Friday, April 11, 2014

Belajar Bijak dari Serangga




Kompas, Jumat 11 April 2014
Sosok
Sujono: Belajar Bijak dari Serangga

Sejak tahun 1990-an, Sujono (43) menjadikan serangga sebagai pusat perhatian, inspirasi utamanya dalam berkesenian. Dengan segala wujud karya yang dihasilkan, dia ingin mengajak semua orang beramai-ramai belajar bijak dari serangga.

=====

“Kita sebenarnya bisa belajar banyak hal dari serangga,” ujar Sujono, seniman yang tinggal di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di antara lereng Gunung Merapi-Gunung Merbabu.

Terlahir dari keluarga petani, dekat dengan alam dan berbagai makhluk hidup, dia menolak anggapan orang bahwa serangga adalah hama yang pantas dipandang sebelah mata. Dia justru merasa ada keunikan, sesuatu yang menarik pada perilaku, pola kehidupan, dan bentuk fisik serangga. Semua hal yang ditangkapnya itulah yang ingin dia bagi lewat beragam bentuk kesenian.

Keindahan mendetail dari bentuk fisik serangga dituangkamya dalam topeng-topeng serangga. Mengapresiasinya lebih mendalam, Sujono pun merancang tarian “Topeng Saujana”.

Ingin membagi makna filosofi serangga, dia menuangkan cerita tentang kehidupan serangga dalam bentuk lukisan. Dia juga membuat wayang serangga dengan bahan fiber dan kulit sapi.

Dia ciptakan antara lain wayang gangsir, wayang orong-orong dan wayang belalang. Saat memainkan, sang dalang harus benar-benar menggerakkan wayang sesuai gaya dan perilaku “sosok” setiap serangga.

Pertanian organik

Melalui berbagai bentuk ragam karya seni itu, Sujono ingin mendekatkan kembali makna kehadiran serangga dalam kehidupan manusia, terutama petani.

Dalam aktivitas bertani, serangga kerap dianggap musuh. Demi menggenjot hasil pertanian, berbagai hama yang mengganggu atau merusak tanaman dimusnahkan sesegera mungkin dengan obat-obatan kimia.

“Padahal, setiap hama sebenarnya cukup diusir, dihalau dengan bahan-bahan yang ada di alam. Sebagai sesama makhluk hidup, serangga semestinya tak sembarangan disakiti, apalagi dibunuh,” ujarnya.


Sujono mencontohkan, beragam hama seperti wereng cukup diusir dengan meletakkan daun suren atau daun tembakau di areal pertanian. Untuk tanaman sayuran, daun suren atau tembakau bisa ditempatkan di tanah sebelum ditutup plastik mulsa.

Penggunaan bahan kimia semestinya tidak lagi diteruskan karena berdampak negatif. Selain merusak tanah, dalam jangka panjang, bahan kimia yang terpapar pada tanaman berdampak buruk bagi kesehatan mereka yang mengonsumsi hasil panennya.

Sujono mengatakan, warga desa yang hidup di lingkungan lebih sehat karena minim polusi justru tak terlihat lebih sehat daripada masyarakat kota. “Banyak warga usia 50-60 tahun di Dusun Keron mengalami stroke. Mereka tak mampu berjalan atau beraktivitas.”

Pemakaian obat-obatan kimia juga membuat orang makin melupakan sistem pertanian organik yang sarat nilai pembelajaran tentang kehidupan.

Pertanian organik memang tak serta-merta memberikan hasil melimpah. Petani memerlukan waktu cukup lama hingga tanaman bisa memproduksi hasil panen secara optimal. Pertanian organik juga lebih merepotkan karena petani harus belajar membuat pupuk organik dan mengendalikan hama secara alami. Namun, dari proses itulah manusia bisa belajar.

“Lewat pertanian organik orang belajar sabar. Belajar memahami segala sesuatu perlu waktu dan proses. Sebaliknya, dengan pertanian non-organik, orang hanya termotivasi melakukan sesuatu secara instan, berupaya yang paling mudah dan cepat demi hasil panen dan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Menyindir kondisi kini, di mana perilaku dan pola pikir instan yang melekat pada banyak orang. Contohnya pada sebagian calon anggota legislatif (caleg). Dorongan kuat memenangi pemilu membuat banyak caleg mendadak berperilaku baik. Secara mendadak pula mereka menempuh “jaIan pintas” yang efektif demi meraup dukungan seperti politik uang.

