Monday, June 1, 2015

Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa

Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa
Sarlito Wirawan Sarwono

Itulah awal lirik lagu ciptaan L Manik, yang hampir semua orang Indonesia hafal, karena dinyanyikan di hampir setiap upacara di kantor-kantor, di sekolah-sekolah, di institusi-institusi dan organisasi-organisasi, dan di mana-mana di seluruh Indonesia, kecuali di rumah-rumah ibadah.

Betul-betul luar biasa. Pada 28 Oktober 1928, sejumlah pemuda dari berbagai etnik, golongan, daerah dan agama berkumpul di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, di sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong, untuk mengikrarkan ”Soempah Pemoeda” (begitu ditulisnya menurut ejaan Van Ophuijsen, atau ejaan lama yang berlaku pada saat itu), yang dahsyat itu, yang rohnya tecermin dalam lagu berjudul ”Satu Nusa, Satu Bangsa” itu.

Betapa tidak dahsyat, Sumpah Pemuda itulah yang bisa menghimpun seluruh kekuatan bangsa Indonesia, yang tadinya terpecah belah, dan mendorong lahirnya Republik Indonesia yang merdeka, setelah 350 tahun dijajah. Maka tidak salah kalau lagu itu diakhiri dengan syair, ”Nusa, bangsa dan bahasa, kita bela bersama!”.

Beberapa bulan lalu Sekolah Pascasarjana UI (SPs UI), kedatangan tamu beberapa orang profesor dari Universitas Leiden, Belanda. Saya hadir sebagai Ketua Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) bersama seluruh ketua dan sekretaris program studi lain di lingkungan SPs UI.

Setelah ngobrol ngalor-ngidul (dalam bahasa Inggris, tentunya) bertukar visimisi, dan informasi antara ke dua pihak, tiba-tiba ada salah satu anggota delegasi Belanda yang bertanya, ”Apakah di sini digunakan bahasa Inggris sebagai pengantar?” Para doktor dan profesor UI bengong semua. ”Apa maksudnya pertanyaan profesor Belanda ini?” bisik seorang rekan yang duduk di sebelah saya.

Kemudian salah satu dari pihak UI menjelaskan bahwa di UI yang digunakan sebagai bahasa pengantar adalah bahasa Indonesia, kecuali untuk kelas-kelas khusus internasional. Atas pertanyaan itu, profesor Belanda malah tambah bingung, ”Nah, terus apa gunanya dipersyaratkan tes TOEFL dengan skor minimum 550?” tanya dia lagi.

Menurut pendapat saya, meminjam istilah catur, pertanyaan ini adalah sekakmat (langkah yang mematikan) buat tim UI. Beberapa rekan dari UI mencoba memberi alasan bahwa bahasa Inggris diperlukan karena buku-buku banyak berbahasa Inggris, agar mahasiswa dan lulusan mampu berkomunikasi di tingkat internasional, istilah-istilah dalam internet pun menggunakan bahasa Inggris. Tetapi sang profesor dari Belanda tampak tetap tidak mengerti.

Mengapa harus 550? Untuk memahami bahasa Inggris secara pasif cukup skor 300- 400-an saja. Bahkan untuk mengoperasikan program komputer tidak perlu bisa bahasa Inggris sama sekali. Pengalaman saya dengan mahasiswa atau staf administrasi di kampus, kalau seseorang sudah bisa mengucapkan ”kopi paste” saja sudah cukup. Berarti dia paham tentang ikon ”copy paste” dalam program komputer. Orang yang tidak mengerti komputer tentu tidak bisa membedakan antara ”kopi paste” dengan ”kopi latte”.

Karena itu saya tidak ikut heran dengan pertanyaan profesor Belanda itu. Saya pun berpendapat bahwa tes TOEFL untuk ujian masuk perguruan tinggi di Indonesia adalah sia-sia. Bangsa-bangsa yang tidak bisa berbahasa Inggris seperti Rusia, Spanyol, Cina, Prancis, Korea, dan Jepang, bisa menjadi bangsa-bangsa yang hebat. Mereka berpikir dengan menggunakan bahasa mereka masing- masing dalam otak mereka, tetapi sama sekali mereka tidak kalah dari bangsa-bangsa yang berbahasa Inggris.

Sebaliknya, kita lihat berapa banyak bangsa di Afrika (seperti Nigeria, Bostwana, Kamerun, Eritrea, Ghana, dll) yang lebih terpuruk dari Indonesia. Saya pun pernah membaca karya-karya tulis rekan-rekan saya dosen dari Program Studi Jawa. Tulisan-tulisan mereka hebat, tetapi tidak mungkin dimuat dalam jurnal internasional, karena tulisan itu dalam bahasa Indonesia dengan kutipan-kutipan bahasa Jawa, yang akan kehilangan citra budaya Indonesianya begitu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Padahal, untuk jadi profesor di UI dipersyaratkan tulisannya harus pernah dimuat di jurnal internasional, minimal empat kali. Pertanyaannya, bagaimana caranya tulisan yang khusus untuk komunitas wayang (walaupun hebat) bisa dimuat di jurnal internasional? Pertanyaan lain, dosen-dosen Program Studi Jawa dan ISI (Institut Seni Indonesia) yang mahir ilmu pedalangan, tetapi tidak biasa menulis karya ilmiah, ke mana mereka mencari pengakuan akademik? Pertanyaan berikutnya, kapan dosen-dosen hebat seperti mereka bisa jadi profesor.

Menurut hemat saya, semua dosen hebat harus bisa jadi profesor, semua tentara hebat harus bisa jadi jenderal, bahkan rakyat jelata yang terhebat harus bisa jadi presiden. Bahasa Inggris bukan persyaratan primer, kalau bisa, OK! Tetapi kalau tidak bisa, masih ada penerjemah yang bisa membantu. Orang Indonesia memang harus bisa bahasa Inggris (atau bahasa asing lain) kalau mau studi di luar negeri, mau jadi diplomat, mau jadi profesor tamu di universitas luar negeri, mau berbisnis di pasar internasional, mau jadi pemandu wisata, mau jadi pacarnya orang bule, atau mau jadi atase pertahanan.

Di luar itu tidak usah. Indonesia adalah dan sudah internasional. Mahasiswa Amerika yang mau kuliah di UI harus mengambil tes kemampuan bahasa Indonesia, tetapi mahasiswa Indonesia tidak perlu dites TOEFL untuk kuliah di negeri sendiri.

