Saturday, November 8, 2014

Menanam Padi, Menuai Nilai Kebajikan




Nurcholis (kedua dari kanan) menanam pohon buah dan padi di atas atap Rumah Tanpa Pintu bersama komunitas masyarakat di Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat, Kamis (6/11). Konsep ketahanan pangan berbasis komunitas mulai dirintis pemilik “Mal Rongsok” tersebut sebagai modal untuk hidup sejahtera.

Kompas, Sabtu 8 November 2014

KOMUNITAS INSPIRATIF
Menanam Padi, Menuai Nilai Kebajikan

Orang-orang yang tinggal di wilayah Jakarta dan sekitarnya ini memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Mereka bisa membeli beras untuk makan sehari-hari. Namun, mereka malah memilih menanam padi. Dari kegiatan itu, mereka belajar hidup bersama dan memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa bergantung kepada pihak lain.

Nurcholis Agi (46), pengusaha jual-beli barang bekas, berkumpul bersama lima temannya di Depok, Jawa Barat, Kamis (6/11) siang. Orang-orang yang tergabung dalam komunitas Rumah Tanpa Pintu itu berasal dari beragam profesi, seperti guru, dosen, pengusaha, dan ibu rumah tangga Sambil bercengkerama, mereka menyiangi rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman padi.

Nurcholis adalah pendiri komunitas Rumah Tanpa Pintu. Anggotanya mencapai 200 orang, tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Bersama anggota komunitas itu, dia mendirikan rumah tiga lantai tanpa daun pintu dan tanpa dinding penyekat. Lokasinya di Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji, Kota Depok.

Rumah seluas 230 meter persegi itu berada di atas lahan tidur (lahan yang tidak difungsikan) milik pemerintah daerah. Setelah mendapat izin, mereka menggunakan lahan sebagai tempat kegiatan bertani

Di rumah itu, Nurcholis dan kawan-kawan menanam, merawat, dan memanen padi. Mereka juga menanam buah dan sayur-sayuran, memelihara ikan, serta mengolah barang bekas menjadi benda siap pakai.

Nurcholis mengatakan, ide menanam padi muncul karena dia kerap melihat warga Jakarta berkonflik. “Kita sering kali bertengkar karena masalah sepele. Seandainya kita bisa hidup berdampingan dan memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri, tingkat stres dan konflik bisa ditekan,” katanya.
  
Menanam padi merupakan salah satu media untuk mewujudkan hidup mandiri dan dalam kebersamaan. Menurut dia, warga Jakarta bisa hidup makmur dan bebas dari konflik seandainya mau bergotong royong dan tidak menggantungkan kebutuhan hidup kepada pihak lain.

Untuk hidup bersama, menurut Nurcholis, warga perlu mengamalkan nilai-nilai hidup yang disepakati bersama. Nilai-nilai itu antara lain bersikap ikhlas dan rendah hati, seperti nilai yang melekat pada butiran padi.

Nurcholis membangun rumah untuk kegiatan pertanian tahun 2013. Rumah itu sengaja dibuat tanpa daun pintu dan dinding penyekat untuk menggambarkan bagaimana hidup dalam kebersamaan dapat terbentuk. Siapa pun, dari beragam latar belakang, bebas datang dan berkebun bersama.

Lantai dasar rumah itu digunakan sebagai perpustakaan, dapur, tempat pengolahan barang-barang bekas, dan kolam ikan. Lantai dua dipakai sebagai tempat tinggal. Adapun lantai tiga, yang merupakan atap bangunan, difungsikan sebagai lahan berkebun.

Barang yang digunakan untuk menanam padi semuanya barang bekas. Umumnya bersumber dari tempat jualan barang bekas milik Nurcholis bernama “Mal Rongsok”.

Pertama kali menanam, Nurcholis memanfaatkan kulkas dan mesin cuci bekas sebagai media tanaman. Karena terlalu berat dan besar, dia mulai menanam padi di dalam pot yang terbuat dari kaleng cat bekas.

Sekitar seratus kaleng cat itu kini berjejer di atap rumah. Cara ini menegaskan bahwa warga perkotaan pun sebetulnya bisa tetap bertani meski lahan terbatas.