“Semuanya serba instan, ‘karbitan’, mereka mendadak baik karena ada maunya,” katanya.

Unik dan lucu

Ketertarikan Sujono pada serangga dimulai tahun 1998. Saat itu, pasca ledakan bom Bali, dia menganggur karena kehilangan pelanggan di Bali. Tak ada lagi pesanan tung, ia kembali menggarap sawah. Sembari bertani, dia membawa perlengkapan memahat. Ia membuat patung saat iseng atau bosan bekerja.

Suatu hari dia akan membuat patung, tetapi aktivitasnya terganggu oleh serangga yang mengacak-acak rambutnya. Merasa terganggu, dia mengambil serangga itu. Ia ingin membantingnya di atas batu. Namun, niat itu urung setelah ia melihat serangga di tangan.

“Melihat serangga itu, saya justru terkesima karena bentuknya menarik, gerakannya unik, lucu sekali,” ujarnya. Serangga itu adalah tenggel, sejenis capung.

Dia mulai menuangkan apa yang dilihattnya menjadi patung dan topeng. Menyadari “temuan” menarik ini, hari-hari selanjutnya Sujono ke sawah berbekal stoples.

“Setiap hewan yang menarik saya tangkap, taruh dalarn stoples dan dibawa pulang,” ceritanya. Ia mengamati perilaku dan bentuk fisik serangga dengan cermat, lalu dituangkan dalam berbagai karya seperti patung dan topeng.

Karya unik yang terinspirasi serangga ini mengantarkan Sujono pada Sutanto Mendut, budayawan sekaligus pemilik galeri seni Studio Mendut di Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.

Perkenalannya dengan banyak seniman lain membuat dia bisa mengembangkan kemampuan dengan merancang tarian. Tarian pertama bertema serangga diberinya judul “Topeng Saujana” dan tarian bertema kupu-kupu berjudul “Kukila Gunung”. Perilaku hewan berkaki empat seperti sapi, kerbau, dan babi hutan pun dia tuangkan dalam tarian, dengan judul “Jingkrak Sundang”.

Terus berkesenian

Bakat dan kemampuan berkesenian, menurut Sujono, adalah “berkat dadakan”. Di tengah kebingungan mencari pekerjaan, dia iseng memahat. Tiba-tiba saja dia bisa membuat ukiran kayu sebagai hiasan pintu. Dia pun membuat patung dan topeng, memanfaatkan kayu di sekitarnya seperti kayu pule, jati, mahoni, dan kayu nangka.

Tahun 1991 topeng-topengnya menarik perhatian seorang pedagang benda seni. Dia lalu memproduksi topeng berdasarkan pesanan. Setiap topeng dihargai Rp 5.000. Setelah merasa cukup dikenal, dia mendirikan
usaha sendiri.

Sujono berkomitmen tetap berkesenian dan menjadikan serangga sebagai inspirasinya. Selain memberikan penghasilan, hal itu dilakoni karena dia yakin menebarkan kebaikan.

Dengan rnewujudkan serangga dalam berbagai karya seni, dia ingin mengingatkan orang bahwa setiap serangga memiliki sikap hidup yang patut dicontoh. Semut mengajarkan kita tentang pentingnya gotong royong. Sementara laron mengajarkan tentang sikap pasrah, siap terempas dan mati saat keluar dari sarang.

Dia juga ingin mengulik lebih dalam perilaku hewan lainnya. “Memahami, memperlakukan dengan baik semua mahluk hidup, termasuk hewan, adalah sikap yang harus kita jalani untuk menjaga keseimbangan alarn dan kehidupan,” katanya serius.

=====

Sujono

Lahir: Magelang, Jawa tengah, 11 September 1970
Pendidikan: STM Sanjaya, Muntilan, Jateng
Istri: Tubiyati (35)
Anak: Indra Gading (15), Ade Bondan Pratoto (6)

=====

(Oleh Regina Rukmorini)

No comments:

Post a Comment