Sudah lama UI meninggalkan semboyan ”menara gading”, tetapi dengan tidak menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (hanya demi mendapat peringkat universitas kelas dunia), UI akan kembali menjadi universitas ”menara gading”, yang makin jauh dari rakyat jelata, termasuk yang tinggal di Kelapa Gading, Jakarta. Dirgahayu Sumpah Pemuda! ●

Sarlito Wirawan Sarwono; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 26 Oktober 2014

sumber kutipan:
http://budisansblog.blogspot.com/2014/10/satu-nusa-satu-bangsa-satu-bahasa.html

Saturday, November 8, 2014

Menanam Padi, Menuai Nilai Kebajikan




Nurcholis (kedua dari kanan) menanam pohon buah dan padi di atas atap Rumah Tanpa Pintu bersama komunitas masyarakat di Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat, Kamis (6/11). Konsep ketahanan pangan berbasis komunitas mulai dirintis pemilik “Mal Rongsok” tersebut sebagai modal untuk hidup sejahtera.

Kompas, Sabtu 8 November 2014

KOMUNITAS INSPIRATIF
Menanam Padi, Menuai Nilai Kebajikan

Orang-orang yang tinggal di wilayah Jakarta dan sekitarnya ini memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Mereka bisa membeli beras untuk makan sehari-hari. Namun, mereka malah memilih menanam padi. Dari kegiatan itu, mereka belajar hidup bersama dan memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa bergantung kepada pihak lain.

Nurcholis Agi (46), pengusaha jual-beli barang bekas, berkumpul bersama lima temannya di Depok, Jawa Barat, Kamis (6/11) siang. Orang-orang yang tergabung dalam komunitas Rumah Tanpa Pintu itu berasal dari beragam profesi, seperti guru, dosen, pengusaha, dan ibu rumah tangga Sambil bercengkerama, mereka menyiangi rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman padi.

Nurcholis adalah pendiri komunitas Rumah Tanpa Pintu. Anggotanya mencapai 200 orang, tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Bersama anggota komunitas itu, dia mendirikan rumah tiga lantai tanpa daun pintu dan tanpa dinding penyekat. Lokasinya di Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji, Kota Depok.

Rumah seluas 230 meter persegi itu berada di atas lahan tidur (lahan yang tidak difungsikan) milik pemerintah daerah. Setelah mendapat izin, mereka menggunakan lahan sebagai tempat kegiatan bertani

Di rumah itu, Nurcholis dan kawan-kawan menanam, merawat, dan memanen padi. Mereka juga menanam buah dan sayur-sayuran, memelihara ikan, serta mengolah barang bekas menjadi benda siap pakai.

Nurcholis mengatakan, ide menanam padi muncul karena dia kerap melihat warga Jakarta berkonflik. “Kita sering kali bertengkar karena masalah sepele. Seandainya kita bisa hidup berdampingan dan memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri, tingkat stres dan konflik bisa ditekan,” katanya.
  
Menanam padi merupakan salah satu media untuk mewujudkan hidup mandiri dan dalam kebersamaan. Menurut dia, warga Jakarta bisa hidup makmur dan bebas dari konflik seandainya mau bergotong royong dan tidak menggantungkan kebutuhan hidup kepada pihak lain.

Untuk hidup bersama, menurut Nurcholis, warga perlu mengamalkan nilai-nilai hidup yang disepakati bersama. Nilai-nilai itu antara lain bersikap ikhlas dan rendah hati, seperti nilai yang melekat pada butiran padi.

Nurcholis membangun rumah untuk kegiatan pertanian tahun 2013. Rumah itu sengaja dibuat tanpa daun pintu dan dinding penyekat untuk menggambarkan bagaimana hidup dalam kebersamaan dapat terbentuk. Siapa pun, dari beragam latar belakang, bebas datang dan berkebun bersama.

Lantai dasar rumah itu digunakan sebagai perpustakaan, dapur, tempat pengolahan barang-barang bekas, dan kolam ikan. Lantai dua dipakai sebagai tempat tinggal. Adapun lantai tiga, yang merupakan atap bangunan, difungsikan sebagai lahan berkebun.

Barang yang digunakan untuk menanam padi semuanya barang bekas. Umumnya bersumber dari tempat jualan barang bekas milik Nurcholis bernama “Mal Rongsok”.

Pertama kali menanam, Nurcholis memanfaatkan kulkas dan mesin cuci bekas sebagai media tanaman. Karena terlalu berat dan besar, dia mulai menanam padi di dalam pot yang terbuat dari kaleng cat bekas.

Sekitar seratus kaleng cat itu kini berjejer di atap rumah. Cara ini menegaskan bahwa warga perkotaan pun sebetulnya bisa tetap bertani meski lahan terbatas.

Pria beranak tiga itu berobsesi menjadikan bangunan tiga lantai itu sebagai tempat tinggal bersama anggota komunitas. Di situ mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan bercocok tanam dan beternak ikan. “Kini sudah ada enam keluarga yang sepakat hidup bersama,” kata Nurcholis.

Salah satu anggota komunitas adalah Sri Rahmawati (48), pengajar Ilmu Statistik di Universitas Gunadarma, Depok. Ibu lima anak itu berasal dari keluarga petani di Cilacap, Jawa Tengah.

Dulu Sri sempat berpikir butiran bibit padi hanya cocok ditanam di sawah. Dia hampir tidak percaya padi bisa ditanam di kota besar. “Setelah lihat dan coba tanam sendiri, saya baru percaya padi bisa tumbuh di mana saja,” katanya.

Bersama anggota komunitas yang lain, Sri belajar teknik menanam padi yang intensif. Dia menanam satu butir padi dalam setiap pot kaleng cat bekas. Bibit padi tumbuh dan berkembang menjadi sekitar 50 batang.

Setelah dirawat dengan pengairan, pemupukan, dan penyiangan dari gulma, tanaman itu berbuah. Dalam waktu tiga bulan, padi siap dipanen. Sekali panen, mereka bisa menghasilkan sekitar 20 kilogram beras.

Sri mengatakan, petani di desanya biasa menanam 3-4 butir padi sekali tanam. Butiran itu menghasilkan sekitar 30 daun padi. “Punya saya lebih hemat. Meski hanya sebutir, hasilnya lebih banyak,” ucapnya.

Ilmu menanam padi dia dapatkan melalui diskusi dan pelatihan yang diselenggarakan anggota komunitas. Salah satu mentor dalam komunitas itu adalah Alik Sutaryat, Ketua Yayasan Aliksa Organik SRI (System of Rice Intensification).

Di tangan Sri dan kawan-kawan, kegiatan bertani jadi jauh dari kesan kotor ataupun rumit. Kegiatan menanarn padi juga bisa dilakukan siapa pun, termasuk ibu rumah tangga.