Pria beranak tiga itu berobsesi menjadikan bangunan tiga lantai itu sebagai tempat tinggal bersama anggota komunitas. Di situ mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan bercocok tanam dan beternak ikan. “Kini sudah ada enam keluarga yang sepakat hidup bersama,” kata Nurcholis.

Salah satu anggota komunitas adalah Sri Rahmawati (48), pengajar Ilmu Statistik di Universitas Gunadarma, Depok. Ibu lima anak itu berasal dari keluarga petani di Cilacap, Jawa Tengah.

Dulu Sri sempat berpikir butiran bibit padi hanya cocok ditanam di sawah. Dia hampir tidak percaya padi bisa ditanam di kota besar. “Setelah lihat dan coba tanam sendiri, saya baru percaya padi bisa tumbuh di mana saja,” katanya.

Bersama anggota komunitas yang lain, Sri belajar teknik menanam padi yang intensif. Dia menanam satu butir padi dalam setiap pot kaleng cat bekas. Bibit padi tumbuh dan berkembang menjadi sekitar 50 batang.

Setelah dirawat dengan pengairan, pemupukan, dan penyiangan dari gulma, tanaman itu berbuah. Dalam waktu tiga bulan, padi siap dipanen. Sekali panen, mereka bisa menghasilkan sekitar 20 kilogram beras.

Sri mengatakan, petani di desanya biasa menanam 3-4 butir padi sekali tanam. Butiran itu menghasilkan sekitar 30 daun padi. “Punya saya lebih hemat. Meski hanya sebutir, hasilnya lebih banyak,” ucapnya.

Ilmu menanam padi dia dapatkan melalui diskusi dan pelatihan yang diselenggarakan anggota komunitas. Salah satu mentor dalam komunitas itu adalah Alik Sutaryat, Ketua Yayasan Aliksa Organik SRI (System of Rice Intensification).

Di tangan Sri dan kawan-kawan, kegiatan bertani jadi jauh dari kesan kotor ataupun rumit. Kegiatan menanarn padi juga bisa dilakukan siapa pun, termasuk ibu rumah tangga.

Komitmen hidup makmur dengan menanam padi juga dipegang Sulaiman (52), guru Matematika. Sulaiman membeli bibit padi. Hanya dengan modal Rp 10.000, dia membeli 1 kilogram bibit padi. “Saat itu saya baru sadar, harga bibit padi murah sekali. Padahal, kalau sudah jadi beras, harganya bisa melambung," ujarnya.

Dengan menanam padi, kata Sulaiman, warga Jakarta tidak perlu takut kesulitan mendapatkan bahan pangan. Saat Jembatan Comal, Jawa Tengah, rusak, misalnya, warga Jakarta tidak perlu mengkhawatirkan pasokan beras asal luar Jakarta.

Menurut Sulaiman, dengan menanam padi, dia belajar memenuhi kebutuhan hidup sendiri tanpa bergantung kepada pihak lain. “Kemandirian dapat membuat hidup kita lebih makmur,” kata Sulaiman. Kemakmuran itu juga perlu didukung semangat mau memberi dan berbagi seperti butiran padi.

Menurut Sulaiman, menanam padi mengajarkan dia untuk bekerja keras, membangun karakter, dan memiliki semangat untuk berbagi.

Sosiolog dari Universitas Indonesia, Ida Ruwaida, mengapresiasi yang dilakukan komunitas Rumah Tanpa Pintu. “Kegiatan itu muncul di tengah kehidupan masyarakat urban. Bisa jadi ini bukan sekadar kegiatan menanam padi dan menghasilkan beras untuk dikonsumsi.

Anggota komunitas itu pasti sudah mampu membeli beras. Namun, ada nilai-nilai kebajikan yang dapat dipetik dari situ,” katanya.

Padi yang dituai mungkin belum seluruhnya bisa memenuhi kebutuhan hidup anggota komunitas itu. Namun, setidaknya mereka telah merawat dan menebarkan nilai kebajikan dari ilmu padi. Bercocok tanam mengajarkan anak-anak anggota komunitas itu tentang etos dan proses serta menghargai jerih payah orang lain.

Sebuah inspirasi di tengah dahsyatnya hasrat “hanya” memetik dan membeli!

(Laporan oleh: Denty Piawai Nastitie)

No comments:

Post a Comment