ditanami
terus-menerus tanpa ada masa rehat,”
kata Wisnu.
Akibat pola pertanian seperti itu selama
10 tahun, tanah di kawasan tersebut seolah kelelahan. Kesuburannya berkurang
sehingga hasil panen tidak maksimal. Pada 2008, Serikat Petani Indonesia (SPI)
mendampingi petani Kampung Lio untuk menjaga kelestarian tanah dan menjadi
petani yang berdaulat. Wisnu adalah
salah seorang petani muda yang bergabung di serikat itu.
Saat itu, Wisnu baru coba-coba menjadi
petani. “Sebelumnya, ya, cuma nongkrong sana-sini. Akhirnya saya mencoba
bertani,” kata Wisnu yang tidak menamatkan pendidikan di STM Teknika Cisaat. Sukabumi.
Sebelum mencoba menjadi petani, ia pernah bekerja dengan membengkel, tetapi
merasa tidak cocok dengan pekerjaan itu. “Bengkel bukan bidang saya,” katanya
berdalih.
Pertukaran petani
Bergabung bersama serikat petani, Wisnu
dapat kesempatan ikut pelatihan pertanian di sejumlah kota. Namun, pelatihan
yang paling membanggakannya adalah ikut pertukaran
petani ke Kamataka Bangalore, India,
akhir tahun 2011. “Wisnu cepat memahami materi yang ia dapat di India karena sehari-harinya
memang bertani,” kata Rahmat Hidayat, anggota staf Departemen Penguatan Oganisasi
DPP SPI, yang mendampingi Wisnu ke India.
Dua pekan mengikuti program pertukaran
petani itu membuat Wisnu semakin fasih dengan pola pertanian alami. Ia makin memahami
praktik pertanian alami minim biaya (zero budgeting agriculture). Model bertani
tersebut mengandalkan bahan-bahan alami yang umum ditemui
di sekitar ladang, misalnya kotoran
sapi dan kambing, untuk pupuk.
“Kalau kehabii bahan baku kompos,
kami berkeliling mendatangi pemilik ternak sampai ke kampung tetangga, untuk
meminta kotoran ternak. Setelah terkumpul, baru diproses menjadi kompos di
sini.” Katanya.
Bahan itu dicampur dengan jerami dan
dedaunan kering, ditumpuk selama dua bulan, dan diaduk setiap dua minggu sekali.
Untuk menyuburkan padi, para petani mencampur
pepaya atau pisang dengan air cucian beras, lalu disemprotkan ke bulir padi.
Selain itu, juga menanam pohon ki hujan (Samanea saman) di tepi Kali Ciandak
yang bersebelahan dengan sawah sebagai tanaman pagar. Pohon itu menghasilkan
nitrogen untuk menyuburkan tanah.
Pemakaian bahan alami itu membuat petani
tak perlu begantung pada mekanisme harga pupuk produksi pabrik. Itu adalah
salah satu bentuk kedaulatan mereka. Wujud lain, petani menanam sayur-mayur dan
buah-buraan di sekitar rumah dan sawah mereka.
Masa tanam hingga panen dengan pola
pertanian alami itu sedikit lebih lama dibandingkan dengan cara bertani yang
mengandalkan pupuk kimiawi. Padi, misalnya, baru bisa dipanen
setelah berusia 40 hari atau 10 hari
lebih lama daripada biasanya. Tanaman palawija juga baru bisa dipanen lima
hingga sepuluh hari lebih lama.
Pola pertanian yang ia ajarkan
memicu kontroversi juga. Banyak petani yang seolah sudah “dimanjakan” produk
pabrik. Mereka seperti enggan kembali ke cara bertani kuno.
Dari 731 hektar sisa HGU, petani berusaha
mengambil klaim 380 hektar untuk ditanami. Ada sekitar 1.040 keluarga yang
menyandarkan hidup mereka pada pertanian di lahan itu. Seluas 80 hektar di
antaranya ditanami padi, 200 hektar untuk tanaman singkong, serta sisanya berupa
tanaman palawija dan kacang-kacangan.
Dari 380 hektar yang ditanami itu, memang
baru sekitar 1,8 hektar yang menerapkan pola pertanian alami. Namun, selalu ada langkah
kecil sebelum berlari. Langkah itu sudah
dimulai oleh Wisnu dan kawan-kawan di
Kampung Lio. Pertengahan Mei lalu, organisasi petani internasional La Via
Campesina menghargai langkah itu dengan membawa seratusan petani dari seluruh dunia
ke Kampung Lio, Sukabumi.
(HERLAMBANG
JALUARDI)
=====
WlSNU HERMAWAN
Lahir: Sukabumi, Jawa Barat, 27
Oktober 1981
Pendidikan:
- SMP Negeri Warungkiara, Sukabumi
- STM Teknika Cisaat Sukabumi
(sampai kelas II)
Pengalaman:
Mengikuti program pertukaran petani
ke Karnataka, Bangalore, India, Desember 2011
Ki hujan, pohon hujan, atau trembesi (Albizia saman (Jacq.) Merr. sinonim Samanea saman (Jacq.) Merr.) merupakan tumbuhan pohon besar, tinggi, dengan tajuk yang sangat melebar.
ReplyDeletehttp://id.wikipedia.org/wiki/Samanea_saman
trembesi tidak bisa tumbuh di lereng ya mas?
ReplyDelete