Komitmen hidup makmur dengan menanam padi juga dipegang Sulaiman (52), guru Matematika. Sulaiman membeli bibit padi. Hanya dengan modal Rp 10.000, dia membeli 1 kilogram bibit padi. “Saat itu saya baru sadar, harga bibit padi murah sekali. Padahal, kalau sudah jadi beras, harganya bisa melambung," ujarnya.

Dengan menanam padi, kata Sulaiman, warga Jakarta tidak perlu takut kesulitan mendapatkan bahan pangan. Saat Jembatan Comal, Jawa Tengah, rusak, misalnya, warga Jakarta tidak perlu mengkhawatirkan pasokan beras asal luar Jakarta.

Menurut Sulaiman, dengan menanam padi, dia belajar memenuhi kebutuhan hidup sendiri tanpa bergantung kepada pihak lain. “Kemandirian dapat membuat hidup kita lebih makmur,” kata Sulaiman. Kemakmuran itu juga perlu didukung semangat mau memberi dan berbagi seperti butiran padi.

Menurut Sulaiman, menanam padi mengajarkan dia untuk bekerja keras, membangun karakter, dan memiliki semangat untuk berbagi.

Sosiolog dari Universitas Indonesia, Ida Ruwaida, mengapresiasi yang dilakukan komunitas Rumah Tanpa Pintu. “Kegiatan itu muncul di tengah kehidupan masyarakat urban. Bisa jadi ini bukan sekadar kegiatan menanam padi dan menghasilkan beras untuk dikonsumsi.

Anggota komunitas itu pasti sudah mampu membeli beras. Namun, ada nilai-nilai kebajikan yang dapat dipetik dari situ,” katanya.

Padi yang dituai mungkin belum seluruhnya bisa memenuhi kebutuhan hidup anggota komunitas itu. Namun, setidaknya mereka telah merawat dan menebarkan nilai kebajikan dari ilmu padi. Bercocok tanam mengajarkan anak-anak anggota komunitas itu tentang etos dan proses serta menghargai jerih payah orang lain.

Sebuah inspirasi di tengah dahsyatnya hasrat “hanya” memetik dan membeli!

(Laporan oleh: Denty Piawai Nastitie)

Sunday, May 18, 2014

Fasisme

























Kompas, 18 Mei 2014
Fasisme
Oleh BRE REDANA

Sejak lama sebenarnya saya menyimpan pertanyaan, kenapa bangsa ini sepertinya tidak menganggap fasisme sebagai ancaman. Sebagai wacana pun tidak pernah muncul, berbeda misalnya dibandingkan dengan komunisme yang dianggap sebagai ancaman utama bangsa ini, yang diwacanakan dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman, kemungkinan sampai kiamat nanti.

Oleh karenanya, saya merasa aneh ketika ada seorang ternan tiba-tiba mengajukan pertanyaan, persis sama pertanyaan yang lama tersimpan dalam hati saya. Tambah aneh lagi, karena yang mengajukan pertanyaan dia, seorang petinggi perhotelan, cewek, modis, cantik.

Sebagaimana umumnya hotelier yang kalau bicara didasarkan pengalaman praktis, dia terheran-heran ada orang yang memberi excuse terhadap pihak yang ditengarai menjadi pelaku tragedi Mei 1998.

Apa di era morat-marit ini masyarakat menginginkan ketegasan, ia bertanya. Ketegasan dan militerisme itu berbeda, ia jawab sendiri pertanyaannya sembari menikmati mi ayam langganannya, yang tengah dia pamerkan enaknya. Di Eropa, begitu dia berkata, kalau orang ditanya apa ancaman utama, pasti pertama-tama yang dia sebut adalah fascism. Yang kedua baru komunisme, lalu terorisme, atau entah apa, urutannya mungkin berubah karena perubahan dunia. Namun fascism pasti masuk daftar, dia terus melanjutkan kata-katanya.

Jadi ingat Umberto Eco. Menentukan apa itu ancaman, yang berarti memilih siapa itu musuh - istilah Eco inventing the enemy - sejatinya berguna untuk mendefinisikan jati diri kita. Juga untuk mencari tolok ukur bagi hambatan sekaligus mengupayakan jalan keluar bagi sistem nilai yang tengah kita bangun, yang perlu bagi pembentukan harga diri dan kemuliaan kita.

Dengan menganggap fasisme sebagai musuh misalnya, orang akan menunjukkan dignity dengan sikap sebaliknya: menjunjung supremasi sipil, egaliter, kurang hierarkis, tidak suka seragam, dan lain-lain. Itu semua kebalikan dari tanda-tanda fasisme, berupa semangat militeristik dengan segala manifestasinya: penegakan disiplin dengan kekerasan, garis batas senior-yunior, tidak mentolerir perbedaan, serba protokoler, gemar pakaian seragam (begitu mengenakan seragam kontan merasa paling berkuasa sedunia), dan seterusnya.

Karena semangat seperti inilah barangkali terus saja terjadi penganiayaan serta pembunuhan terhadap yunior di berbagai lembaga pendidikan, yang belakangan merambah ke semua tingkatan sampai ke tingkat anak-anak ingusan. Istilahnya penegakan disiplin oleh senior.

Bagaimana pemecahannya?

Kembali lagi, sesuai pembentukan nilai-nilai di mana dasarnya adalah anti ideologi yang dianggap tidak mengenal Tuhan, maka pemecahannya pun berdasar pemikiran, bahwa dosis agamalah yang harus ditingkatkan. Bahkan ketika anak-anak menjadi korban pencabulan di sekolah, muncul pernyataan dari pejabat pendidikan, tentang perlunya pendidikan agama tadi bagi anak-anak. Pernyataan yang benar-benar membuat saya geram.

Kita semua tahu, itu juga berlaku kalau perempuan menjadi korban peIecehan seksual. Yang ditelisik pertama kali adalah perilaku korban, bagaimana pakaiannya, cukup mengundang atau tidak. Pada kasus lebih luas, kalau ada penggerebekan diskusi, yang bakal jadi tersangka adalah korban penggerebekan, bukan penggerebeknya. Apalagi kalau yang didiskusikan Marxisme, atau liberalisme. Keduanya merupakan musuh fasisme.

Entah barangkali karena bangsa ini begitu cinta damai, sehingga merasa tidak perlu mendefinisikan apa itu yang disebut sebagai ancaman dan musuh secara sungguh-sungguh. Lihatlah, korupsi pun tampak bukan dianggap sebagai ancaman serius. Tak ada koruptor yang mendapat sanksi sosial. Pokoknya kaya, banyak duit, orang akan menjadi tokoh terhormat di lingkungannya.

Oh ya, teman hotelier itu paginya mengirim pesan pendek, menanyakan yang lupa ia tanyakan: apakah saya suka mi ayam yang dia kenalkan. Saya jawab suka, apalagi ditambah fasisme. Saya bilang, tolong peringatkan bahaya fasisme tersebut kepada semua orang.

Tuesday, April 15, 2014

Gerakan Ibu-ibu Petani Membebaskan Pangan dari Kimia



Kompas, 14 April 2014
Gerakan Ibu Petani Membebaskan Pangan dari Kimia

=====
Waktu menunjukkan pukul 09.00, tetapi sinar mentari sudah menyengat. Di ujung Dusun Sumbersarim, Desa Sendangmulyo, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah, enam ibu petani sibuk mencabut rumput di antara batang padi berusia 25 hari.
=====

Kaum ibu itu, minggu lalu, sedang mencabuti rumput (matun) di sawah. Peluh membasahi sebagian wajah ibu-ibu yang kepalanya bertutup caping. Tangan mereka cekatan mencabuti rumput. Selain wajah, warna kulit bagian kaki, betis, lengan, dan telapak tangan mereka juga legam terbakar sinar matahari. Namun, kegembiraan tetap terpancar di wajah mereka.

Mereka, yaitu Surati (50), Majinah (41), Tri Wahyuni (33), Turniyem (53), Patuni (31), dan Tinem (61), ramai-ramai menyiangi gulma di sawah milik Tinem. Mereka adalah anggota Kelompok Tani Lestari Alam Desa Sendangmulyo yang berjumlah 37 orang. Semua anggota kelompok ini adalah ibu rumah tangga yang setiap hari turun ke sawah menjadi petani. Bertahun-tahun mereka bertanggung jawab penuh atas tanaman padi di tegalan dan sawah.

Suami mereka kebanyakan merantau ke luar kota setelah padi ditanam. Kaum lelaki itu baru pulang menjelang masa panen padi. Walaupun menjadi tumpuan utama keluarga dalam bertani, mereka tak mengeluh. Turun ke sawah saat suami merantau merupakan pilihan yang mereka ambil demi menopang perekonomian keluarga. “Jika tidak kerja sama bapak dan ibu, ekonomi keluarga oleng,” ujar Majinah Ketua Kelompok Tani Lestari Alam.

Hari itu, sebelum mentari terbit, Majinah sudah turun ke sawah. Sebelum ditemui di sawah milik Tinem, ia sudah turun di tiga sawah lain. Sawah miliknya ada di dua tempat dan di tempat lain ia sebagai buruh penggarap.

Semua mereka terima dengan lapang dada sehingga mereka pun rela dari pagi hingga menjelang senja turun ke sawah. Bagi ibu yang memiliki anak usia sekolah, mereka baru ke sawah setelah anaknya berangkat sekolah. Selama padi ditanam hingga panen, rata-rata mereka berangkat pukul 07.00 hingga pukul 11.30, istirahat, lalu kembali lagi ke sawah hingga pukul 17.00.

Di Tirtomoyo, padi hanya bisa ditanam rnaksimal dua kali. Wonogiri terkenal sebagai daerah kering sehingga lahan pertanian umumnya tadah hujan. Musim tanam ketiga biasanya diisi dengan tanaman palawija.

Menjadi pengendali pertanian, itulah peran yang dilakoni kaum ibu di Sumbersari sejak dahulu. Belakangan, perempuan perkasa itu tidak hanya berpikir menopang ekonomi keluarga, tetapi juga membebaskan keluarga dari produk pangan yang menggunakan bahan kimia. Mereka bergerak ke depan, menghasilkan pangan yang sehat.

Sejak setahun lalu, ibu petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Lestari Alam memutuskan mengurangi penggunaan bahan kimia pada pertanian padi, palawija, dan sayuran. Perlahan mereka meninggalkan pupuk, pestisida, dan perangsang buah dari bahan kimia.

Sejak musim tanam lalu, se cara bertahap mereka menggunakan pupuk organik. Jika sebelumnya semua pupuk dari bahan kimia, kini hanya tinggal campuran urea yang masih ikut dalam pemupukan. Selebihnya menggunakan pupuk dari kotoran sapi dan kambing yang diolah sendiri oleh ibu-ibu.

Urine sapi dan kambing yang berlimpah juga diolah menjadi pestisida organik untuk menggantikan pestisida kimia. Perangsang buah juga diolah sendiri oleh ibu petani. Kaum pria tak kuat dengan bau pesingnya. Biasanya mereka membantu mencarikan bahan untuk campuran pupuk dan pestisida organik.

Kesadaran kaum ibu untuk menghasilkan produk pangan yang sehat, terbebas dari bahan kimia, mulai bangkit sejak mendapati pendampingan dari Surati yang juga perempuan petani di dusun itu. Sejak 1998, Surati, yang aktif di lembaga swadaya masyarakat Gita Pertiwi Solo, menjadi petani konsultan bagi kelompok tani perempuan itu. LSM yang bergerak daldm pelestarian lingkungan dan pengembangan masyarakat merekrut Surati sebagai tenaga lapangan dan petani konsultan.

Bekal pengetahuan mengenai pertanian yang diperoleh Surati selama ini ditularkan kepada perempuan petani lain. Kaum ibu belajar membuat pupuk dan pestisida dari kotoran padat dan cair dari ternak sapi dan kambing mereka.

Kotoran sapi yang padat di angkat dari kandang, lalu dicampur dengan arang sekam, moretan (mikroba rekan petani), dan abu dapur. Agar suhu dalam campuran pupuk organik itu merata, harus sering diaduk hingga akhirnya siap digunakan untuk tanaman. Menjelang penyemprotan anti hama, ibu-ibu mempersiapkan urine sapi dan kambing yang diolah menjadi pestisida organik.

Gerakan mengembalikan pertanian dengan penggunaan pupuk dan pestisida dimulai. “Untuk pupuk, tinggal urea yang masih dicampur. Namun, pestisida 100 persen bebas kimia,” papar Surati.

Benih Sendiri

Surati juga mengajari kaum ibu tani membuat benih padi sendiri sehingga tak perlu membeli. Ke depan, ia juga siap menerapkan metode pemurnian benih. Dengan demikian, pada saatnya kaum perempuan petani di daerahnya benar-benar mandiri dan mampu melakukan pemurnian benih padi. “Kalau kita praktik sendiri membuat benih, jauh lebih murah dan hasilnya luar biasa,” kata Surati.

Saat memutuskan mengurangi pupuk kimia dan berhenti memakai pestisida kimia, kaum ibu diberi pengertian oleh Surati bahwa hasil panennya tak sebanyak sebelumnya. “Memang berkurang hasilnya. Kalau dulu dari lahan seluas 3.000 meter didapat 50 zak, kini cuma dapat 35 zak,” kata Majinah.

Walau hasil panen berkurang olah tidak ada penyesalan dari wajah ibu-ibu petani itu. Pengalaman bertani Surati, yang disaksikan langsung oleh warga sekitar, membuat petani yakin setelah melewati beberapa panen nanti lahan padi yang memakai pupuk dan pestisida organik bakal kembali subur. Lagi pula setelah panen pertama masa tanam lalu, kualitas beras yang dihasilkan lebih bagus.

=====
Foto:
Ibu-ibu rumah tangga di Dusun Sumbersari, Desa Sendangmulyo, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, hingga kini berperan sebagai petani. Mereka bahkan berani mengambil risiko dengan mulai beralih ke pertanian organik demi menghasilkan pangan yang sehat untuk keluarga. Mereka membuat sendiri pupuk dan pestisida dari kotoran ternak sapi. Tampak enam ibu yang berada di tengah sawah, akhir Maret 2014.
=====

(Oleh Sonya Hellen S.)

Sunday, April 13, 2014

Memerangi Kemiskinan di Perbatasan











Kompas, Kamis, 10 April 2014
Eusebio Hornai Rebelo
Memerangi Kemiskinan di Perbatasan

Eusebio Hornai Rebelo, pria yang berpangkat letnan kolonel dan menjabat Komandan Kodim 1618/Kabupaten Timor Tengah Utara di Kefamenanu, Pulau Timor, bagian Nusa Tenggara Timur, ini lebih dikenal sebagai komandan yang bersama jajarannya gencar memerangi keterisolasian dan kemiskinan di wilayah Timor Tengah Utara, kawasan di perbatasan negara.

=====

Timor Tengah Utara adalah salah satu dari empat kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang wilayah daratannya berbatasan dengan Timor Leste. Bersama Kabupaten Kupang, tetangga sebelah baratnya, tepi utara Timor Tengah Utara berbatasan dengan Oekusi, daerah enklave Timor Leste. Dua daerah lain adalah Kabupaten Belu dan Malaka, berbatasan dengan ujung barat wilayah negara baru ini.

Timor Leste yang dulu disebut Timor Timur lepas dari NKRI 15 tahun lalu lewat penentuan pendapat atau referendum. Pemisahan itu meninggalkan tapal batas darat sepanjang 280 kilometer. Perbatasan itu adalah Belu-Malaka (149,9 kilometer), Timor Tengah Utara (114,9 kilometer), dan Kupang (15,2 kilometer).

Kondisi daerah perbatasan tersebut amat tertinggal. Infrastruktur jalan umum berupa jalan tanah dan pengerasan. Bahkan, banyak sungai belum dilengkapi jembatan Selain itu, belum semua warga bisa menikrnati aliran listrik dan air bersih. Inilah gambaran kondisi kawasan perbatasan, teras depan NKRI, yang terabaikan.

Dari sisi rniliter, situasi perbatasan Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste relatif kondusif dan damai.Kondisi itu menjadi alasan kuat bagi Eusebio (44) guna memberdayakan potensi dan energi yang dimiliki untuk kesejahteraan masyarakat.

Sejak menjadi Komandan Kodim 1618/Timor Tengah Utara di Kefamenanu, tiga tahun lalu, Eusebio memberi perhatian khusus pada upaya ke tahanan pangan dan berusaha mengatasi keterisolasian masyarakat setempat. Sulung dari tiga bersaudara anak pasangan Patricio Rebelo dan Blandina Hornai ini adalah putra daerah setempat.

Didukung pemerintah dan masyarakat setempat, Eusebio bersama jajarannya mengubah lahan tidur sekaligus memaksimalkan pengolahan sekitar 900 hektar sawah petani di tapal batas. Area itu terdapat di kawasan Ponu, Kecamatan Biboki Anleu (sekitar 300 hektar), dan kawasan Seko, Desa Tasinifu, Kecamatan Mutis (sekitar 600 hektar).

Hamparan sawah di Ponu sebenarnya sudah didukung irigasi permanen sejak tahun 1979. Namun, pengolahan lahan yang selama ini dilakukanpara petani relatif tidak maksimal karena suplai air tidak cukup untuk menggenangi seluruh area.

Kondisi tersebut bertambah parah setelah bangunan di sekitar mulut bendungan mengalami kerusakan. Gerusan banjir mengubah mulut bendungan pada posisi lebih tinggi dari aIur sungai sehingga air tak lagi bisa mengalir ke sawah melalui jaringan irigasi.

Akibatnya, hamparan sawah menjadi lahan tidur. Jika ada sejumlah petani yang berupaya mengolah pun, jumlahnya sangat terbatas. Pengolahan lahan tersebut juga hanya untuk menanam sekali setahun karena mereka cuma mengandalkan air hujan.

Kerusakan mulut irigasi Bendungan Ponu lalu diperbaiki lewat program Bhakti TNI Kodim Timor Tengah Utara bersama pemerintah dan masyarakat setempat, awal tahun 2012. Mereka berusaha memulihkan alur sungai di sekitar mulut Bendungan Ponu agar air bisa mengalir melalui jaringan irigasi dan menggenangi seluruh area persawahan.

Setelah jaringan irigasi kembali normal, pengolahan lahan sawah pun bisa dilakukan warga karena ketersediaan airnya cukup. Dengan memanfaatkan benih padi jenis Membrarno, hamparan sawah di sekitar Bendungan Ponu kemudian bisa menghasilkan panen raya pada Juni 2012. Hasilnya sekitar 5,5 ton gabah per hektar dan sejak waktu itu area persawahan di Ponu pun bisa diolah petani dua kali dalarn setahun.

Kebun contoh


Selain di Ponu, Kodim 1618/Timor Tengah Utara juga mendorong pengolahan area persawahan di Seko, Desa Tasinifu, Kecamatan Mutis. Dorongan tersebut juga diawali dengan perbaikan saluran irigasi.

Setelah air bisa mengalir normal melalui saluran, area sawah seluas lebih dari 300 hektar itu pun dapat diolah masyarakat setempat secara maksirnal.

Pada saat yang sama, Kodim 1618/Timor Tengah Utara melalui program Tentara Manunggal Membangun Desa juga diminta membangun jalan sepanjang 8 kilometer dari Aplal, pusat Desa Tasinifu, hingga area persawahan di Seko. Area persawahan itu nyaris menyentuh tapal batas tepi selatan Oekusi.

Tahun 2013, jajaran di bawah Eusebio kembali membuka kebun contoh pengolahan lahan kering untuk tanaman bawang merah dan jagung sekaligus tanaman kelor sebagai tumpang sari. Kebun seluas lebih kurang 4 hektar itu berlokasi di Desa Bitefa, Kecamatan Bikomi Selatan, 50 kilometer arah utara Kefamenanu.

Untuk menggerakkan warga, Eusebio awalnya melibatkan 20 petani setempat. Mereka bemaung di bawah Kelompok Tani Berani Hidup Bitefa. Bersama aparat Kodim,mereka menanami lahan dengan bibit bawang merah.

“Ketika paneh, hasilnya langsung dijual untuk para petani, Sedikitnya setiap petani bisa mendapat Rp 750.000,” kata sekretaris kelompok tani terkait, Antonius Teklasi.

Hingga pekan ketiga Maret lalu, area kebun dengan tanaman jagung menjelang panen. “Selain jagung, warga juga bisa menanam kelor sebagai tumpang sari,” ujar Komandan Koramil Kota Kefamenanu Kapten Hendry Dunant tentang tanaman kelor (Moringa oleifera) yang di kalangan warga Nusa Tenggara Timur disebut merungge.

Manfaat ganda

Eusebio menambahkan, kegiatan mengembangkan tanaman kelor semakin meluas seiring dengan dukungan Komandan Korem Nusa Tenggara Timur Brigadir Jenderal Achmad Yuliarto. Area tanam bertambah menjadi sekitar 125 hektar.

“Usaha ini dilakukan para petani setempat setelah memperoleh benih panduan teknis dari Kodim Timor Tengah Utara,” kata Eusebio di Kefamenanu, akhir Maret lalu.

Kelor adalah jenis tanaman yang bermanfaat ganda. Selain berfungsi untuk penghijauan, kelor juga mengandung nutrisi dan vitamin.

“Kelor memiliki manfaat yang luar biasa. Biji, bunga, dan daun kelor bisa menyembuhkan beberapa penyakit,” ujar Eusebio.

Berkat berbagai terobosan yang dia lakukan, Kodim 1618/Timor Tengah Utara meraih penghargaan sebagai Kodim Pratama Terbaik Tingkat Komando Utama Kewilayahan dari Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Budiman pada 7 November 2013.


=====
Eusebio Hornai Rebelo
Lahir: Oekusi (sekarang wilayah Timor Leste), 7 Februari 1970
Istri: Natalia Ratna Dewanti
Anak: Eugenie Vina Novarina, Christophorus Dwi Putra, Alexandra Dina Junita
Pendidikan: Akademi Militer Magelang (1992)
Karier: Kepala Seksi Intel Korem 173/Papua di Biak; Komandan Detasemen Intelejen Kodam 17/Cenderawasih, Papua; Komandan Kodim 1618/Timor Tengah Utara sejak 8 November 2011
=====

(Oleh Frans Sarong)

Friday, April 11, 2014

Belajar Bijak dari Serangga




Kompas, Jumat 11 April 2014
Sosok
Sujono: Belajar Bijak dari Serangga

Sejak tahun 1990-an, Sujono (43) menjadikan serangga sebagai pusat perhatian, inspirasi utamanya dalam berkesenian. Dengan segala wujud karya yang dihasilkan, dia ingin mengajak semua orang beramai-ramai belajar bijak dari serangga.

=====

“Kita sebenarnya bisa belajar banyak hal dari serangga,” ujar Sujono, seniman yang tinggal di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di antara lereng Gunung Merapi-Gunung Merbabu.

Terlahir dari keluarga petani, dekat dengan alam dan berbagai makhluk hidup, dia menolak anggapan orang bahwa serangga adalah hama yang pantas dipandang sebelah mata. Dia justru merasa ada keunikan, sesuatu yang menarik pada perilaku, pola kehidupan, dan bentuk fisik serangga. Semua hal yang ditangkapnya itulah yang ingin dia bagi lewat beragam bentuk kesenian.

Keindahan mendetail dari bentuk fisik serangga dituangkamya dalam topeng-topeng serangga. Mengapresiasinya lebih mendalam, Sujono pun merancang tarian “Topeng Saujana”.

Ingin membagi makna filosofi serangga, dia menuangkan cerita tentang kehidupan serangga dalam bentuk lukisan. Dia juga membuat wayang serangga dengan bahan fiber dan kulit sapi.

Dia ciptakan antara lain wayang gangsir, wayang orong-orong dan wayang belalang. Saat memainkan, sang dalang harus benar-benar menggerakkan wayang sesuai gaya dan perilaku “sosok” setiap serangga.

Pertanian organik

Melalui berbagai bentuk ragam karya seni itu, Sujono ingin mendekatkan kembali makna kehadiran serangga dalam kehidupan manusia, terutama petani.

Dalam aktivitas bertani, serangga kerap dianggap musuh. Demi menggenjot hasil pertanian, berbagai hama yang mengganggu atau merusak tanaman dimusnahkan sesegera mungkin dengan obat-obatan kimia.

“Padahal, setiap hama sebenarnya cukup diusir, dihalau dengan bahan-bahan yang ada di alam. Sebagai sesama makhluk hidup, serangga semestinya tak sembarangan disakiti, apalagi dibunuh,” ujarnya.


Sujono mencontohkan, beragam hama seperti wereng cukup diusir dengan meletakkan daun suren atau daun tembakau di areal pertanian. Untuk tanaman sayuran, daun suren atau tembakau bisa ditempatkan di tanah sebelum ditutup plastik mulsa.

Penggunaan bahan kimia semestinya tidak lagi diteruskan karena berdampak negatif. Selain merusak tanah, dalam jangka panjang, bahan kimia yang terpapar pada tanaman berdampak buruk bagi kesehatan mereka yang mengonsumsi hasil panennya.

Sujono mengatakan, warga desa yang hidup di lingkungan lebih sehat karena minim polusi justru tak terlihat lebih sehat daripada masyarakat kota. “Banyak warga usia 50-60 tahun di Dusun Keron mengalami stroke. Mereka tak mampu berjalan atau beraktivitas.”

Pemakaian obat-obatan kimia juga membuat orang makin melupakan sistem pertanian organik yang sarat nilai pembelajaran tentang kehidupan.

Pertanian organik memang tak serta-merta memberikan hasil melimpah. Petani memerlukan waktu cukup lama hingga tanaman bisa memproduksi hasil panen secara optimal. Pertanian organik juga lebih merepotkan karena petani harus belajar membuat pupuk organik dan mengendalikan hama secara alami. Namun, dari proses itulah manusia bisa belajar.

“Lewat pertanian organik orang belajar sabar. Belajar memahami segala sesuatu perlu waktu dan proses. Sebaliknya, dengan pertanian non-organik, orang hanya termotivasi melakukan sesuatu secara instan, berupaya yang paling mudah dan cepat demi hasil panen dan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Menyindir kondisi kini, di mana perilaku dan pola pikir instan yang melekat pada banyak orang. Contohnya pada sebagian calon anggota legislatif (caleg). Dorongan kuat memenangi pemilu membuat banyak caleg mendadak berperilaku baik. Secara mendadak pula mereka menempuh “jaIan pintas” yang efektif demi meraup dukungan seperti politik uang.

“Semuanya serba instan, ‘karbitan’, mereka mendadak baik karena ada maunya,” katanya.

Unik dan lucu

Ketertarikan Sujono pada serangga dimulai tahun 1998. Saat itu, pasca ledakan bom Bali, dia menganggur karena kehilangan pelanggan di Bali. Tak ada lagi pesanan tung, ia kembali menggarap sawah. Sembari bertani, dia membawa perlengkapan memahat. Ia membuat patung saat iseng atau bosan bekerja.

Suatu hari dia akan membuat patung, tetapi aktivitasnya terganggu oleh serangga yang mengacak-acak rambutnya. Merasa terganggu, dia mengambil serangga itu. Ia ingin membantingnya di atas batu. Namun, niat itu urung setelah ia melihat serangga di tangan.

“Melihat serangga itu, saya justru terkesima karena bentuknya menarik, gerakannya unik, lucu sekali,” ujarnya. Serangga itu adalah tenggel, sejenis capung.

Dia mulai menuangkan apa yang dilihattnya menjadi patung dan topeng. Menyadari “temuan” menarik ini, hari-hari selanjutnya Sujono ke sawah berbekal stoples.

“Setiap hewan yang menarik saya tangkap, taruh dalarn stoples dan dibawa pulang,” ceritanya. Ia mengamati perilaku dan bentuk fisik serangga dengan cermat, lalu dituangkan dalam berbagai karya seperti patung dan topeng.

Karya unik yang terinspirasi serangga ini mengantarkan Sujono pada Sutanto Mendut, budayawan sekaligus pemilik galeri seni Studio Mendut di Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.

Perkenalannya dengan banyak seniman lain membuat dia bisa mengembangkan kemampuan dengan merancang tarian. Tarian pertama bertema serangga diberinya judul “Topeng Saujana” dan tarian bertema kupu-kupu berjudul “Kukila Gunung”. Perilaku hewan berkaki empat seperti sapi, kerbau, dan babi hutan pun dia tuangkan dalam tarian, dengan judul “Jingkrak Sundang”.

Terus berkesenian

Bakat dan kemampuan berkesenian, menurut Sujono, adalah “berkat dadakan”. Di tengah kebingungan mencari pekerjaan, dia iseng memahat. Tiba-tiba saja dia bisa membuat ukiran kayu sebagai hiasan pintu. Dia pun membuat patung dan topeng, memanfaatkan kayu di sekitarnya seperti kayu pule, jati, mahoni, dan kayu nangka.

Tahun 1991 topeng-topengnya menarik perhatian seorang pedagang benda seni. Dia lalu memproduksi topeng berdasarkan pesanan. Setiap topeng dihargai Rp 5.000. Setelah merasa cukup dikenal, dia mendirikan
usaha sendiri.

Sujono berkomitmen tetap berkesenian dan menjadikan serangga sebagai inspirasinya. Selain memberikan penghasilan, hal itu dilakoni karena dia yakin menebarkan kebaikan.

Dengan rnewujudkan serangga dalam berbagai karya seni, dia ingin mengingatkan orang bahwa setiap serangga memiliki sikap hidup yang patut dicontoh. Semut mengajarkan kita tentang pentingnya gotong royong. Sementara laron mengajarkan tentang sikap pasrah, siap terempas dan mati saat keluar dari sarang.

Dia juga ingin mengulik lebih dalam perilaku hewan lainnya. “Memahami, memperlakukan dengan baik semua mahluk hidup, termasuk hewan, adalah sikap yang harus kita jalani untuk menjaga keseimbangan alarn dan kehidupan,” katanya serius.

=====

Sujono

Lahir: Magelang, Jawa tengah, 11 September 1970
Pendidikan: STM Sanjaya, Muntilan, Jateng
Istri: Tubiyati (35)
Anak: Indra Gading (15), Ade Bondan Pratoto (6)

=====

(Oleh Regina Rukmorini)

Tuesday, March 11, 2014

10 Alasan Kenapa Perangkat Genggam Harus Dilarang untuk Anak Dibawah Umur 12 Tahun



 


The American Academy of Pediatrics dan Canadian Society of Pediatrics menyatakan bahwa anak berusia 0-2 tahun seharusnya tidak terpapar oleh teknologi, usia 3-5 tahun dibatasi satu jam per hari, dan 6-18 tahun dibatasi 2 jam per hari (AAP 2001/13, CPS 2010). Anak-anak dan remaja menggunakan teknologi 4-5 kali dari jumlah yang disarankan, dengan konsekuensi serius bahkan membahayakan hidup mereka (Kaiser Foundation 2010, Active Healthy Kids Canada 2012). Perangkat genggam (ponsel, tablet, permainan elektronik) telah secara dramatis meningkatkan aksesibilitas dan penggunaan teknologi, terutama pada anak-anak yang masih kecil (Common Sense Media, 2013). Sebagai seorang pediatric occupational therapist, saya menyerukan kepada orang tua, guru dan pemerintah untuk melarang penggunaan semua perangkat genggam untuk anak di bawah usia 12 tahun. Berikut adalah 10 alasan berdasarkan penelitian yang menjadi alasan untuk pelarangan ini. Silahkan kunjungi zonein.ca untuk melihat Zone'in Fact Sheet untuk penelitian yang dimaksud.

1. Pertumbuhan otak yang cepat

Antara usia 0 dan 2 tahun, ukuran otak bayi membesar tiga kali lipat, dan terus dalam keadaan perkembangan pesat sampai usia 21 tahun (Christakis 2011). Perkembangan awal otak ditentukan oleh rangsangan lingkungan, atau sebaliknya, ketiadaannya. Rangsangan untuk otak yang sedang berkembang oleh paparan berlebihan (overexposure) teknologi (ponsel, internet, iPads, TV), telah terbukti berhubungan dengan fungsi eksekutif dan gangguan pemusatan perhatian (attention deficit), penundaan kognitif, gangguan belajar, peningkatan impulsivitas dan turunnya kemampuan untuk mengatur diri sendiri, misalnya mengamuk (tantrum) (Small 2008, Pagini 2010).

2. Perkembangan yang tertunda

Penggunaan teknologi membatasi gerakan, yang dapat mengakibatkan tertundanya perkembangan. Satu dari tiga anak sekarang masuk sekolah dalam keadaan perkembangan tertunda, yang berdampak negatif pada kemampuan membaca (literasi) dan prestasi akademik (HELP EDI Maps 2013). Bergerak meningkatkan perhatian dan kemampuan belajar (Ratey 2008). Penggunaan teknologi di bawah usia 12 tahun merugikan perkembangan anak dan belajar (Rowan 2010).

3. Wabah Obesitas

TV dan video game berhubungan dengan meningkatnya obesitas (Tremblay 2005). Anak-anak yang diperbolehkan memiliki perangkat elektronik di kamar tidur mereka memiliki 30% peningkatan kejadian obesitas (Feng 2011). Satu dari empat anak Kanada, dan satu dari tiga anak AS mengalami obesitas (Tremblay 2011). 30% dari anak-anak dengan obesitas memiliki kemungkinan diabetes, dan penderita obesitas berada pada risiko tinggi untuk stroke dini dan serangan jantung, dan memiliki harapan hidup lebih pendek (Center for Disease Control and Prevention 2010). Utamanya tersebab obesitas, anak-anak abad ke-21 mungkin menjadi generasi pertama yang mana kebanyakan dari mereka tidak akan hidup lebih lama dari orang tua mereka (Profesor Andrew Prentice, BBC News 2002).

4. Kehilangan waktu tidur

60% orang tua tidak mengawasi penggunaan teknologi anak-anak mereka, dan 75% dari anak-anak diperbolehkan menggunakan teknologi di kamar tidur mereka (Kaiser Foundation 2010). 75% dari anak-anak berusia 9 dan 10 tahun kurang tidur yang berdampak pada menurunnya prestasi sekolah mereka (Boston College 2012).

5. Penyakit mental

Teknologi yang berlebihan bersangkutpaut sebagai faktor penyebab dalam meningkatnya tingkat depresi anak, kecemasan, gangguan bersosialisasi, perhatian yang lemah, autisme, gangguan bipolar, psikosis dan perilaku anak bermasalah (Bristol University 2010, Mentzoni 2011, Shin 2011, Liberatore 2011, Robinson 2008). Satu dari enam anak Kanada didiagnosa memiliki penyakit mental, yang mana banyak di antaranya berada dalam pengaruh obat psikotropika berbahaya (Waddell 2007).

6. Agresi

Konten media kekerasan dapat menyebabkan agresi anak (Anderson, 2007). Anak-anak semakin banyak terimbas dalam kekerasan fisik dan seksual di media saat ini. “Grand Theft Auto V” menggambarkan seks eksplisit, pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan dan mutilasi, seperti yang terdapat dalam banyak film dan acara TV. AS telah mengkategorikan kekerasan media sebagai Risiko Kesehatan Masyarakat akibat dampak kausal pada agresi anak (Huesmann 2007).

7. Demensia digital

Muatan media yang berkecepatan tinggi dapat berkontribusi terhadap gangguan pemusatan perhatian (attention deficit), juga menurunnya daya konsentrasi dan memori, karena otak pemangkasan jalur saraf ke korteks depan (Christakis 2004, Small 2008). Anak-anak yang tidak bisa memusatkan perhatian, tidak bisa belajar.

8. Kecanduan

Sementara orang tua makin terikat lebih pada (perangkat) teknologi, mereka makin terpisah dari anak-anak mereka. Dengan tidak adanya ikatan dengan orangtua, anak-anak yang terpisah dengan mudah terikat ke perangkat (teknologi), yang dapat mengakibatkan kecanduan (Rowan 2010). Satu dari 11 anak usia 8-18 tahun mengalami kecanduan teknologi (Gentile 2009).

9. Emisi radiasi

Pada bulan Mei 2011, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan ponsel (dan perangkat nirkabel lainnya) sebagai risiko kategori 2B (possible carcinogen) karena emisi radiasi (WHO 2011). James McNamee dengan Health Canada pada bulan Oktober 2011 mengeluarkan peringatan yang menyatakan “Anak-anak lebih sensitif terhadap berbagai agen daripada orang dewasa karena otak dan sistem kekebalan tubuh mereka masih berkembang, sehingga Anda tidak bisa mengatakan risiko akan sama untuk orang dewasa muda sebagaimana untuk seorang anak.” (Globe and Mail 2011). Pada bulan Desember 2013 Dr. Anthony Miller dari University of Toronto’s School of Public Health merekomendasikan bahwa berdasarkan penelitian terbaru, paparan frekuensi radio harus direklasifikasi sebagai 2A (probable carcinogen), bukan 2B (possible carcinogen). American Academy of Pediatrics meminta peninjauan emisi radiasi EMF dari perangkat teknologi, menyebutkan tiga alasan mengenai dampaknya pada anak-anak (AAP 2013) .

10. Tidak lestari (Unsustainable)

Cara-cara dimana anak-anak dibesarkan dan dididik dengan teknologi adalah tidak lestari, unsustainable (Rowan 2010). Anak-anak adalah masa depan kita, tetapi tidak ada masa depan bagi anak-anak yang berlebihan menggunakan teknologi. Pendekatan berbasis tim adalah perlu dan mendesak untuk mengurangi penggunaan teknologi oleh anak-anak.

Silakan merujuk pada slide yang dipertunjukkan di www.zonein.ca bawah “video” untuk berbagi dengan mereka yang peduli tentang teknologi berlebihan pada kanak-kanak.


           Problems - Suffer the Children - 4 minutes
           Solutions - Balanced Technology Management - 7 minutes


Berikut adalah Pedoman Penggunaan Teknologi untuk anak-anak dan remaja yang dikembangkan oleh Cris Rowan, terapis okupasional pediatrik dan penulis Virtual Child; Dr. Andrew Doan, neuroscientist dan penulis Hooked on Games; dan Dr. Hilarie Cash, Direktur ReSTART Internet Addiction Recovery Program dan penulis Video Games and Your Kids, dengan kontribusi dari The American Academy of Pediatrics dan The Canadian Pediatric Society sebagai upaya untuk memastikan masa depan yang lestari untuk semua anak.
 


(Cris Rowan, pediatric occupational therapist, biologist, speaker, author)

Sumber:

http://www.huffingtonpost.com/cris-rowan/10-reasons-why-handheld-devices-should-be-banned_b_4899218.html - “10 Reasons Why Handheld Devices Should Be Banned for Children Under the Age of 12”